Kang Budi mengatakan kalau pesawat telepon itu memang rusak. Dia beberapa kali melepas, menyambungkan, lalu melepaskan lagi kabel pesawat telepon itu, dan dia tetap tidak mendengar nada apa pun di sana. Agni mencoba ikut mendengarkan, memang tidak ada suara apa pun.
"Tapi, semalam ada telepon salah sambung ke sini dan saya angkat, Kang," ujar Agni.
"Mungkin ini bisa, Non, tapi kadang-kadang," jawab Kang Budi memberikan jawaban mengambang. "Kalau lagi bisa, ya bisa. Kalau lagi enggak, ya enggak. Gitu."
Agni memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan pesawat telepon ini dan meminta nomernya ke Bi Niken siang itu untuk dituliskan di surat yang akan dia kirim ke Jakarta esok hari karena menurut perempuan itu tempo hari, Pak Pos akan datang ke sini setiap Senin pagi.
"Biasa bawa majalah langganan Tante Lusi," jawab Bi Niken ketika Agni bertanya lagi tentang kedatangan Pak Pos itu, "tapi, yang baca yaaa ... saya." Bi Niken lalu tersenyum. Dia menuang teh ke cangkir yang ada di depan Agni dan mendekatkan sepiring ubi merah rebus. Asap tipis masih mengepul dari tumpukan ubi itu. Agni memperhatikan asap itu mengambang, naik, lalu menghilang.
"Saya mau jalan-jalan mungkin, Bi," ujar Agni. Dia menambahkan gula ke dalam cangkir tehnya lalu mengaduk pelan dengan sendok kecil.
"Bosan, ya, Non?" tanyanya.
Perempuan itu sekarang sudah duduk di samping Agni, di meja makan yang ada di dapur—dan seharusnya tidak digunakan untuk makan sehari-hari. Namun Agni malas menggunakan meja makan besar di ruang tengah yang sangat luas dengan dua belas bangku yang mengitari meja itu. Dia akan makin merasa sendirian. Beberapa hari di awal dia tinggal di sini, dia masih menggunakan meja itu untuk makan malam. Lalu kebiasaannya berubah—atau sengaja dia ubah—dengan makan di meja makan kecil di dapur. Di siang hari seperti ini, Bi Niken akan menemaninya sambil mengupas dan memotong sayuran. Mereka bisa bercerita tentang hal-hal kecil; kehidupan Bi Niken di sini, apa saja yang dijual di pasar, bagaimana membuat masakan ini dan itu, dan kadang, Bi Niken menceritakan tentang keluarga besarnya yang tinggal lebih dekat ke kota.
"Enggak bosan kok, Bi," jawab Agni, "cuma mau lihat-lihat aja."
Dia memang, sepertinya, perlu keluar dari rumah ini. Sudah hampir dua minggu dia tinggal di sini dan setiap hari, dia hanya duduk di balkon sambil memandang ke arah gunung. Dia bahkan sudah hapal kapan kabut menghilang, kapan petani di sawah yang ada di lembah datang dan pulang, kapan anak-anak sekolah melewati pematang sambil membuat barisan panjang. Dia ingin melihat yang lain.
Tulisannya pun tidak ada perkembangan. Dua rim kertasnya masih rapi tanpa noda apa pun.
"Jalanan di sini bagus banget, Non, kalau si Non mau sampai ke lembah. Tapi ... hati-hati, ya. Kalau malamnya hujan, jalanannya biasa licin," terang Bi Niken. "Kalau diteruskan ke arah barat, Non bakalan ketemu sama sungai. Di situ indah banget, Non."
Agni tahu sungai itu. Dia bisa melihat alirannya dari balkon. Sungai berbatu dengan arus yang sepertinya tidak terlalu deras.
Dia menyentuh ubi rebus dengan ujung jarinya. Masih terlalu panas. Dia mengurungkan niat untuk mengambilnya dan lebih memilih untuk menyesap tehnya yang sudah mulai dingin. Agni melihat ke arah ruang tengah yang dipisahkan oleh pintu kayu besar. Pintu itu sekarang terbuka. Dia bisa melihat ke arah meja yang ada di dekat pintu, di mana pesawat telepon diletakkan. Dia ingin pesawat telepon itu berdering lalu telepon salah sambung itu datang lagi. Dia ingin bicara dengan seseorang dan bukan tentang hal remeh-temeh seperti ini. Dia ingin mendengar lagi seseorang mengatakan suaranya seperti es krim.
"Non bisa naik sepeda?" tanya Bi Niken kemudian. Dia meletakkan satu ikatan kangkung dan menatap ke arah Agni yang sedang menelan satu tegukan teh.
"Bisa," jawab Agni setelah teh itu melewati tenggorokannya.
"Di belakang ada sepeda tapi rusak. Coba nanti Bibi minta Kang Budi buat benerin."
Mata Agni membulat, "Benar, Bi?"
"Iya, ada."
"Ah!" Agni nyaris berteriak.
Bi Niken menatap Agni dengan alis yang bergerak mendekat.
"Cuma senang aja, kok, Bi," jawab Agni sambil tersenyum, "senang sekali."
"Kayaknya rem blong atau apa gitu, Non," Bi Niken berusaha memberikan penjelasan.
"Enggak apa kalau sepedanya jelek, Bi. Saya tetap mau pakai."
"Enggak jelek kok, Non. Warnanya cokelat dan ada keranjang rotan di depannya."
Ketika mendengar kata 'keranjang', Agni membayangkan kalau dia bisa memasukkan buku atau cemilan di sana. Dia tersenyum lagi tapi hanya sebentar karena terdengar satu deringan pendek dari ruang tengah. Agni menoleh. Menunggu deringan itu berulang, tapi setelah itu hening. Bi Niken juga menatap ke arah ruang tengah kemudian bangkit dan mengambil bawang merah dari tempat menyimpanan di dekat rak dapur. Dia tampak tidak peduli dengan dering yang baru saja mereka dengar.
"Bi, teleponnya bunyi!" ujar Agni.
Bi Niken berhenti di depan rak, menoleh, dan melihat ke arah Agni. "Bunyi apa, Non?"
"Telepon," jawab Agni.
"Ah, enggak. Itu bunyi tukang es doger kali, Non. Bibi enggak denger apa-apa, kok. Mau es doger, Non?"
Agni menggeleng. Dia melihat lagi ke arah ruang tengah.
Apa benar telepon itu baru saja berbunyi sekali atau itu bunyi lain yang dia salah dengar?
"Si Non emang perlu jalan-jalan, deh. Sumpek begitu keliatannya," ujar Bi Niken yang berjalan mendekat dengan segenggam bawang merah di tangan kanannya. Dia kembali duduk di hadapan Agni.
"Tumis kangkung suka enggak, Non?" tanyanya sambil mulai mengupas bawang dengan pisau kecil.
"Saya makan apa pun, Bi. Selama di sini, saya makan terus kerjaannya. Kayaknya berat badan saya nambah juga."
Agni menoleh sekali lagi ke arah telepon itu. Dia yakin kalau tadi dia mendengar suara deringnya. Dia yakin.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
Roman d'amourSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...
