Fajar tetap datang siang itu. Agni sendiri yang membukakan pintu karena Bi Niken pergi entah ke mana—mungkin pulang sebentar untuk makan siang dengan suaminya. Malam sebelumnya, Fajar menelepon dan Agni sudah katakan pada lelaki itu kalau dia sedang banyak ketikan. Dengan sopan dia menolak dengan mengatakan kalau dia ketika sedang menulis, dia tidak ingin diganggu. Salahnya—Agni baru ingat salahnya—dia menjawab pertanyaan Fajar tentang kapan dia istirahat dengan terlalu jujur. Dia bilang; setelah makan siang, dia akan istirahat beberapa lama. Di sinilah lelaki itu sekarang, beberapa saat setelah waktu yang dia perkirakan sebagai jam ketika Agni sudah selesai makan siang. Berdiri di depan pintu ruang tamu dengan senyum lebar dan kotak berwarna putih di tangannya.
"Bika ambon," ujarnya bahkan sebelum Agni menanyakan tentang isi kotak itu. Fajar mengulurkannya dan Agni menerima dengan mengatakan terima kasih. Sekarang dia tidak punya alasan untuk menolak lelaki itu masuk.
"Mari masuk," ujarnya mempersilakan. "Duduk."
Fajar duduk dan memperhatikan lukisan-lukisan di dinding seolah sebelumnya dia tidak pernah melihat mereka.
"Lukisanmu?" tanyanya.
"Bukan. Tanteku. Tante Lusi," jawab Agni yang duduk di depan Fajar. Mencoba mencari posisi duduk yang nyaman karena dia tahu, bisa jadi, lelaki ini akan berkunjung lama.
"Maaf, ya, aku memaksa datang," katanya beberapa saat kemudian. "Aku kuatir. Setelah kita nonton malam itu, kamu enggak bisa dihubungi ke rumahmu di Jakarta. Adikmu bilang, kamu sudah kembali ke sini. Aku hanya ingin melihatmu saja, kok."
"Iya. Aku kembali ke sini secepat aku bisa karena banyak kerjaan," ujar Agni dan itu sama sekali tidak berbohong. Memang itu alasannya—selain karena dia merindukan malam-malam menelepon Pendar sampai larut.
Pembicaraan pun bergulir lambat, basai-basi, tentang pekerjaan Agni dan tentang pekerjaan Fajar—dia meneruskan bisnis properti orang tuanya dan itu membuat masuk akal mengapa dia bisa dengan santainya bolak-balik Jakarta-Lembang dan menginap beberapa hari tanpa takut dipecat. Fajar juga bercerita tentang keinginannya membeli sebuah vila di sini karena dia suka dengan pemandangan dan suasana di sini.
"Aku juga ingin sering bertemu denganmu," sambungnya.
"Aku enggak akan selalu di sini," jelas Agni. "Aku sekarang di sini hanya karena aku harus menulis. Yaaa ... dan karena kamu tahu aku memang sedang menghindari Jakarta. Tapi sebentar lagi, kalau semua ini selesai, aku ingin kembali ke Jakarta. Itu kota tempat aku tinggal dan hidup. Tempatku bukan di sini. Ini hanya sementara."
Mendengar jawaban Agni, Fajar pun membelokkan pembicaraan ke topik lain; tentang bunga-bunga di pekarangan vila ini, tentang delapan pot kaktus yang ada di dekat teras dengan berbagai macam bentuk dan ukuran, tentang jalanan menurun yang harus dilalui Agni kalau dia ingin ke sungai. Semua itu topik yang mudah untuk dibicarakan. Tidak perlu berpikir untuk menanggapinya. Tidak seperti pembicaraannya dengan Pendar yang kadang harus membuatnya terdiam lama, berpikir, menjawab, lalu berpikir ulang. Agni merindukan saat-saat bicara dengan Pendar sekarang ini—dan dia tahu kalau Pendar tidak akan bisa dihubungi mungkin sampai dua atau tiga malam ke depan. Lelaki itu meminta Agni untuk menunggu teleponnya dan dia tidak bisa janjikan kapan. Namun tidak akan lebih dari akhir pekan ini karena semua tenggat tugasnya ada di hari Jum'at.
