30. Dash [ -- ] Part-1

19 4 1
                                        

 Agni sudah meminta agar tidak ada pesta yang terlalu besar untuk ulang tahunnya karena dia tidak suka. Dia masih ingin ketenangan, dan kalau bisa, dia masih tidak ingin bertemu dengan banyak orang. Papa mengartikan permintaan Agni itu dengan mengadakan acara di rumah, hanya mereka berempat, dengan kue ulang tahun, makan bersama, berdo'a bersama, dan kemudian menghabiskan waktu di depan televisi. Meskipun pagi tadi, Mama masih berkeras untuk merayakannya di restoran agar lebih 'pantas' sedikit.

"Pantas bagaimana, Ma?" tanya Agni yang bangun pagi lebih awal dari biasanya ketika dia ada di rumah ini. "Hari ulang tahunnya juga udah lewat, kan. Sebenarnya malah enggak perlu dirayakan."

Kebiasaan Bi Niken yang datang ke rumah setelah subuh dan mulai melakukan banyak hal, membuat Agni mengikuti juga pola itu, dan dia suka. Dia suka melihat matahari pagi yang baru muncul, menyeduh kopi, dan—beberapa waktu belakangan—mulai menulis.

Mama yang masih memakai piyama menjelaskan bahwa dia ingin Agni menikmati hal yang lebih mewah sedikit dibanding hanya merayakannya di rumah. Dia memaksa agar ulang tahun Agni ini dirayakan karena tepat di hari Agni berulang tahun, Mama dan Papa malah tidak ada di rumah. Papa ada pekerjaan ke luar kota dan Mama ada kegiatan sosial—entah apa—dengan teman-temannya yang membuat dia pulang hampir tengah malam.

Buat Agni, pikiran Mama tidak masuk akal. Dia membantah, "Buatku, kalian itu mewah. Enggak tergantikan. Menghabiskan waktu di rumah dengan kalian itu sangat mewah buatku. Jadi, aku ingin kita di rumah saja malam ini, Ma. Pesan kue dari bakery, yang sederhana saja, jangan pakai lilin—demi Tuhan. Trus ... kita makan-makan."

Dira membantu Agni dengan meyakinkan Mama dan mengurus kue dan makan malam—yang akhirnya dipesan juga dari restoran agar tidak perlu repot memasak.

Setelah Agni memotong kue dan membagikannya, Mama bicara juga tentang hal-hal yang selama ini tidak pernah dia katakan.

"Banyak yang menanyakan kamu," ujarnya mengawali cerita panjang tentang apa yang terjadi di sini selama Agni memilih untuk menyendiri. "Mereka tahu kalau Adam selingkuh dan mereka kasihan padamu."

"Aku enggak perlu dikasihani, Ma," ujar Agni.

"Itu, kan, katamu. Tapi, saudara-saudara kita berpikiran lain. Mama perlu waktu panjang untuk meyakinkan mereka kalau ini memang yang kamu mau. Kamu yang mau pernikahan itu dibatalkan, bukan Adam." Mama menuangkan soda ke gelas yang sudah diisi es batu dan memindahkannya ke hadapan Papa, Agni, lalu Dira. "Mereka mengira kamu enggak bisa menerima kenyataan makanya kamu lari dari Jakarta."

"Aku enggak lari," koreksi Agni. "Aku perlu waktu untuk sendiri."

"Itu lari, akui sajalah itu, Kak," sambar Dira. "Walaupun di pelarian lo ternyata lo menulis atau apalah, itu tetap lari namanya."

Agni menoleh ke arah Dira yang duduk di sebelahnya. Adiknya itu tersenyum manis dan Agni membalasnya. Dira melanjutkan, "Ini semua tentang lo. Lo memilih untuk enggak ada di Jakarta sampai kapan pun, itu tentang lo. Jadi enggak perlu lo kuatir sama omongan orang. Enggak perlu mengkoreksi juga. Buat apa?"

Pertanyaan retorik itu dijawab juga oleh Agni. "Iya, buat apa."

"Yang penting lo di sini malam ini dan kita kumpul," ujar Dira lagi. "Lo jangan cepet balik ke Lembang."

"Gue pengen seminggu aja di sini kalau boleh," jawab Agni. "Gue harus nyelesein tulisan gue."

Papa yang sedari tadi tidak bicara, akhirnya bersuara juga, "Pergilah. Selesaikan apa yang perlu kamu selesaikan. Lalu kembali ke sini."

Setelah makan, dia duduk di samping Papa yang mendiskusikan tentang politik—topik yang tidak terlalu dikuasai dan disukai Agni. Televisi menyala memberitakan tentang penyerahan hadiah Nobel Perdamaian kepada Nelson Mandela lalu dilanjutkan dengan berita tentang penanganan kecelakaan kapal di Korea Selatan yang menewaskan seratus dua puluh penumpang. Agni ingin masuk ke obrolan Papa dan adiknya, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia pun mengalihkan perhatian dengan mengambil tumpukan paling atas majalah wanita langganan Mama. Mama duduk di samping Agni tanpa banyak bicara, melakukan hal yang sama; membaca majalah.

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang