Agni memberitahu Dira kalau dia ada janji sore ini dan adiknya itu—karena Agni baru mengatakan kalau dia ingin minta diantar ke tempat janjiannya—sudah terlanjur membuat janji lain dengan temannya.
"Harusnya bilang dari kemarin biar gue bisa batalin janjian yang ini," ujar Dira. "Di mana, sih, janjiannya?"
"Megaria," jawab Agni.
"Nonton?"
"Mungkin. Kalau enggak, yaaa ... ngobrol aja dan makan pempek."
"Beneran, deh, harusnya lo bilang dari kemarin. Janjian gue siang ini tuh, enggak penting. Tapi udah enggak bisa dibatalin lagi karena ... lo liat," Dira membuat gerakan menunjuk dengan kedua tangannya dari kepala sampai ke kakinya, " ... gue udah siap, rapi, dan kece."
"Enggak apa-apa. Gue naik bis aja."
"Gila aja, lo, naik bis. Itu jauh. Lagian, ngapain sih janjiannya sejauh itu? Blok M lebih dekat dari sini. Ada bioskop juga."
"Rumahnya di utara. Ini udah tengah-tengah."
"Ah, anak utara," komentar Dira.
"Kenapa dengan anak utara?" tanya Agni penasaran.
"Mereka kurang kece," jawab Dira sambil tertawa, "lo harus tampil lebih kece dari mereka."
"Mereka? Gue janjiannya sama satu orang doang," jawab Agni—dan kemudian sangat dia sesali karena Dira bertanya dengan cepat tentang siapa satu orang itu.
"Satu orang? Cowok?" tanyanya dengan nada penasaran. Dia mengambil ban pinggang dari lemari dan memakainya, lalu bercermin, berputar beberapa kali, lalu ban pinggang itu dia lepaskan lagi. "Tren ban pinggang ini udah enggak menarik lagi," komentarnya, "Gue enggak pakai, deh." Dia lalu mengambil hair-spray dan merapikan anak rambut yang muncul di tepi pelipisnya dengan menyemprotkan sedikit lalu menekan rambutnya pelan-pelan.
"Namanya Pendar. Kenalan baru," jawab Agni apa-adanya.
Dira melirik ke jam dinding. Sudah lebih beberapa menit dari jam satu siang.
"Gue telat! Gue berangkat dulu. Lo naik taksi aja, jangan naik bis!" ujarnya sambil mengecup ringan pipi Agni. "Jangan pakai baju kayak begini. Lo ambil kulot gue, deh, di lemari."
Agni mengikuti adiknya itu keluar dari kamar dan berjalan cepat ke ruang tamu.
"Bilangin sama Mama gue pulangnya malem."
"Oke," jawab Agni. "Lo janjiannya jam berapa, sih?"
"Dua belas," jawab Dira sambil meraih kunci mobil di meja ruang tamu.
"Ini telat banget, dong."
"Biasalah, anak selatan," jawabnya sambil menghilang ke pekarangan.
Agni tertawa dan menutup pintu ruang tamu. Tinggal dia sendirian di rumah ini. Orang tuanya sedang pergi ke resepsi pernikahan anak salah seorang teman mereka sejak menjelang siang tadi. Masih ada beberapa jam sebelum dia harus bersiap-siap untuk pergi. Dia berjalan ke ruang tengah, menyalakan televisi, tetapi kemudian matanya terpaut pada pesawat telepon yang ada di sana. Dia memegang gagangnya lalu mulai menekan nomer milik Pendar.
Telepon itu tersambung.
Suara Pendar terdengar beberapa saat kemudian.
"Kamu enggak pernah telpon siang-siang." Itu yang pertama kali terdengar dari Pendar, tanpa ada kata 'halo' yang mendahuluinya. "Ada apa?"
"Enggak ada apa-apa," jawab Agni. "Aku di rumah sendirian. Bosan. Enggak bisa menulis karena mesin tik sengaja ditinggalin sama Dira di Lembang."
"Oh, okay." Pendar kemudian bertanya lagi, "Jadi ... kalau kamu bosan dan enggak tahu mau ngapain lagi, yang keingetan sama kamu itu ... bicara denganku? Hmmm, bukan yang lain?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...