7. Apostrophe ['] Part-4

21 4 0
                                    

 Balasan pesan yang dia kirimkan baru sampai di hari Rabu, dua hari setelahnya. Pendar mengusap layar ponselnya, membaca satu baris yang isinya hanya:

Kapan hangout, Bro?

Pendar membalasnya dengan:

Tonight at 8?

Pesan berikutnya sampai tanpa perlu dia tunggu:

See you in a bit.

Gudang ini sudah selesai dia bersihkan. Semua barang yang menurutnya tidak perlu disimpan, sudah dia buang. Hanya tinggal beberapa kotak kardus besar berisi memento dari kehidupan Papa di masa lalu. Itu pun bisa jadi akan ada yang dibuang. Papa akan datang akhir pekan ini. Selalu begitu setelah urusan perceraian kedua orang tuanya bergulir. Dia akan menginap dan tidur di kamar tamu. Buat Pendar itu aneh; betapa dua orang yang dulunya saling mencintai berubah menjadi saling membenci dengan kedalaman yang—bisa jadi—sama.

Pendar duduk di kursi lipat besi yang dia temukan di balik lemari dengan bentuk yang sudah tidak keruan. Namun ketika Pendar membawanya ke luar, menyiramnya dengan selang semprotan taman, lalu menyikatnya dengan sikat yang biasa dia gunakan untuk membersihkan lantai toilet, kursi lipat itu mulai memperlihatkan bentuk aslinya yang ternyata tidak jelek-jelek amat—walaupun juga tidak nyaman-nyaman amat juga. Namun dia suka kursi itu. Dia akan meletakkannya di sudut taman sebagai kursi taman dengan gaya vintage. Terpikir juga untuk meletakkan pot tamanan di atasnya dan mengubah fungsinya jadi hiasan saja. Dia akan memikirkan hal itu nanti. Sekarang dia hanya ingin duduk di situ, memandangi ke sekeliling gudang dan merasa puas karena semua sudah rapi. Tinggal satu barang lagi; pesawat telepon yang dia letakkan di atas meja di sampingnya. Dia memainkan putaran pesawat telepon itu. Berpikir untuk menjadikannya sebagai hiasan di kamarnya.

Pendar bangkit, mengambil pesawat telepon itu, keluar dari gudang, dan mengunci pintunya dari luar. Hari sudah mulai gelap dan dia ingin beristirahat sebentar. Merebahkan tubuhnya di ranjang dan mengirimkan beberapa pesan kepada Lula. Mengatakan bahwa dia sangat merindukan gadis itu. Sejak siang, dia melihat sosial media Lula yang sedang ada acara di luar kota. Gadis itu mengunggah banyak sekali foto di tempat wisata, restoran, dan kafe. Namun tidak ada satu pun foto yang dikirimkan khusus untuknya. Dia melihat pacarnya sendiri di tempat lain dengan foto yang bisa dilihat oleh banyak orang lain. Pendar tidak suka itu tapi dia tidak akan mempermasalahkannya. Dia hanya meninggalkan like dan love di setiap foto itu.

* * *

"Wajah ... hmm, delapan. Body sembilan. Rambut ... aaah! Tiga puluh!" teriak Andri antusias, mengepalkan tangannya ke udara, lalu melanjutkan, "gue yakin dia suka juga sama gue."

Pendar tertawa, bukan karena Andri merasa percaya diri kalau cewek itu suka dengannya, tapi karena dia menilai rambutnya sampai tiga puluh dari skala satu sampai sepuluh.

"Bagus banget apa rambutnya?" tanya Pendar, penasaran.

"Lo pernah lihat air terjun?" pertanyaan ini tidak perlu Pendar jawab karena Andri sudah melanjutkan, "Bayangkan air terjun itu jatuh di pundaknya, man!"

"Andrian ... Andrian ... Andrian ... kamu berlebihan!" Pendar menyebut nama panjang Andri tiga kali untuk mengejeknya—mereka biasa melakukan itu untuk membuat jengkel satu dan lainnya.

"Pendar ... Pendar ... Pendar kamu tidak bisa membayangkannya karena memang dia di luar imajinasimu," balas Andri. "Lo itu seleranya 'girl next door' sementara gue sukanya 'the best in town'. Gimana, dong?"

Mereka lalu tertawa lalu menyesap kopi masing-masing. Pendar mengedarkan pandangannya ke kafe yang semakin malam menjadi semakin ramai, pasangan-pasangan yang menghabiskan waktu dengan bicara sambil menghabiskan minuman yang tidak terlalu penting apa dan bagaimana rasanya. Yang mereka cari di kafe ini adalah suasananya. Interior yang membuat betah duduk berlama-lama, penerangan yang membuat seolah pengunjung duduk di bawah matahari senja, dan juga lagu-lagu pengiringnya.

"Gimana orangtua lo?" tanya Andri kemudian.

"Masih proses," jawab Pendar cepat dan singkat.

"Lula?" tanya Andri lagi.

"Lagi dinas ke luar kota."

"Kalau cewek lo udah sibuk begitu, lo bakalan punya banyak waktu buat diri lo sendiri, kan," ujar Andri—entah untuk menghibur atau memberitahukan hal yang Pendar baru saja pahami beberapa hari belakangan. "Cari cewek baru!" sambung Andri.

"Enak aja! Bisa didendeng gue sama Lula!"

"Dendeng apa dendeng? Enak toh, didendeng?" goda Andri. Pendar tertawa.

"Ngapain kita habis ini?" tanya Pendar.

Andri tercenung sejenak, mengeluarkan ponselnya, mengusap beberapa kali, dan menjawab, "Gue ada janji sama orang."

"Okay," jawab Pendar sedikit kecewa.

"Sorry ya, Bro, gue tahu kita udah lama banget enggak hangout."

"No worries."

"Jadi lo mau ngapain?"

Pendar berpikir.

"Nonton sampai ngantuk?" jawabnya tidak yakin.

"Jangan sampai pagi," ujar Andri. Dia bangkit dan menepuk ringan pundak Pendar, "Lo udah begeng begini."

Andri mengeluarkan dompetnya, meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di atas nampan kecil. "Gue aja yang traktir," katanya lagi. "Telepon kalau ada apa-apa."

"Lo susah dihubungi. Gue nge-text aja baru dibalas dua juta tahun kemudian."

"Kemarin gue lagi konsentrasi menaklukkan si cewek dengan rambut air terjun ini lewat kata-kata, Bro. Susah ternyata. Tapi lumayanlah.... Gue searched banyak puisi-puisi romantis gitu."

Mereka lalu tertawa lagi sambil berjalan keluar dari kafe.

"Bego lo emang enggak ada obatnya," kata Pendar sambil melihat ke halaman parkir. Mobilnya ada di barisan pertama.

Dia lalu mengadah ke langit. Malam belum larut.

Andri meninju pelan bahu Pendar ketika mereka berpisah di depan pintu.

"Take care!"

Pendar melihat lagi ke arah langit.

Tapi malam belum larut, ujarnya dalam hati.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang