Pendar tidak berkomentar apapun ketika Mama dan Papa bicara tentang proses perceraian mereka—yang mereka katakan sebagai; usaha terakhir yang mereka buat sedemikian rupa agar tidak banyak konflik dan setenang mungkin. Memang mereka tidak lagi bertengkar, tidak lagi saling melempar kata-kata dengan suara yang tinggi dan wajah penuh amarah, seperti beberapa bulan yang lalu. Pendar juga tidak lagi keberatan dengan apa pun keputusan mereka. Bercerai pun tidak mengapa. Dia sudah besar dan yang dia butuhkan bukan orangtuanya tetap bersama, tapi mereka bisa bahagia.
"Tiga kali sidang, setelah itu putusannya keluar," ujar Mama.
Pendar mengangguk, "Okay."
"Kami mau memastikan kamu baik-baik saja," sambung Papa.
"Aku baik-baik saja," jawab Pendar. Dia memang baik-baik saja.
"Papa harap selama proses ini, juga proses transisi setelahnya, enggak mengganggumu."
Pendar terdiam beberapa lama. Melirik ke arah televisi yang layarnya hitam karena dimatikan sebelum mereka mulai bicara. Lalu dia memindahkan pandangnya ke kabel sambungan telepon yang sekarang hanya tergantung di samping televisi sejak pesawat teleponnya dia pindahkan ke kamar. Sudah seminggu lewat dia dan Agni tidak bicara.
Pendar tahu dia harus mengatakan sesuatu agar percakapan ini segera berakhir. Jadi dia memejamkan matanya. Mencoba merangkai kalimat untuk memberitahukan betapa dia tidak peduli dengan semua proses dan kerumitan yang berusaha diceritakan orangtuanya itu.
"Aku hanya ingin ini semua cepat berlalu dan kita kembali bahagia. Mungkin enggak seperti dulu, sih. Aku mau ngeliat Mama bahagia dengan Om Anton. Aku mau ngeliat Papa bahagia dengan bisnisnya dan mungkin jatuh cinta lagi. Aku juga ingin tetap sering bertemu kalian. Itu aja."
Pendar terdiam. Menunduk. Tidak ingin melihat ke arah wajah siapa pun karena dia tidak ingin mereka tahu betapa dia tidak nyaman. Betapa pembicaraan ini sebaiknya tidak perlu ada.
Lalu dia mendengar suara itu; deringan pesawat telepon.
Pendar terkejut. Dia mengangkat wajahnya, membuka matanya, dan memasang telinganya baik-baik—dia tidak ingin kalau ternyata yang dia dengar barusan itu hal lain, suara klakson kendaraan bermotor, misalnya. Beberapa saat kemudian, suara deringan itu terdengar lagi. Pendar dengan cepat berdiri.
"Pa, Ma, aku mau ke kamar," ujarnya terburu-buru dan meninggalkan saja orangtuanya yang sepertinya masih ingin bicara dengannya. Setengah berlari dia mencapai tangga dan berhenti, menoleh, dan bicara dengan nada penuh penyesalan. "Maaf ya, Pa, Ma. Aku dukung apapun keinginan kalian."
Sampai di kamar, Pendar meraih gagang telepon itu dan dengan cepat menempelkannya di telinga kanannya.
"Agni!" teriaknya. Dia tidak ingin berteriak tapi yang keluar dari mulutnya adalah teriakan—yang sayangnya, terlalu antusias dan terlalu kencang.
"Nda," jawab Agni lebih pelan. "Nda ... aku—"
Pendar memotong sebelum Agni sempat menyelesaikan kalimatnya karena dia tidak sabar. Dia sangat tidak sabar.
"Kamu ke mana saja, Ni?" tanyanya.
"Nda," Agni menyebut lagi nama Pendar dan itu membuat dadanya terasa menghangat. "Nda, aku di Jakarta. Aku mau ketemu kamu."
Pendar terdiam beberapa lama.
"Jakarta?" tanyanya. Namun dia tidak menunggu jawaban Agni untuk melanjutkan pertanyaan itu, "Kamu pulang ke Jakarta? Kapan?"
"Aku datang sebentar aja. Hmmm ... besok perayaan hari ulang tahunku dan orangtua serta adikku mau aku merayakannya di Jakarta. Ulang tahunnya, sih, udah empat hari lalu. Apa kita bisa bertemu lusa?"
"Bisa," jawab Pendar cepat. Dia membayangkan kalau besok sebaiknya dia menyiapkan waktu untuk berbelanja hadiah untuk Agni. Kemudian dia teringat kalau dia sudah membuat janji untuk bertemu dengan Oki membahas proyek tugas mereka. Lalu dia teringat tentang podcast yang direncakan Oki—podcast yang melibatkan Agni. Dia harus bertanya pada Agni tentang itu ... tetapi, ah! Itu banyak sekali dan dia tidak mengeluarkan satu kalimat pun. Dia hanya terdiam sampai Agni memanggil lagi namanya.
"Nda ... kenapa diam?"
"Banyak yang mau aku bicarakan, Ni. Aku sampai bingung," jawabnya jujur. "Selamat ulang tahun, ya."
Agni tertawa. Renyah. Seperti biasa. Pendar mengingat suara tawa itu seperti suara ketika dia mematahkan sepotong biskuit cokelat kesukaannya.
"Nda," panggil Agni lagi. "Kalau punya banyak cerita, ya ... ceritakan. Jangan diam. Aku juga ada cerita. Enggak banyak, sih."
Pendar tersenyum.
"Ni, boleh aku nyeduh teh dulu. Sebentar. Telepon ini bakalan lama, kan? Kayak biasanya?"
Semoga telepon ini bisa lama seperti biasa, pintanya dalam hati berkali-kali.
Agni tertawa lagi. Suara patahan biskuit yang renyah itu terdengar lagi.
"Oke. Aku tunggu."
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...