2. Comma [,] Part-2

32 6 0
                                    

 Tante Lusi menjelaskan kalau pengurus vila ini akan datang setiap hari, sejak setelah subuh sampai menjelang maghrib dan Agni akan sendirian sepanjang malam sambil membantu Agni memindahkan koper-koper ke kamar utama yang letaknya tepat di depan ruang tamu. Semua pintu di vila ini terbuat dari kayu jati dengan ukiran bunga. Begitu pula dengan pintu kamar tidurnya. Kamar itu luas—bahkan terasa terlalu luas untuknya—dengan dipan berkelambu katun poplin putih dihias tristik motif bunga berwarna kuning. Dari bentuknya, Agni tahu kalau itu alamanda, seperti yang merambat di pagar depan vila ini—ah, aneh sekali memanggil tempat ini sebagai vila, Agni tidak suka.

"Rumahnya enggak jauh di belakang vila ini kalau kamu perlu apa-apa. Panggil saja," jelas Tante Lusi. "Harusnya dia sudah datang sekarang...."

Ada sebuah kursi goyang yang dihias dengan bantal kecil dengan sarung berwarna dan bermotif sama dengan kelambunya. Agni menoleh ke arah atas dipan, kalau tebakannya benar, maka bantal dan guling di sana pun akan punya sarung dengan warna dan motif yang sama. Ternyata memang sama dan dia suka. Bukan karena warnanya saja, tapi dia suka apa pun yang feminin dengan bunga, pita, dan renda. Klise, memang.

Pengurus rumah ini—Agni memutuskan kata 'rumah' lebih cocok untuk tempat ini dibanding 'vila'—datang setelah mereka selesai merapikan satu koper berisi baju. Tante Lusi membantu mengatur agar semuanya muat di lemari yang ada di kamar itu.

"Panggil saja Teh Niken," ujar Tante Lusi memperkenalkan perempuan separuh baya itu.

Agni terdiam. Untuk Tante Lusi, panggilan 'Teteh' mungkin memang sesuai disematkan ke perempuan itu. Agni sudah lupa tentang keberadaan perempuan ini karena setiap kali dia datang ke sini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di balkon belakang, bercengkrama dengan sepupu-sepupunya, dan tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di dalam rumah. Sebagian waktu yang lain dia habiskan dengan membaca sampai lelah, lalu beranjak untuk mengambil teh hangat yang disajikan di meja menjelang sore lengkap dengan kue-kuenya, lalu kembali ke kamar. Begitu setiap hari. Siapa yang membuat teh dan kue-kue itu, dia tidak peduli. Sekarang dia harus peduli. Dia akan ada di sini untuk waktu yang lama.

"Aku panggil 'Teteh' juga?" tanya Agni hati-hati. Dia tidak ingin menyinggung.

"Bibi juga bisa, Non," jawab perempuan itu menahan tawanya. Dia tidak mengerti mengapa Agni mempermasalahkan ini.

"Bibi saja," sambar Tante Lusi. "Itu tolong dibereskan, ya, Teh," ujarnya sambil menunjuk dua koper yang belum dibuka. Dia lalu duduk di tepi ranjang. Agni mengikutinya. Mereka duduk bersebelahan dan Agni memandang ke arah halaman depan yang terawat.

"Ini tolong banget, ya, Teh," katanya lagi, "Agni ini diurus makan, mandi, sama pakaiannya. Tanya maunya makan apa. Jangan dibiarin enggak makan. Terus air mandinya kalau bisa hangat biar enggak sakit. Dia mungkin akan lama di sini."

Agni bangkit. Berjalan ke arah jendela di depannya. Perlu beberapa langkah untuk sampai ke sana. Tidak peduli dengan apa pun yang kemudian diceritakan Tante Lusi tentang dirinya. Anggap saja, dia menyetujui semua cerita itu. Agni menyibak gorden dan melihat halaman samping yang sama terawatnya dengan halaman depan. Dia tidak mengingat kalau di halaman ini ada ayunan besi dan sebuah pohon besar di dekat pagarnya.

"Sejak kapan ada ayunan di sana, Tan?" tanyanya tanpa menoleh. Memotong pembicaraan tantenya itu dengan Bi Niken.

"Tahun lalu," jawab Tante Lusi singkat.

Tante Lusi lalu memberikan beberapa instruksi lain pada Bi Niken. Agni sempat mendengar Tante Lusi menjelaskan kalau Agni tidak terlalu suka ikan dan lebih banyak makan sayur—itu memang benar. Tapi kemudian, dia juga mendengar bagaimana Tante Lusi meminta agar Bi Niken memasakkan ikan sekali-sekali karena penting. Agni menyerah saja. Dia tidak akan memilih. Dia tidak akan menolak apa pun yang disiapkan untuknya karena sepekan belakangan, dia kehilangan selera makan. Tidak menolak bukan berarti dia akan memakan semua itu juga pada akhirnya.

Agni berjalan ke arah ruang tamu, lalu ke ruang tengah, dan kalau ingatannya tidak salah, dia akan menemukan pintu untuk keluar ke arah halaman samping tadi. Ingatannya benar. Pintu itu terbuka. Dia berjalan keluar menuju ayunan. Duduk di sana beberapa lama sebelum akhirnya mulai menjejak dan mendorong kakinya di tanah agar ayunan itu bergerak maju-mundur. Mulanya pelan, lalu meninggi. Dia suka. Dia memejamkan matanya. Membiarkan tubuhnya seolah melayang seperti tidak ada beban.

Ketika dia membuka matanya, dia sempat melihat Tante Lusi memperhatikannya dari jendela. Wajahnya agak sedih. Dia pun sedih—sesungguhnya. Tapi dia sudah tidak ingin merasakannya lagi. Dia sudah lelah dengan malam-malam bantalnya basah. Dia pun tidak mengerti apa pun yang harus disedihkan lagi. Adam tidak meninggalkannya, dia yang meninggalkan lelaki itu. Dia lebih banyak menggunakan otaknya dibanding perasaannya ketika memutuskan demikian walaupun kemudian, perasaannya begitu terluka.

Adam cinta pertamanya.

Adam yang di suatu sore pernah bermain ayunan dengannya di taman dekat rumah. Mereka berpacu; siapa yang lebih tinggi. Kalau apa pun yang ada di antara mereka diumpamakan ayunan ini, maka mereka sudah jatuh, terjerembab karena ayunan itu sudah terlalu rusak.

Adam cinta pertamanya.

Adam yang di suatu sore berkata kalau dia mencintai perempuan lain. Kemudian Agni bertanya mana yang akan dipilihnya dan Adam tidak menjawab tegas. Agni pun meninggalkannya.

Sore itu sepekan yang lalu. Di hari yang sama dengan hari ini. Di senja yang mirip seperti ini.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang