Agni mengangkat telepon dengan terburu-buru. Jam dinding masih menunjukkan pukul dua belas siang tapi pesawat telepon itu sudah berbunyi dan dia tidak ada janji menelepon di siang hari dengan Pendar hari ini. Pendar bilang, besok dia ada presentasi proyek podcast-nya dengan Oki, yang mana itu artinya; Pendar akan berdebat dengan gadis itu sampai malam. Agni suka sekali mendengar bagaimana mereka berdua selalu saja punya masalah yang bisa dipertengkarkan selama proyek ini berlangsung.
"Kalian lucu kalau sedang bertengkar," begitu katanya di suatu hari. Buat Agni mereka memang lucu.
"Pendar?" sapanya setelah menempelkan gagang pesawat telepon itu di telinganya. "Kita enggak ada janji menelepon siang ini."
"Kamu masih sakit, Ni?" suara Pendar terdengar berat dan sedikit serak.
"Iya," jawab Agni. "Masih agak pusing. Kenapa?"
"Aku nanya aja."
"Kamu jadi ke sini lusa, Nda?" tanya Agni. Dia tahu kalau lusa bisa jadi sakitnya belum membaik. Dia tidak ingin bertemu dengan Pendar dalam keadaan sakit, tapi dia juga ingin sekali bertemu dengan lelaki itu.
"Mungkin enggak, Ni," jawab Pendar. "Aku sudah di sini sekarang."
"Di mana, Nda?"
"Di tempatmu. Di rumahmu. Di Lembang."
"Di mana, Nda?"
"Di depan meja di ruang tengah."
"Nda?"
"Ya."
"Kamu sengaja mau jail, ya."
Agni tertawa dan dia bisa mendengar Pendar pun ikut tertawa. Namun dia merasakan ada pedih di sana. Agni pun bertanya lagi.
"Nda, ada apa?"
"Kiriman yang kamu kirimkan buatku enggak pernah sampai, ya?" tanyanya.
"Oh, tentang itu," Agni menjawab. "Aku tanya Pak Pos kemarin. Katanya alamat yang kamu kasih, itu hanya tanah kosong. Enggak ada apa pun di sana."
"Karena memang belum ada, Ni," jelas Pendar. "Kiriman untukmu pun baru datang beberapa waktu yang lalu. Aku baru lihat tadi."
"Nda ... kamu sebenarnya di mana?" suara Agni terdengar sedikit ketakutan. Pendar menangkap ketakutan itu di antara kata-kata yang diucapkan dengan tergetar yang sampai ke telinganya.
"Di rumah. Di Lembang," jawab Pendar. "Mungkin berdiri di tempat yang sama denganmu," jawabnya.
Agni terdiam. Dia mengangkat tangannya. Lalu terdiam. Lama.
"Katakan, Nda...," pintanya.
"2018," jawab Pendar.
"Bagaimana bisa?"
"Aku pun enggak mengerti, Ni."
"Nda...," panggil Agni, "Ini bukan mimpi, kan?"
"Bukan," jawabnya. "Megaria punya enam studio di tahun 2018, Nda."
"Hanya empat di 1993, Nda."
Mereka lalu tertawa. Lalu terdiam lagi.
"Kamu datang malam itu," ujar Agni.
"Aku datang. Kita enggak ketemu," jawabnya.
"Nda ... ceritakan yang lain. Ceritakan."
"Kamu mau tahu apa, Ni?"
"Semua," jawabnya. "Tapi, kalau aku menangis nanti, kamu jangan minta aku diam, ya."
"Iya," jawab Pendar. "Aku janji."
"Boleh aku menyeduh teh dulu, Nda?"
"Boleh, Ni. Bi Niken pun membawakan teh untukku, Ni."
Agni mulai menangis. Dia meletakkan gagang telepon itu dengan posisi miring dan berjalan ke dapur. Di sana ada Bi Niken sedang mengupas kentang. Perempuan itu bertanya apa yang Agni inginkan dan Agni tidak menjawab. Dia memasukkan air ke ceret kecil, lalu meletakkannya di atas kompor gas, menyalakannya, dan terdiam. Bi Niken tampak cemas dengan apa yang dia lihat. Namun Agni tidak juga ingin bicara. Bi Niken pun mundur dan melihat saja apa yang dilakukan gadis itu. Bersiaga seandainya dia membutuhkan sesuatu.
Agni tidak membutuhkan apa pun, dia membuat secangkir teh manis untuk dirinya sendiri, lalu membawa cangkirnya ke balkon. Dia lalu mengambil pesawat telepon dan gagangnya, lalu mulai bicara setelah dia duduk di bangku. Meja di depannya sudah rapi karena dia sudah menyelesaikan naskahnya. Hanya ada satu tumpukkan tebal kertas dan mesin tik yang sudah ditutup dengan plastik di sana untuk menjaga dari lembab.
"Apa Bi Niken sehat?" itu yang dia tanyakan pertama kali.
"Sehat," jawab Pendar.
"Apa aku bisa menanyakan tentang diriku di sana?"
"Aku enggak bisa menjawab itu, Ni."
Agni mendengar Pendar menarik napas panjang. Dia pun beralih ke pertanyaan selanjutnya.
"Apa yang aku kerjakan ini ada gunanya, Nda?"
"Naskahmu, Ni?"
"Iya."
"Aku memegangnya sekarang. Ini jadi harta, Ni. Bukan hanya buatku—" Pendar tercekat. Dia tidak tahu apakah seharusnya dia jujur menjawab semua itu.
"Jadi itu akan ada gunanya?" Agni bertanya lagi.
"Sangat, Nda," jawab Pendar pelan.
Agni menyentuhkan ujung -ujung jarinya ke cangkir teh yang masih panas.
"Nda, apa aku bisa mengatakan ini...."
"Katakan aja, Ni."
"Otakku belum bisa memproses ini semua, Nda. Aku enggak tahu ini mimpi atau bukan. Aku enggak tahu harus percaya padamu atau enggak."
"Aku paham...."
"Aku cuma mau bilang, makasih atas semuanya."
"Aku pun ... ingin mengatakan itu."
Mereka terdiam lagi. Agni menunggu Pendar mengatakan sesuatu, tapi dia hanya terdiam. Agni pun melanjutkan.
"Aku ingin menunggumu," ujarnya. "Dua puluh tahun itu enggak lama."
"Jangan, Ni."
"Aku ingin menunggumu."
"Jangan," ulang Pendar.
"Aku ingin menunggumu karena aku jatuh cinta padamu."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...