15. Bracket [ [] ] Part-1

16 4 0
                                        

 Sudah hampir sebulan Pendar berusaha membuat janji bertemu dengan Lula dan selalu saja tidak berhasil. Gadis itu terlalu sibuk, jamnya tidak cocok, atau dia tidak sedang ada di Jakarta. Pendar berusaha tidak terlalu memikirkannya. Menenggelamkan diri dalam tugas, buku kuliah, bahkan dia mengambil dua kursus daring untuk menambah kemampuannya coding. Dia memastikan kalau tidak ada waktu yang tersisa untuk melamunkan hari-hari, yang semakin lama, terasa semakin lengang saja.

Andri mengajaknya makan di luar siang tadi. Mencuri waktu di antara kelas dan tugas. Mereka bertemu, makan, bertukar satu-dua cerita tentang betapa makin cantiknya gadis berambut seperti air terjun yang sedang disukai Andri. Dia mengatakan kalau gadis itu berbeda dengan yang lain dan Pendar percaya itu karena dia tidak pernah melihat Andri seperti ini sebelumnya. Semua pacar-pacarnya yang dulu hanya mereka bahas sekilas lalu. Namun gadis ini mendominasi pembicaraan dan membuat Pendar penasaran.

"Secantik apa, sih?" tanyanya.

"Ah, gue mau aja ngeliatin akun sosmednya ke lo. Tapi ini bukan tentang itu, Man!" Andri terdengar sok bijak dan jadi sedikit sensitif.

Bukan tentang itu, katanya, pikir Pendar, lalu tentang apa?

"Dia menghantui sampai ke tidur gue," ujar Andri lagi.

"Lo jatuh cinta berarti, ya? Bukan suka-suka doang?" Pendar memastikan.

"Definisi jatuh cinta itu kayak apa dulu, Bro?" Andri balik bertanya. "Gue enggak paham kalau ini bisa disebut jatuh cinta atau enggak. Kalau disebut kegilaan, gue setuju. Gue jadi gila."

"Gue juga enggak tahu definisi pastinya kayak apa."

"Lo enggak jatuh cinta sama Lula emangnya? Kalian udah jalan lama banget begitu."

Pendar terdiam. Meminum jus jeruknya beberapa teguk lalu berpikir. Dia tidak pernah mempertanyakan hal itu sebelumnya. Dia dan Lula memang pacaran sudah lama dan yaaa ... begitu saja. Mereka jalan, mereka ketergantungan satu sama lain, mereka saling nyaman, dan mereka tidak punya keinginan untuk berpisah—setidaknya, tidak dalam waktu dekat. Namun untuk melanjutkan ke arah yang lebih serius, mereka juga tidak punya rencana—setidaknya, tidak dalam waktu dekat. Mereka tidak pernah membicarakannya walaupun beberapa kali Pendar pernah memikirkannya.

"Jatuh cinta enggak lo?" tanya Andri lagi. Dia sudah menghabiskan makanannya dan melihat ke arah piring Pendar yang masih terisi setengah. Pendar memang tidak ingin melanjutkan makannya karena pikirannya dipenuhi hal lain, pertanyaan; apakah selama ini dia jatuh cinta?

"Susah, kan...." Andri menyandarkan punggungnya ke sofa.

Restoran ini semakin ramai karena jam makan siang baru saja dimulai. Andri mengeluarkan ponselnya, mengusap layarnya beberapa kali, lalu meletakkannya dalam keadaan menghadap ke atas sebelum mendorongnya ke arah Pendar.

Ada foto seorang gadis di sana, tersenyum, menghadap ke kamera. Wajahnya cantik, hidungnya bangir, rambutnya sedikit melebihi bahu dan memang seperti yang diceritakan Andri; bentuknya seperti air terjun yang lurus, halus, dan menghanyutkan.

"Cantik," komentar Pendar. "Cantik banget."

"Dia tahu gimana caranya ngebikin gue enggak tahan untuk enggak nelpon atau nge-chat dia." Andri mengambil lagi ponsel itu. "Gue kayak sakaw kalau dia enggak menghubungi gue sehari aja. Makanya gue lebih suka ini dibilang kegilaan. Gue emang enggak waras sekarang. Tapi, gue juga enggak pengen hubungan ini jadi serius kalau dia belum siap atau enggak mau."

"Serius gimana maksud lo? Pacaran?"

"Sama dia rasanya gue enggak pengen pacaran, Bro. Gue mau langsung aja," jawab Andri sambil tertawa kecil.

"Nikah?"

"Iya," jawabnya singkat.

Pendar menatap Andri dengan tatapan tidak percaya.

"Seumur hidup lo dan sepanjang gue kenal sama lo, lo itu enggak bisa diajak komitmen. Jangan komitmen, deh, jaga mata lo biar enggak lirik cewek lain aja, lo enggak bisa."

"Iya, gue akui itu."

"Terus sekarang lo berubah?" tanya Pendar lagi. Dia ingin penjelasan karena sepertinya memang isi otak temannya itu sudah tidak beres.

"Bukan berubah. Apa yaaa.... Gue enggak ngerti. Ini susah."

Pendar menghembuskan napas panjang.

"Kasih tahu gue kalau lo udah tahu jawabannya," lanjutnya lagi. "Percuma ngobrol sama orang yang mikir aja udah enggak bisa."

"Lo juga cari tahu jawabannya, dong, biar semua ini masuk di logika gue," kata Andri sambil mengeluarkan dompetnya. "Gue traktir."

"Lo traktir gue melulu."

"Iya. Enggak masuk logika juga, kan? Emang gila banget gue sekarang."

Pendar kembali ke kampus siang itu dan baru pulang setelah gelap. Di rumah tidak ada siapa pun. Mama mulai merasa bahwa dia sebaiknya tidak menghabiskan waktu terlalu lama di rumah dengan terlalu banyak kenangan tentang seseorang yang sebentar lagi akan jadi mantan suaminya. Sementara Papa, setelah semua barang-barangnya dipindahkan ke apartemen barunya dua pekan lalu, dia lebih suka kalau Pendar yang mendatanginya ke sana. Pendar merasa tinggal di sisa kenangan orang tuanya yang mereka berdua pun sudah tidak ingin memilikinya.

Malam itu dia habiskan dengan mengerjakan tugas kuliah dengan televisi menyala di hadapannya. Dia tidak menonton apa pun yang ada di layar televisi itu. Dia hanya ingin mendapatkan perasaan kalau dia tidak sendirian di rumah ini dan suara musik serta orang mengobrol di televisi itu membuat dia merasa, setidaknya, tidak terlalu sepi. Sesekali dia melirik ke arah pesawat telepon yang sekarang tidak sedang tersambung ke saluran telepon karena dia sedang menggunakan internet. Dia ingin sekali menekan redial dan bicara dengan gadis di ujung lain telepon itu. Ingin sekali. Namun tugasnya masih banyak dan dia tidak ingin menumpuk tugas itu dan baru mengerjakannya kalau sudah mendekati tenggat.

Namun pesawat telepon itu seolah menggodanya.

"Ah, persetan!" teriakannya tertahan—dan dia tidak mengerti mengapa dia menahannya karena tidak ada seorang pun yang akan terganggu di rumah ini sekarang kalau dia berteriak-teriak.

Pendar bangkit. Mencabut kabel sambungan modem lalu menyambungkan kabel ke pesawat telepon. Menekan redial, mendengar nada sambung beberapa kali, sampai nada itu berubah menjadi lebih cepat—tanda kalau telepon itu tidak diangkat. Dia mencoba sekali lagi dan hasilnya masih sama. Dia meletakkan gagang telepon itu ke tempatnya lalu kembali duduk di sofa. Mencoba mengalihkan pikiran dengan melihat dua pecinta di layar televisinya sedang berpelukan karena mereka akan berpisah. Dia bahkan lupa film apa yang dia pilih tadi.

Pikirannya tidak teralihkan.

Dia memejamkan mata. Berusaha mengirimkan pikirannya lebih jauh dari sekedar rumah ini, kesepian, dan rasa rindunya pada Lula—seharian ini gadis itu tidak membalas pesannya.

Lalu telepon itu berdering.

Pendar terlonjak kaget. Dengan cepat dia menjangkau remote televisi, mematikannya, dan setengah berlari ke pesawat telepon yang masih berdering itu.

"Ag—Agni?" tanyanya di tengah napasnya yang terengah.

Terdengar suara dari seberang, "Menurutmu siapa lagi? ... eh, halo."

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang