35. Obelus [ : ] Part-2

16 5 0
                                        

 Pendar menahan napasnya. Dia siap apa pun yang akan datang—kemarahan atau caci-maki sekalipun. Namun yang kemudian terdengar adalah suara Agni yang pelan—terlampau pelan. Seperti ada sesuatu yang ditahan, yang dia tidak ingin Pendar tahu.

"Enggak apa-apa, kok," ujar Agni.

Pendar menahan diri untuk tidak langsung menanggapi. Dia ingin gadis itu bicara lebih banyak lagi. Apa pun. Tentang apa pun. Dia tidak ingin menerima tanggapan seperti itu saja karena dia tahu kalau yang dia lakukan itu mengecewakan. Namun, Agni terdiam. Pendar pun bicara lagi untuk memecah kesunyian.

"Aku datang ke sana memang agak terlambat karena macet. Mungkin terlambat lima menit," jelas Pendar. "Setelah aku markir mobil di bagian belakang, aku nyari kamu. Sore itu lumayan rame jadinya aku enggak dapat parkiran di depan. Tapi, kamu enggak ada."

"Aku berdiri di depan pagar di bagian depan."

"Aku ke sana nyari kamu. Beneran. Tapi, kamu enggak ada. Aku udah muter berkali-kali dan kamu tetap enggak ketemu. Aku takut kamu nyariin aku juga, kan, dan jadinya kita main cari-carian."

"Iya, aku juga jalan ke dalam nyariin kamu. Kamu enggak ada," kata Agni dengan nada menyesal.

"Karena aku enggak di dalam. Aku bolak-balik nyariin dari depan, dekat papan baliho, terus ke bagian belakang."

Mereka terdiam lagi.

"Apa kita saling mencari?" tanya Agni.

"Kelihatannya begitu."

"Aku ada di sana sampai menjelang jam tujuh malam."

"Maafkan aku, Agni. Aku enggak sesabar itu. Jam enam lewat aku udah pergi dari sana." Pendar benar-benar menyesal. Seandainya dia mau menunggu dan mencari lebih lama, mungkin dia akan bertemu dengan Agni.

"Enggak apa."

"Sekarang kita bagaimana?" tanya Pendar. "Apa kita masih bertengkar?"

"Kita enggak bertengkar," jawab Agni.

"Apa...." Pendar tidak yakin ingin menanyakannya tapi dia beranikan juga. "Apa kamu kenapa-kenapa malam itu?"

"Aku pulang," jawab Agni. "Kalau pertanyaanmu itu tentang apa yang aku rasakan, aku pulang dan menangis malam itu di rumah."

"Di rumah?" tanya Pendar. Dia merasa sangat tidak enak. "Di depan orang tua dan adikmu?"

"Dan di depan Fajar," jelas Agni. "Kamu masih ingat cowok yang aku tabrak dengan sepeda? Dia mencariku ke rumah ini dan waktu itu aku sedang di Jakarta. Dia menelepon ke rumah dan mamaku memberikan alamat rumah. Jadi dia datang."

"Kenapa aku enggak melakukan hal yang sama?" Pendar baru menyadari kebodohannya.

"Melakukan apa?" tanya Agni.

"Meminta alamat dan datang ke rumahmu."

"Lain kali bisa dicoba," kata Agni.

"Aku akan coba," ujar Pendar.

Pendar mencoba menelepon Agni setiap hari selama empat hari. Tetap tidak diangkat. Dia pun mencoba menelepon ke Lembang dan diangkat. Agni sudah ada di sana dan dia menjawab dengan nada biasa saja—dan itu sungguh membuat Pendar menjadi takut setengah mati. Namun karena Agni sudah memaafkan dan sepertinya obrolan mereka sudah kembali seperti dulu, dia pun memberanikan diri untuk bicara tentang rencana mereka.

"Aku pun ingin menanyakan itu, sebenarnya," ujar Agni. "Aku ingin membantumu. Apa yang harus dilakukan pertama kali?"

"Aku dan Oki perlu contoh suaramu," jawab Pendar. "Agar kami bisa memutuskan bagaimana rekaman ini bisa dilakukan tanpa banyak merepotkanmu."

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang