22. Space [ ] Part-3

15 4 0
                                        

 Siang itu Agni menerima telepon dari mamanya. Menanyakan keadaan lukanya. Memaksa Agni untuk menyebutkan berapa banyak jahitan yang dia terima dan angkanya dijadikan ukuran seberapa parah keadaannya. Agni sudah merasa baik-baik saja dan dia menolak ketika Mama menawarkan diri untuk membawanya pulang ke Jakarta.

"Seminggu saja, setelah itu kamu bisa kembali lagi ke sana," ujarnya.

Agni terdiam. Dia mencari alasan kuat yang tidak akan bisa ditolak mamanya itu.

"Hmmm ...," dia memulai dengan agak ragu, "aku udah mulai nulis dan enggak bisa diganggu, Ma."

"Kamu bisa nulis di rumah, biasanya juga gitu," Mama berkeras.

"Enggak bisa. Ini lagi serius banget. Enggak bisa," ujarnya berbohong. Ah, sedikit berbohong, mungkin.

Agni sudah mulai mengetik semua yang terpikir di kepalanya untuk dijadikan sesuatu—dia belum memutuskan apa itu; novel atau cerpen—sore kemarin. Berlembar-lembar kertas selesai dia ketik dengan cerita tidak beraturan di atasnya. Dia menuliskan ulang pembicaraannya dengan Pendar, lalu kejadian-kejadian yang dia alami di rumah ini, tentang masakan-masakan Bi Niken yang luar biasa enak, dan juga tentang perasaannya yang makin kosong saja akhir-akhir ini. Dia tidak lagi sedih tetapi juga tidak sedang senang.

"Sampai kapan kamu mau ada di sana?" tanya Mama.

"Sampai selesai tulisannya," jawab Agni cepat.

Dia menutup pembicaraan itu setelah Mama menceritakan bahwa semua yang dia tinggalkan sudah diurus dengan baik; katering sudah dibatalkan dan hanya uang mukanya saja yang tidak dikembali, kebaya tidak jadi dijahit dan hanya ganti rugi uang bahan dan uang panjar saja yang hangus, dan uang gedung pun demikian. Kerugian itu memang hanya ditanggung oleh Agni tetapi dia sendiri tidak keberatan. Tabungannya memang banyak berkurang dan itu tidak mengapa. Anggap saja itu harga yang harus dibayar untuk menyelamatkannya dari pernikahan yang tidak bahagia.

Dia berhasil memutuskan pembicaraan itu sebelum Mama bercerita tentang Adam. Dia tidak ingin dengar apa pun. Dia tidak peduli.

Agni belajar merajut sampai sore. Bi Niken mencontohkan bagaimana membuat bind-off, lalu membedakan antara knit dan purl. Agni cepat bisa, begitu menurut Bi Niken. Hanya saja, jemari Agni terlalu kaku untuk menggerakkan benang dan jarum knitting. Agni berkelakar dengan mengatakan bahwa jarinya selama ini lebih banyak digunakan untuk menekan-nekan tuts mesin tik sekeras yang dia bisa. Bi Niken tidak tertawa. Dia malam menatap Agni dengan tatapan prihatin.

"Apa menulisnya harus di mesin tik? Apa Non enggak takut ujung jarinya jadi kotak-kotak?"

Agni tertawa pada pertanyaan yang sama sekali tidak diniatkan untuk jadi lelucon itu. Namun membayangkan kalau ujung jarinya berubah jadi kotak karena dia terlalu banyak mengetik itu membuat perutnya terasa geli.

Agni merajut syal sederhana seperti yang diajarkan Bi Niken. Dia menghabiskan malamnya dengan duduk di ruang tengah, merajut, sambil sesekali melirik ke arah pesawat telepon yang tidak juga berbunyi padahal Pendar sudah berjanji untuk meneleponnya jam delapan malam. Sekarang sudah jam sembilan dan dia mulai kuatir.

Dia memang tidak tahu Pendar melakukan apa karena mereka tidak pernah membicarakan itu. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Pendar seharian karena dia tidak pernah menanyakannya. Yang dia tahu, lelaki itu akan meneleponnya di jam yang mereka janjikan, lalu bicara sampai tengah malam. Pekan ini, mereka membuat janji untuk menelepon dua kali, di Rabu malam dan Sabtu malam. Sekarang Rabu malam dan janji telepon pertama di pekan ini rasanya tidak akan terpenuhi. Pendar tidak pernah terlambat, tidak pernah ingkar.

Agni meletakkan dua jarum knitting yang terbuat dari bambu di atas meja, memastikan kalau benang wol yang dia gunakan tergulung rapi, lalu bangkit, dan berjalan ke balkon. Di sana dingin. Dia kembali ke dalam, mengambil sweater, membuat teh, lalu kembali ke balkon. Duduk di depan mesin tik dan mulai menulis. Awalnya satu paragraf tentang kesepian. Lalu paragraf itu berubah menjadi satu pembukaan panjang tentang kehilangan. Dia melanjutkan dengan menambahkan satu karakter perempuan yang memandang langit malam dan mempertanyakan banyak pilihan yang dia ambil dalam hidupnya. Perempuan itu pun memutuskan untuk tidak lagi memilih. Walaupun kemudian Agni terdiam dan memikirkan premis lain bahwa; tidak memilih pun sebuah pilihan.

Dia mengambil pensil yang tergeletak di sebelah kanannya, meraih satu kertas HVS dan menuliskan premis itu di atasnya dengan huruf sambung yang rapi—banyak orang yang bilang kalau tulisan tangannya begitu bagus, yang orang tidak banyak tahu; Agni memang menyempatkan untuk melatihnya agar terlihat bagus.

Tidak memilih pun sebuah pilihan.

Dia menambahkan di bawah tulisan itu:

Apa pendapatmu, Pendar?

Dia termenung beberapa saat, melirik ke sisa luka di tangan kanannya yang besok sudah harus diperiksa lagi dan mungkin bisa dibuka jahitannya. Luka itu masih terasa sedikit nyeri ketika dia mengetik. Dia lalu menulis lagi:

Beli sepeda baru.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang