26. Tilde [ ~ ] Part-1

14 4 0
                                    

 Kampus masih sepi ketika Pendar berjalan melintasi halaman parkir menuju ke gedung fakultasnya. Dia ada kuliah siang tapi sengaja datang pagi karena perlu mengambil beberapa file dari lab komputer dan mengerjakan laporan yang tenggatnya sore nanti. Dia memegang gelas kertas berisi kopi hitam dengan sedikit gula yang dia lewat drive thru restoran cepat saji sambil lewat tadi. Rasanya ... ah, jangan ditanya; dia tidak suka. Namun dia tidak ada pilihan. Kantin di kampus dan kafe yang jadi langganannya baru beberapa jam lagi buka. Dia perlu terjaga untuk semua urusan yang harus diselesaikan pagi ini dan itu tidak bisa ditawar.

Dia menghentikan langkahnya ketika melihat sekelebat bayangan manusia membuka pintu lab yang letaknya masih lebih sepuluh meter di depannya. Dari jarak kejauh itu, dia memang tidak bisa melihat siapa yang membuka pintu itu—seharusnya—kecuali kalau bagian atas kelebat bayangan itu berwarna ungu tua dan benda besar melembung yang ada di punggungnya berwarna merah jambu menyolok mata. Pendar terdiam. Menimbang apakah dia akan masuk ke lab itu atau tidak. Sosok yang tadi hanya jadi sekelebat bayangan itu kembali membuka pintu, keluar dari lab, dan berdiri menghadap ke arahnya. Dia melambaikan tangan. Pendar mengumpat.

"Sial!"

Dia berjalan mendekat dengan sangat tidak bersemangat. Menghabiskan kopinya yang sudah dingin di depan lab, membuang gelas kertas ke tong sampah, dan menghadap ke arah gadis itu yang sudah tersenyum lebar.

"Bagus enggak rambut baru gue?" tanyanya.

"Kenapa ungu?" tanya Pendar cuek. Dia juga tidak terlalu ingin mengetahui jawabannya, tetapi dia ucapkan juga pertanyaan itu agar dia tidak perlu memberikan pendapatnya.

"Ungu bagus," jawab Oki. Dia membukakan pintu untuk Pendar dan menahannya sebentar sebelum ikut masuk. "Cowok, kok, enggak gentleman."

"Siapa yang suruh bukain pintu?"

Oki menarik tangan Pendar dan dia terpaksa berhenti.

Hanya ada mereka berdua di lab pagi itu. Di depan komputer yang berderet rapi dengan pendingin ruangan yang belum dinyalakan. Membuat ruangan sebesar dan selega ini terasa terlalu sesak untuk mereka berdua.

"Kenapa, sih?" tanya Pendar yang merasa aneh dengan kelakuan Oki pagi ini.

"Gue yang harusnya nanya begitu," jawabnya dengan suara sedikit tinggi. "Lo baru putus, kan?"

"Ah!"

Pendar memilih komputer di bagian depan yang kemarin dia pakai untuk mengerjakan tugasnya. Dia meletakkan tas selempangnya di lantai, di dekat kaki meja, dengan asal—seolah isi tas itu tidak penting padahal ada satu laptop, tablet, dan ponsel di dalamnya.

"Semua orang tahu," ujar Oki lagi. Dia menyangkutkan tasnya di punggung kursi—dia memilih komputer yang tepat ada di sebelah Pendar.

"Bagus," ujar Pendar singkat dan berharap percakapan ini akan segera berakhir tapi Oki malah berdiri di samping mejanya dan memegang pundaknya. Dia menepuk pundak Pendar tiga kali.

"Gue ikut prihatin," katanya, "tapi itu enggak akan mengubah apa pun. Deadline nanti sore dan gue mau kerjaan lo yang paling bagus."

Pendar mendengus.

Semua ini diawali ketika ada tugas kelompok di kelas dan Pendar sudah berencana sejak awal kalau dia akan mengerjakannya sendiri saja. Tugas kelompok itu selalu saja sulit karena dia—selalu saja—menjadi beban buatnya. Dia harus mengecek semua pekerjaan anggota kelompok sebelum dikumpulkan dan memastikan kalau semua baik-baik saja, minimal pekerjaan itu akan mendapat nilai cukup untuk dia lulus. Namun pekan lalu, untuk tugas kelompok yang dijadikan pengganti UAS, Oki malah tiba-tiba mengacungkan tangannya ketika dosen mereka bertanya siapa yang ingin membuat kelompok pertama. Dia mengacungkan tangan itu bukan masalah seandainya dia tidak melanjutkan dengan bilang, "Saya dan Pendar satu kelompok, Pak. Satu kelompok bisa dua orang saja, kan?"

Pendar yang sedang memandang papan tulis dengan tatapan kosong pun kaget. Lebih kaget lagi ketika dia berusaha menjelaskan kalau dia ingin sendirian saja mengerjakannya, tetapi namanya dan nama Oki sudah tertulis di papan tulis dan dosen mereka sudah berpindah membentuk kelompok kedua. Ketika dia menoleh ke arah Oki, gadis itu mengirimkan blow kiss untuk mengejeknya.

Pendar bukannya tidak berusaha keluar dari kondisi yang sangat tidak menguntungkan itu. Siangnya, dia berusaha menemui dosennya dan meminta agar dia bisa mengerjakan tugas sendirian saja dan dosennya menolak. Oki menunggu di depan pintu ruang dosen dan ketika Pendar keluar, dia menyapa Pendar tanpa rasa bersalah sedikit pun—menurut Pendar, setidaknya dia harus merasa tidak enak barang sedikit karena sudah membuat orang lain jadi susah.

"Puas?" tanya Pendar sinis.

"Puas apa?" Oki balik bertanya. "Emangnya gue alat pemuas?"

"Kelompoknya enggak bisa dibatalkan," ujar Pendar lagi. "Lo ke sini mau tahu apa gue bisa ngebatalin kelompok ini apa enggak, kan?"

"Enggak," jawabnya. Ketika dia mengatakan itu, Oki menatap lekat-lekat ke mata Pendar. Waktu itu rambutnya masih berwarna hitam dan disandingkan dengan matanya yang berwarna cokelat muda itu, wajahnya tidak terlihat terlalu menakutkan—tidak seperti pagi ini.

"Terus lo ngapain ke sini?" tanya Pendar penasaran.

"Buku Pak Pram ketinggalan di kelas," jawab Oki cuek. Dia masih memandangi mata Pendar dan itu membuatnya risih.

"Ada apa, sih?" tanya Pendar sambil mundur selangkah.

"Mata lo merah," jawabnya. "Ada lingkaran hitam juga di bawahnya."

"Itu bikin tambah ganteng?"

"Enggak, bego!" Oki membuka pintu dan masuk ke ruangan Pak Pram, tapi dia berhenti untuk mengatakan satu kalimat lagi, "Lo kurang tidur."

"Terus gue harus gimana?"

"Coba search 'concealer'."

Obrolan mereka di kafe beberapa pekan lalu bukannya membuat hubungan mereka makin dekat, tetapi malah menumbuhkan persaingan yang sebelumnya tidak ada—karena Pendar tidak pernah peduli dengan siapa dia bersaing sebelum bertemu dengan Oki. Setelah sore itu, mereka pun jadi makin bebas mengeluarkan kata-kata menyakitkan yang anehnya, buat Pendar itu tidak terasa menyakitkan sama sekali. Mungkin karena selera humor mereka sama kasarnya atau bisa jadi, karena kadang Pendar gagal melihat Oki sebagai gadis menarik yang pintar. Namun karena Pendar sudah mengetahui keberadaan Oki, mereka jadi sering duduk bersebelahan di kelas dengan disengaja—biasanya Oki yang membuat hal itu terjadi—dan Pendar membiarkannya saja. Dia senang ada Oki di sebelahnya sehingga dia bisa berdiskusi satu-dua hal tentang apa yang sedang dijelaskan di depan oleh dosen. Dia hanya tidak suka kalau mereka harus mengerjakan tugas bersama karena Pendar tahu, Oki sama pintarnya dengan dia—kalau tidak lebih pintar—dan itu membuatnya merasa sedikit terintimidasi.

"Kenapa, sih, harus ungu?" tanya Pendar setelah beberapa lama mereka terdiam dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Karena sekarang sudah masuk musim penghujan," jawab Oki serius.

"Apa hubungannya?"

"Enggak ada. Makanya gue jawab begitu biar lo kesel."

Pendar mendengus lagi.

"Lo kayak kucing," ujar Oki tanpa menoleh dari layar komputer yang ada di depannya. Tangannya pun masih sibuk mengetikkan codes dengan cepat.

"Kenapa?"

"Enggak ada. Gue bilang begitu cuma buat gangguin lo aja."

Pendar tersenyum.

"Rambut lo jelek," ujar Pendar membalas.

"Lo iri, kan?"

"Enggak."

"Kalau gitu otak lo lagi konslet," ujar Oki.

"Enggak."

"Kalau enggak, lo bakalan bilang bagus."

Pendar tertawa.

"Gue putus weekend kemaren," kata Pendar—yang setelah mengatakannya, dia menyesali itu.

"Bagus," komentar Oki singkat.

"Kok bagus?"

"Udah beberapa hari berlalu, kan? Jadi enggak akan mengganggu kerjaan kita. Jangan cari pacar lagi sampai ini selesai. Oke?"

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang