"Namanya Fajar," Agni memulai ceritanya, "dia tinggal di vila sewaan di dekat sini selama akhir pekan kemarin. Aku pikir dia jalan berdua dengan istrinya, atau minimal pacarnya, lah. Ternyata itu adiknya."
Agni memang berpikir begitu awalnya karena gadis—yang setelah mengantarkan Agni ke rumah dan di sana mereka berkenalan—bernama Mentari kelihatan sangat kuatir dengan kondisi Fajar yang dia tabrak dengan sepedanya. Untungnya, Fajar cepat mengelak dan walaupun dia terjatuh, tidak ada luka sama sekali. Hanya pakaiannya yang kotor dan kacamatanya yang terlempar cukup jauh dan itu membuat sebelah lensanya retak. Agni memaksa untuk mengganti kacamata itu tetapi dia menolak dengan alasan kalau dia punya cadangannya.
Pendar terdiam ketika Agni memberi jeda pada ceritanya—mungkin dia menunggu. Agni berpikir bagaimana menceritakan bagian selanjutnya tanpa terdengar seperti orang yang gegar otak—tetapi terlintas juga di pikirannya kalau bisa jadi dia gegar otak karena terbentur aspal. Kalau itu benar terjadi, kehilangan beberapa ingatan tentang apa yang terjadi di bulan kemarin rasanya akan melegakan sekali.
Pendar tidak sabar menunggu, rupanya. Dia pun bertanya, "Apa kamu ketemu sama dia lagi setelah sore itu dia nganterin kamu ke rumah?"
"Iya," jawab Agni, "itu masalahnya."
"Masalah?"
"Iya, masalah. Dia datang ke rumah besokannya. Mengantarkan jambu air yang dia petik sendiri di halaman vila tempat dia menginap."
Agni tidak suka jambu air. Bi Niken mencuci, memotong, lalu menghidangkannya dengan kecap manis sambil memaksa Agni mencoba segigit saja. Agni menurut hanya agar Bi Niken diam, tetapi ternyata dia suka dengan apa yang dia makan. Rasanya asam jambu itu bercampur dengan rasa manis kecap, membuat—dia sulit mencari padanan katanya—rasa jambunya jadi aneh tetapi enak. Fajar yang sore itu datang sendirian juga ikut mencicipi jambu air dengan cocolan kecap manis itu dan berakhir dengan mereka bicara sampai gelap. Dia tidak memakai kacamata dan Agni menanyakannya. Dia bilang kalau minusnya tidak besar, tidak pakai kacamata pun tidak apa.
"Apa masalahnya?" tanya Pendar tidak sabar.
"Masalahnya ... tingginya seratus delapan puluh, matanya cokelat dan tajam, wanginya seperti petrichor, suaranya menenangkan, dan dia bicara tentang banyak hal yang aku suka," jawab Agni.
"Jadi kamu mau kita berhenti bicara di telepon karena kamu sudah menemukan teman bicara baru, begitu?"
"Bukan." Agni tertawa. "Bukan itu."
"Terus?"
"Berapa lama kamu bisa sembuh dari patah hati?" tanya Agni kemudian.
"Secepat ketika kamu menemukan cinta baru?" Pendar memberikan jawaban yang tidak menyakinkan. "Sebenarnya apa, sih, yang terjadi padamu sampai kamu harus mengasingkan diri ke vila yang jauh dari kota? Apa, sih, yang membuatmu enggak bisa menulis selama kamu ada di sana?"
Agni bercerita pada Pendar di telepon terakhir mereka kalau dia mengkuatirkan dirinya sendiri yang tidak juga bisa menulis—bahkan punya ide untuk menulis sesuatu pun tidak—selama berada di sini sementara sebelum ini, di tahun lalu, dia baru mengeluarkan novel yang penjualannya luar biasa, mendapatkan beberapa penghargaan, dan membuat namanya jadi dikenal. Terlalu terkenal. Dia harus melanjutkan apa yang sudah dia lakukan. Dia harus menulis. Dia harus menerbitkan novel lagi karena penerbit menanyakan terus tentang naskah barunya—yang bentuknya masih berupa lembaran-lembaran kertas kosong yang tertumpuk di balkon.
"Apa ini sudah saatnya menceritakan hal itu?" tanya Agni.
"Memangnya kapan saat yang tepat?" Pendar balik bertanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
عاطفيةSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...