3. Comma [,] Part-3

25 6 0
                                    

 Agni menutupi badannya dengan selimut pagi itu, menggenggam tepiannya di depan dada, menahan agar udara dingin pegunungan tidak menyusupi kulitnya, dengan secangkir kopi di tangan kanan, dan mata yang melihat ke arah kabut tipis mengambang di balkon belakang. Agni meminta agar dia dibuatkan kopi setiap hari, pukul tujuh pagi. Dia tidak berniat untuk selalu bangun pagi setiap hari, tapi membuka mata dengan mengetahui bahwa ada secangkir kopi di meja makan yang menunggu untuk diminum barangkali—ya, barangkali, karena dia baru mencobanya hari ini—akan membuatnya ingin bangkit, berjalan, dan ingin memulai hari.

Balkon belakang ini berbatasan dengan tebing yang tidak begitu tinggi. Di bawahnya, ada sawah-sawah yang baru bisa terlihat setelah matahari mulai meninggi dan kabut menghilang. Jauh di depannya ada sebuah gunung dengan beberapa bukit kecil di sekelilingnya. Setiap kali datang ke sini, dia selalu saja tidak punya kesempatan untuk duduk di balkon karena tempat ini jadi favorit semua orang dan sekarang dia mengerti mengapa. Dia memilih untuk menyendiri saja walaupun untuk beberapa lama, dia tidak akan keberatan untuk bertukar cerita dengan sepupu-sepupunya. Tapi kalau terlalu lama, itu akan melelahkannya. Sekarang balkon ini miliknya. Dia bisa melakukan apa pun di sini, seperti pagi ini, berdiri di pagar pembatasnya dan menghirup udara pagi yang masih dingin dalam-dalam.

Bi Niken juga menyiapkan air panas untuk mandi. Dia mengatakannya ketika mengantarkan bolu kukus ke balkon. Dia hanya menghabiskan kopinya dan kemudian mandi. Lalu kembali untuk bolu kukus yang ada di sana sebelum akhirnya memutuskan untuk mengelilingi rumah ini. Mencari hal lain yang bisa dilakukan. Dia ingin memindahkan meja kerja yang dia lihat di ruang belajar ke balkon tapi tidak dengan kursinya yang kurang nyaman. Menjelang siang, dia mengatakan permintaannya kepada Bi Niken yang kemudian memanggil seorang lelaki—yang lalu dikenalkannya sebagai suaminya—untuk memindahkan dan memastikan satu kaki meja itu yang rusak diperbaiki juga. Sambil menunggu, Agni membuka kotak mesin tiknya, mengatur dua rim kertas yang dia bawa, dan memastikan kalau dia juga punya pita mesin tik baru sebagai cadangan.

Dia mengambil satu kursi meja makan dan membawanya ke balkon. Duduk di depan meja, menghadap ke gunung, dengan mesin tik, kertas, pensil, secangkir teh, sepiring kecil biskuit ... tanpa melakukan apa pun sampai sore. Kertas itu kosong dan jemarinya hanya bisa dia letakkan di atas tuts mesin tik tanpa bergerak. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Tidak ada apa pun yang bisa dia ceritakan. Lalu dia menangis—padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi selama ada di rumah ini. Tapi dia menangis sampai hari gelap. Dia baru berhenti ketika Bi Niken mendekatinya untuk pamit pulang.

Agni menghapus sisa airmata di ujung mata sembabnya, berjalan ke ruang tengah, menyalakan lampu di dekat meja sudut, dan melihat ada pesawat telepon di sana. Bentuknya antik dengan putaran, bukannya tombol yang bisa ditekan. Kabel di belakangnya tidak tersambung. Dia mencoba menyambungkannya dan berhasil—tidak terlalu sulit, memang, yang diperlukan hanya mencari lubang tempat ujung kabel itu bisa pas dimasukkan. Agni ingin menelepon ke Jakarta, ke rumahnya, bicara dengan mamanya. Mungkin dia bisa menceritakan betapa hari ini berjalan baik tanpa ada satu hal pun yang bisa dia lakukan. Dia urungkan itu. Dia memilih untuk berganti dengan piyama dan tidur. Tapi baru sebentar matanya terpejam, dia mendengar suara berisik yang tidak dia kenali asalnya dari mana, lantai rumah pun rasanya bergetar kencang, lalu tidak lama kemudian, suara pintu dibuka kasar dan dibanting begitu saja. Bi Niken sudah ada di depan dipan, dengan daster, dan matanya yang membelalak.

"Non ... gempa, Non!" teriaknya.

Agni bangkit dan duduk di tepi ranjang. Dia merasakan getaran di telapak kakinya ketika dia mencoba berdiri.

"Kita harus keluar dari sini!" teriak Bi Niken lagi. Kali ini sambil meraih tangan Agni dan memaksanya untuk berjalan cepat ke arah halaman depan rumah.

Mereka sampai di teras ketika getaran itu berhenti. Agni mengikuti saja apa kata Bi Niken dan suaminya yang ingin mereka menunggu beberapa saat sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam rumah. Bi Niken menanyakan apa Agni ingin dia tidur di kamar tamu agar bisa menemani Agni, gadis itu menolak. Dia malah balik bertanya dengan penasaran, "Apa di sini sering gempa?"

Kalau gunung yang dia lihat dari balkon itu adalah gunung merapi aktif, bisa jadi memang di sini sering ada gempa. Tapi jawaban Bi Niken membuatnya sedikit heran, "Enggak, Non. Enggak pernah sebelumnya."

Agni mengunci pintu dan berjalan ke kamarnya setelah mengatakan berkali-kali sampai akhirnya Bi Niken menyerah, kalau dia berani tidur sendiri—perempuan itu tidak perlu kuatir. Telepon berdering satu setengah kali ketika Agni berdiri di sampingnya dan mematikan lampu meja. Iya, satu setengah kali; satu deringan panjang dengan satu deringan pendek yang dia hitung sebagai 'setengah'. Agni ingin mengangkatnya karena bisa saja itu mama atau papanya yang kuatir dengan gempa yang baru saja terjadi. Tapi telepon itu tidak berdering lagi. Agni pun mengurungkan niat untuk menelepon ke Jakarta karena sudah menjelang tengah malam. Dia bisa melakukannya besok pagi—setelah secangkir kopinya habis, tentu saja.

Sialnya, dia tidak bisa tidur. Dini hari, dia duduk di balkon dengan secangkir susu hangat yang dia panaskan sendiri di dapur agar kantuk datang. Tapi sampai matahari muncul, dia tidak juga mengantuk. Paginya, setelah mandi, dia merebahkan badan sebentar di dipan—rencananya—tapi malah tertidur sampai lewat tengah hari. Dia mencoba menelepon ke Jakarta tapi aneh; setelah dia memutar nomer telepon rumahnya, suara 'tuuut' panjang yang menjadi tanda kalau telepon itu tersambung dan bisa dipakai, tidak juga menghilang.

"Sambungan telepon itu rusak, Non," ujar Bi Niken ketika Agni menanyakannya. "Udah lama sekali dilaporkan tapi belum ada yang datang ngebenerin. Kalau mau nelpon ke Jakarta, bisa dari rumah Bibi aja, Non," tawarnya. Agni menolak dan mengatakan terima kasih. Lain kali, mungkin dia akan melakukannya, tapi tidak sekarang.

"Apa ada Pak Pos datang ke sini?" tanya Agni lagi.

"Ada, Non," jawabnya cepat. "Setiap Senin siang."

"Apa bisa menitipkan surat?"

"Bisa. Pak Posnya kenal, kok, sama orang di sini. Sama saya, sama Kang Budi." Yang dia panggil 'Kang Budi' itu adalah suaminya.

Agni memutuskan untuk mengirimkan saja surat ke Jakarta nanti. Dia bisa menuliskan banyak hal tanpa harus merisaukan reaksi mamanya—sampai surat balasannya datang.

"Gempa kemarin, apa ada penjelasannya?" tanya Agni. Bi Niken tentu punya orang-orang di sekitar sini yang bisa memberikan dia informasi, begitu pikirnya.

"Hmmm ... enggak ada," jawabnya, "gempa biasa yang enggak terlalu kuat. Itu aja katanya, Non. Bibi dengar dari tukang ikan di pasar." Dia lalu berjalan ke ember berisi ikan yang ada di tempat cuci piring. Ikan-ikan itu sudah dibersihkan dan tinggal menunggu diolah.

"Makan ikan malam ini, ya, Non?" tanyanya kemudian.

"Apa aja, Bi. Saya makan."

Agni memang tidak peduli. Dia menuang secangkir teh yang baru dibuat Bi Niken, lalu berjalan ke arah balkon. Sore akan segera berganti malam dan dia masih juga tidak mengerti apa yang seharusnya dia kerjakan di sini. Dia ingin menuliskan sesuatu—tapi tentang apa? Gunung yang ada di depannya terlalu sederhana untuk dijabarkan dalam paragraf panjang. Hatinya masih terlalu rumit dan belum juga dia pahami bagaimana bentuknya.

Dia duduk di sana sampai malam. Sampai mendengar suara dering telepon berulang-ulang.

Dia pun bangkit dan berjalan ke ruang tengah untuk mengangkatnya.

Suara lelaki bertanya dengan suara keras, "Halo? Ada orang di sana? Halo?!"

Agni menjauhkan gagang telepon itu dari telinganya tapi dia masih juga bisa mendengar suara lelaki itu.

"Halooo?! Ini nyala enggak, sih? Nyambung enggak?!"

Agni terdiam.

Enggak sopan banget orang yang menelepon ini, pikirnya. Pikiran yang urung dia ungkapkan.

"Yaaa ... halo," ujarnya berusaha sopan.

"Eh, ada suara! Ini siapa?!"

"Mau bicara dengan siapa, Pak?" tanya Agni.

"Hah?! Pak! Eeeh ... apa-apaan sih, ini?"

"Salah sambung kayaknya," kata Agni. Dia menutup telepon itu.

Salah sambung dan enggak sopan, ujarnya salam hati.

Telepon itu berdering lagi. Agni tidak mengangkatnya. Dia berjalan ke kamar dan berganti dengan piyama. Dia ingin tidur. Dia harus tidur.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang