Dia bilang, dia hanya mencoba nomer telepon sembarangan karena dia tidak tahu nomer telepon lain. Membuat kebetulan kalau telepon itu tersambung ke sini. Dia bilang, dia baru kali ini memegang pesawat telepon dan ingin sekali bicara dengan orang lain. Semua penjelasan itu berhasil membuat Agni berdiri beberapa menit untuk mendengar dia memperkenalkan diri. Tidak ada kebohongan atau niat jahat yang dia temukan di suara lelaki itu. Namun, Agni menangkap kalau dia masih muda, mungkin jauh lebih muda darinya.
"Dua puluh tiga," ujar Pendar yang kemudian diiringin tawa ringan, "apa itu masih lebih muda darimu?"
Agni terdiam sesaat. Angka-angka itu mengingatkan pada ucapan Mama yang berulang kali menekankan kalau anak gadis tidak boleh melajang sampai lebih dua puluh lima tahun—dan dia sudah lama melebihi usia itu. Beberapa tahun sudah lewat sejak Agni tidak dua puluh lima lagi.
"Masih lebih muda," jawab Agni tanpa lanjut menyebutkan umurnya.
Dia duduk di lantai kayu, menyandarkan punggung ke tembok, dan menggapai pesawat telepon yang ada di atas meja untuk diletakkan di dekat kakinya. Kabelnya ternyata tidak cukup panjang dan gagangnya jadi agak tertarik kalau dia ada di posisi sekarang. Namun, kalau dia harus berdiri lebih lama lagi, dia sudah tidak kuat. Kakinya mulai terasa pegal.
"Kamu tinggal di sekitar Bandung?" tanya Agni setelah beberapa lama mereka terdiam.
Agni pernah beberapa kali mendengar cerita tentang teman-temannya yang menerima telepon salah sambung dan berakhir dengan bicara dan berkenalan dengan si penelepon. Namun, baru kali ini dia menemukan hal yang serupa terjadi padanya. Lebih menyeramkan dibanding yang dia kira karena teman-temannya itu menceritakan dengan nada yang biasa-biasa saja, tanpa rasa takut, atau yang lainnya. Agni tidak takut—apa yang harus ditakutkan dari sekadar suara, kan? Dia hanya tidak ingin terlalu banyak bicara, lalu memberikan banyak informasi tentang dirinya, lalu siapa pun orang yang menelepon dia ini—salah sambung tidak sengaja atau disengaja—berbuat jahat padanya. Dia sendirian di rumah kalau malam dan itu sudah cukup membuat dia merasa harus sangat berhati-hati walaupun Bi Niken selalu bilang kalau tempat ini aman. Sangat aman.
"Bukan," jawab Pendar. "Di Jakarta."
"Ah, Jakarta." Agni menyebutkan nama kota itu dengan berat.
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa," jawab Agni—berbohong. Dia lalu melanjutkan lagi, "Interlokal, dong."
"Interlokal? Lokal ... inter? Gimana?" tanya Pendar dengan suara terpatah.
"Enggak apa-apa. Cuma ngingetin aja," ujar Agni. Dia tidak ingin mengingatkan Pendar tentang biaya telepon interlokal yang akan dia bayar karena sepertinya, Pendar tidak peduli itu.
"Apa kamu juga tinggal di sini? Jakarta?" tanya Pendar, "atau kamu tinggal di Bandung? Tadi kamu nanya apa aku tinggal di Bandung."
Agni tidak ingin menjawab. Dia memutar lagi pertanyaan itu dengan memberikan kalimat kosong, "Semua orang ingin tinggal di kota itu."
"Di Jakarta?"
"Iya," jawab Agni.
"Aku enggak," jawab Pendar. "Aku ingin tinggal di tempat lain yang enggak sesumpek di sini."
"Hmmm." Agni ingin sekali menanggapi itu dan berkata kalau dia tidak sependapat. Jakarta kota yang indah, kenangan dan masa lalu yang merusaknya.
"Apa kamu takut sama aku?" suara Pendar terdengar ragu ketika menanyakan itu. Agni pun sedikit terkejut ketika mendengarnya.
"Enggak," jawab Agni. Dia melanjutkan di dalam hati, takut tidak sama dengan hati-hati.
"Jangan takut. Aku enggak punya niat jahat apa pun," sambungnya, "tapi, aku tahu kamu akan sedikit merasa aneh kalau aku bilang ini...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
Storie d'amoreSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...