Agni tidak membawa mesin tiknya karena Dira sengaja meninggalkan benda itu—yang sudah dimasukkan ke kotaknya dengan rapi—di teras beserta satu tas selempang berisi kertas dan peralatan menulis Agni yang lain. Bi Niken memanggil mereka berdua ketika mobil yang dikemudikan Dira keluar dari pekarangan, tetapi gadis itu sengaja tidak berhenti. Dia malah berbelok dengan cepat dan hampir menabrak pot-pot kaktus di pekarangan. Mungkin ada satu pot yang terguling karena kemudian dari spion dalam, Agni melihat Bi Niken tergopoh-gopoh mendekati deretan pot kaktus itu. Ketika itu, Agni melihat ada dua benda yang tergeletak di teras dan dia mengenalinya dengan baik.
"Lo enggak akan nulis. Gue benci suara mesin ketik lo. Kita akan bersenang-senang seminggu ini!" ujar Dira sambil menoleh ke arah Agni sebentar. Dia tertawa dan Agni terdiam saja.
Bukan tentang dia yang tidak akan menulis selama di Jakarta itu yang jadi bahan pikirannya. Dia baru teringat kalau dua malam lagi, Pendar akan menelepon. Mereka membuat janji baru di telepon terakhir dan Agni melupakan janji itu karena Dira terlalu heboh memaksanya untuk cepat pergi dari sini. Malam ini, seharusnya dia menelepon Pendar.
"Lo yakin gue bisa diajak bersennag-senang?" tanya Agni.
Dira tertawa makin keras. "Kecuali lo punya hobi baru buat menyiksa diri, gue rasa itu bukan hal yang susah."
Agni ingin mendengar lanjutan cerita Pendar tentang patah hatinya. Dia belum mau menceritakannya dengan detail kemarin. Dia hanya berkata kalau dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari 'rumah' yang ternyata selama beberapa waktu hanya dia tempati sendirian.
"Aku sudah lama ditinggalkan dan aku enggak menyadari itu," katanya dengan suara sendu. Baru kali itu Agni mendengar suara Pendar seperti itu. "Kalau hubungan gue sama Lula diumpamakan rumah yang kami tinggali bersama-sama selama empat tahun terakhir, yang kita rawat, hias, dan selalu jadi tempat pulang yang menyenangkan setelah seharian lelah di luar, maka beberapa waktu belakangan ini, dia bukan hanya sudah enggak ada di rumah. Dia sudah pindah."
Analogi yang Pendar berikan tentang rumah itu bukan hanya menyentak Agni karena kemudian dia teringat bahwa dia bukan hanya ditinggalkan begitu saja seperti Pendar. Mungkin sebenarnya dia dan Adam tidak pernah benar-benar membangun 'rumah' mereka. Bertahun-tahun Agni dan Adam berhubungan, putus-nyambung, tidak pernah benar-benar sampai terasa dalam oleh Agni. Salah satu alasan Agni menerima pinangan Adam adalah karena lelaki itu menawarkan kepastian yang Agni inginkan—yang dulu Agni inginkan karena dia merasa umurnya sudah lebih dari cukup untuk menikah.
Pendar lalu bercerita tentang Lula yang mulai memasukkan ke kardus barang-barangnya dari rumah itu.
"Satu yang aku sesali," sambungnya, "dia melakukannya di bawah hidungku dan aku enggak menyadari itu. Dia memindahkan kardus itu satu per satu, sampai di suatu hari aku tersadar kalau aku tinggal sendirian di rumah itu dan semua barang yang ada di sana hanya milikku."
Suara Pendar semakin sendu dan rendah. Mereka pun banyak terdiam setelah itu. Agni tahu kalau Pendar patah hati—seperti yang dia katakan di awal pembicaraan mereka. Agni juga tahu rasanya patah hati dan dia ingin menghibur Pendar dengan mengatakan apa pun yang bisa membuat lelaki itu tidak sedih lagi. Namun Agni mengurungkan niatnya itu. Dia pun tidak bisa mengobati patah hatinya sendiri. Dia melarikan diri ke rumah ini, mengurung diri, tidak ingin melihat apa pun yang mengingatkannya pada Adam. Dia cemen, seperti kata Dira.
"Dir, gue cemen banget, ya?" tanya Agni pada adiknya itu yang asyik mengemudikan mobil tanpa bicara. Dira bukan tipe yang suka mengobrol seperti Agni. Dia banyak terdiam dan kalau sekalinya bicara, dia akan mengeluarkan kalimat-kalimat yang langsung ditargetkan, kalau tidak ke kepalamu untuk meruntuhkan logikamu, maka kalimat itu akan meluluh-lantakkan hatimu—seperti yang dia lakukan tadi siang.
"Iya, lo agak-agak bego jadinya kalau udah menyangkut urusan si Adam jelek itu," jawabnya.
"Emang dia jelek?" tanya Agni sambil tersenyum.
"Enggak, sih. Mukanya enggak. Kelakuannya yang jelek," jawab Dira.
Matahari mulai merendah, sembunyi di balik deretan pohon pinus di sepanjang jalan. Agni menyandarkan kepalanya ke sisi jendela mobil yang sengaja dia buka agar aroma pohon pinus itu tercium olehnya.
"Kak, udah dong sedihnya," kata Dira pelan. Mobil meluncur tenang di jalan yang tidak terlalu ramai. "Mau sampai kapan patah hatinya?"
"Gue udahaan, kok," ujar Agni. "Gue juga tahu kalau gue enggak kawin-kawin, nanti lo susah lagi mau ngelangkahin gue."
Tawa Dira pecah. "Kurang ajar, lo!"
Agni ikut tertawa karena tawa Dira yang renyah itu menyenangkan untuk didengar dan menular.
"Gue pacar aja belum punya. Gila, lo," ujarnya lagi di tengah tawanya.
"Lo galak makanya cowok pada takut."
"Daripada kayak elo, bego, terus diselingkuhin melulu."
Agni tertawa lebih keras.
"Kita berdua ini begonya udah enggak ada obatnya," ujar Dira sambil melirik ke arah Agni yang menutupi mulutnya dengan kedua tangannya karena tertawa terlalu lebar.
Agni masih juga memikirkan Pendar di sela tawanya. Malam ini, seharusnya dia menelepon Pendar, tetapi dia bisa jadi masih ada di jalan. Lalu dua malam lagi, Rabu malam, pesawat telepon di ruang tengah akan berbunyi berkali-kali dan tidak ada yang mengangkat. Agni memejamkan matanya. Membayangkan kalau dia akan mengangkat telepon itu dan mereka bicara sampai menjelang tengah malam seperti biasanya. Bicara tentang hati, tentang kemungkinan-kemungkinan, dan tentang hal sepele yang tidak bisa dia bicarakan dengan orang lain.
Matahari menghilang dan langit mulai gelap.
Agni menghembuskan napas panjang. Dia lelah tertawa dan dadanya melega. Namun kemudian dia merasa dada yang sudah lapang itu kembali terisi dengan kerinduan. Agni tahu, dia sudah merindukan hari yang bahkan belum datang. Dia merindukan telepon dan pembicaraan yang baru akan terjadi nanti malam dan dua hari lagi.
Dia mengutuk kebodohannya yang lupa menghapalkan nomer telepon Pendar. Dia akan ke Jakarta dan Pendar di Jakarta. Mereka bisa saja membuat janji bertemu. Nomer telepon Pendar dia catat dan simpan bersama kertas-kertas hasil ketikannya.
Bodoh!
Agni mengira kalau dia berteriak dalam hati, tetapi ternyata Dira mendengarnya.
"Elo? Emang!" jawab adiknya itu cuek. "Ngapain lo teriak-teriak sendiri?"
"Kita enggak bisa balik lagi, ya? Sebentar?" tanya Agni takut-takut.
"Mau ngapain?"
"Ambil mesin tik sama tas gue."
"Ini kita udah sampai Jagorawi!"
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...