"Harusnya enggak serumit itu," jawab Agni. Gadis itu sudah menunggu telepon dari Pendar sejak setengah jam sebelumnya—begitu ceritanya tadi. Dia sangat ingin bicara dengan Pendar sampai-sampai dia meminta Bi Niken untuk membuatkan cemilan yang lebih mengenyangkan agar dia lapar tidak mengganggunya.
"Tapi, kamu pun rumit, kan," balas Pendar. "Kamu memutuskan pertunanganmu, membatalkan pernikahanmu, lalu menyendiri di tempatmu sekarang. Itu juga pertanda kalau semuanya rumit, kan?
"Enggak," jawab Agni. "Ini bukan rumit. Aku menyederhanakannya."
"Bagaimana bisa?"
"Aku menyederhanakan ini semua. Aku pergi karena aku enggak ingin ada di dalam perasaan bersalah, benci, dan marah terlalu lama. Aku menarik diri karena aku ingin mendengar suara hatiku sendiri bicara tentang banyak hal. Aku ingin hatiku menjawab pertanyaan, 'Apa benar aku cinta pada orang itu?' Pertanyaan sederhana yang baru beberapa waktu belakangan aku pahami bahwa jawabannya juga sesederhana; tidak."
"Kamu jatuh cinta dengan Fajar?"
"Itu juga enggak," jawab Agni pasti. "Cinta bekerja dengan cara yang aneh, sebenarnya."
Pendar mendengar suara tawa Agni. Dia pun memejamkan matanya. Dia ingin mendengar suara tawa itu tanpa diganggu apa pun—bahkan penglihatannya sendiri.
"Mau bicara apa kita malam ini?" tanya Pendar. Dia sudah menyiapkan semua yang diperlukan; mic sudah tersambung ke laptop, di sana sudah terbuka software untuk merekam suara, dan lampu kamar sudah dibuat remang karena dia ingin pembicaraan ini lebih santai—dan juga karena lampu di kamar ini membuat matanya jadi lebih cepat lelah.
"Bagaimana kalau tentang jatuh cinta?" jawab Agni.
"Oke," jawab Pendar menyetujui. "Tapi sebelumnya, sebelum aku mulai merekam, aku ingin tahu sesuatu."
"Apa?"
"Kenapa kamu mau bicara denganku selama ini?"
Agni terdiam cukup lama sampai akhirnya dia menjawab, "Kamu enggak akan suka jawabannya."
"Katakan. Please."
Pendar sudah menyiapkan diri. Apapun jawaban Agni, dia akan menerimanya karena dia benar-benar ingin tahu.
"Karena awalnya ... aku kesepian. Karena awalnya, aku pikir, aku bisa bertahan hidup di sini, menyendiri, menulis, dan menyelesaikan semua yang ingin aku kerjakan tanpa ada yang mengganggu. Ternyata aku salah. Ternyata kesepian dan kesendirian itu membunuhmu pelan-pelan. Lalu, telepon salah sambungmu datang. Lalu kita bicara ... sampai sekarang." Terdengar helaan napas Agni dan kemudian hembusannya yang berat. Dia lalu melanjutkan, "Ternyata bicara denganmu membuatku jadi bisa memahami dan mengurai banyak sengkarut."
"Aku pun begitu," ujar Pendar.
"Kamu kesepian?" tanya Agni.
"Mungkin," jawab Pendar yang kemudian dia koreksi, "Iya, aku kesepian. Di awal kita bicara, aku ada di dalam hubungan yang aku sendiri baru pahami sekarang kalau itu enggak sehat. Kamu tahu, akhir-akhir ini aku mulai berpikir kalau bisa jadi, aku enggak cinta sama Lula. Bisa jadi, aku nyaman dengan keberadaannya karena dia sudah ada begitu lama. Bisa jadi, aku ingin dia selalu ada karena aku enggak tahan sendirian." Sampai di sini, Pendar pun menyadari satu hal lain dan itu dia katakan pada Agni, "Mungkin Lula juga merasakan hal yang sama dan dia lebih berani untuk keluar lebih dulu sebelum semuanya jadi racun. Toxic."
"Kita ini seperti dua orang yang kehilangan lalu bertemu, kemudian saling mencari jawaban, padahal itu bukan pertanyaan tentang satu dan lainnya," ujar Agni.
Kalimat itu Pendar setujui sepenuhnya.
Dia melirik ke arah jalan di depan rumah, lampu-lampu dari jendela rumah tetangganya yang mulai dimatikan, lalu bulan separuh yang mulai meninggi di langit sebelah timur.
"Setiap kali kamu cerita tentang Oki, sepertinya kamu kedengeran senang sekali," komentar Agni.
Pendar mengerjapkan matanya. Dia baru sadar kalau sudah terdiam terlalu lama.
"Begitukah?"
"Iya," jawab Agni. "Kamu dan dia seperti cocok sekali."
"Aku bahkan baru kenal dia. Padahal kami satu jurusan selama empat tahun."
"Kita juga baru kenal."
"Hahahaaa ... iya." Pendar melanjutkan, "Kita juga aneh kalau begitu."
"Mungkin enggak kamu akan jatuh cinta sama dia?" tanya Agni, hati-hati.
"Sama dia?" Pendar ingin memastikan siapa yang Agni maksud.
"Oki."
"Oh. Oki."
Pendar terdiam lagi. Dia tahu kalau pembicaraan seperti ini dengan Agni selalu saja ada banyak jeda untuk berpikir, bertanya ulang, memahami, mendengarkan hati sendiri. Sesuatu yang tidak dia dapatkan dari bicara dengan siapapun yang lain.
"Bisa jadi," jawab Pendar kemudian. "Tapi, jawab juga ini, Agni."
"Apa?"
"Kalau hatimu sudah terisi penuh oleh orang lain, menurutmu, bisa enggak kamu menyisihkan tempat untuk orang yang lain?" tanya Pendar.
Jeda lagi. Lebih lama.
Pendar mengambil cangkir di depannya, menyesap teh yang sudah lama mendingin, dan membuka jendela yang ada di hadapannya. Dia tidak ingin menyalakan pendingin ruangan malam ini. Seingatnya, sudah lama sekali dia tidak membuka jendela dan membiarkan udara malam masuk ke kamarnya. Dia tahu kalau dia sudah mulai merekam pembicaraan mereka, suara dari luar akan ikut terekam juga. Namun dia dan Oki sudah sepakat bahwa pembicaraan yang akan direkam itu sebaiknya terasa tidak dibuat-buat—apalagi terdengar seperti direkam di dalam studio. Suara malam yang menyusup ke dalam kamarnya tentu akan membantu agar rekaman yang dia buat tidak terdengar seperti dibuat di studio, begitu pikir Pendar. Dia menyesap lagi tehnya. Agni masih belum menjawab.
"Rasanya mustahil," jawab Agni akhirnya. "Tanda pembagian itu enggak pernah bisa masuk akal kalau sudah bicara tentang cinta. Tapi tanda perkalian, itu mungkin. Lucu, ya?"
"Tanda pembagian? Obelus," sambung Pendar.
"Iya. Menurutmu begitu, enggak? Kamu enggak bisa membagi hati, tapi kamu selalu bisa mengalikannya. Jadi, setiap kali, kamu memberikan sepenuh hatimu pada seseorang. Misalnya sekarang ini, aku jatuh cinta pada seseorang misalnya, itu dengan sepenuh hati. Lalu aku juga menyayangi orang yang lain lagi, misalnya orangtua dan adikku, itu juga sepenuh hati. Untuk mereka ini, bahkan aku sudah harus mengalikannya jadi tiga." Agni mencoba menjelaskannya. Dia lalu bertanya pada Pendar, "Apa sekarang begitu?"
"Apa?"
"Hatimu? Terisi penuh?"
Pendar terdiam. Dia tahu kalau Lula sudah tidak ada di sana walaupun luka yang dia tinggalkan masih terasa. Tetapi, apa benar itu luka? Bagaimana kalau ternyata itu hanya perasaan kehilangan karena di empat tahun terakhir, dia dan Lula berbagi banyak hal, dan itu membuat kepergian Lula menjadi berat buatnya? Bagaimana kalau kedatangan Agni dan Oki jadi semacam penyembuh yang membuat semua jadi sembuh dengan cepat—bahkan terlalu cepat? Setiap pertanyaan Agni membuatnya jadi bertanya lebih banyak lagi pada dirinya sendiri.
"Aku enggak tahu, Agni," jawabnya jujur. "Apa hatimu begitu?"
"Aku juga enggak tahu, Pendar," jawab Agni sedikit ragu. "Coba aku pikirkan. Coba kamu tanya lagi nanti."
"Aku akan tanya lagi nanti."
"Sekarang kita mulai rekaman?" tanya Agni.
"Oke."
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...