Sekarang masih Selasa, bisik Agni pada dirinya sendiri.
Fajar pun tidak semudah itu diminta pulang. Agni pun tidak semudah itu bisa meminta dia pulang. Menjelang sore, mereka malah berjalan-jalan di sekitar pekarangan dan Agni sudah bicara banyak tentang draf yang sedang dia kerjakan. Fajar tidak mengerti, memang, tetapi dia sebaik mungkin berusaha menjadi pendengar yang baik dengan bertanya setiap kali ada yang tidak dipahaminya.
"Adikku bilang kamu menang penghargaan apa gitu sebelum ini dan itu membuat namamu jadi dikenal. Kamu terkenal."
Mereka melintasi pekarangan belakang dan Fajar membuka pintu pagar yang selama ini tidak pernah—dan tidak ingin—Agni lewati karena setelah pagar itu ada jalan setapak yang sepertinya selalu saja kelihatan licin. Fajar membantunya menuruni tanah yang sedikit tinggi setelah pagar itu.
"Mau ke mana?" tanya Agni. "Aku belum pernah ke sini sama sekali."
"Aku juga belum," jawab Fajar, "Bukannya malah menarik? Menyusuri jalan yang sebelumnya enggak pernah kamu tahu?"
Sudah terlalu terlambat buat Agni untuk kembali dan dia pun mengikuti saja ke mana jalan setapak itu membawanya. Setidaknya, kalau mereka tersasar dan tidak bisa pulang, dia tidak sendirian. Ada Fajar yang bisa dituntut tanggung-jawabnya.
"Waktu kamu menangis malam itu," ujar Fajar memulai topik baru lagi, "aku tahu kalau itu tentang cowok. Boleh aku tahu siapa?"
Agni ingin sekali menjawab pertanyaan itu tapi dia takut kalau yang keluar adalah cerita-cerita tentang betapa dia merindukan Pendar sekarang, juga cerita tentang banyak hal yang dia dan Pendar bagi berdua selama beberapa bulan belakangan. Cerita yang—mungkin—hanya mereka berdua yang tahu dan karena itu, jadi berharga buatnya.
"Aku cuma ingin tahu karena ...," Fajar terlihat sangat berhati-hati ketika mengucapkan kalimat selanjutnya, "dia sudah membuat kamu patah hati?"
"Enggak," jawab Agni. "Aku enggak patah hati. Lelaki sebelum dia pun, yang benar sudah membuat aku patah hati, aku sudah melupakannya."
"Jadi dengan yang ini—"
"—kami baik-baik saja," sambar Agni. Dia tidak ingin bercerita lebih banyak lagi.
"Kalau begitu, apa aku enggak punya harapan?"
Agni berhenti. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Fajar pun ikut berhenti. Mereka berdiri berhadapan. Agni sedikit mengadah agar dia bisa melihat lelaki itu; matanya, rambutnya yang berantakan terkena tiupan angin sore, lalu bibirnya yang dia gigit karenammungkin dia sedang berusaha menyembunyikan perasaan kikuk yang sekarang memekat di antara mereka berdua.
"Aku harus menjawab apa?" Agni balik bertanya. "Karena bukan seperti itu caranya. Ini bukan tentang tempat, Fajar. Bukan."
Mereka berdiri di sana, bergeming, beberapa lama. Agni mencoba mengucapkan sesuatu, tetapi gagal. Yang dia ingat hanya malam-malam dia dan Pendar bicara, lalu tawa Pendar yang seolah menyusup di antara suara angin yang melewati batang-batang pinus.
Dia rindu. Dia tahu.
Dia sudah menyakiti. Dia pun sudah tahu.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...