42. Semicolon [ ; ] Part-1

20 5 2
                                        

 Pendar menunggu Oki di depan gedung fakultas siang itu. Pagi tadi ada kuliah dan Oki tidak masuk. Beberapa hari kemarin pun demikian. Gadis itu kelihatan lesu dan kurang tidur. Ketika dia datang dan mendekat dari arah halaman parkir, Pendar langsung berdiri dari duduknya dan menjangkau flashdisk yang Oki julurkan padanya.

"Di sana ada semua kerjaan kita. Mentahan file podcast, file podcast yang udah di-mixing, code apps, image, semua," ujarnya. Dia duduk di bangku yang tadi diduduki Pendar. "Gue bikin dua copy, kita masing-masing punya satu."

Pendar duduk di sebelahnya.

"Lusa presentasi terakhir," katanya lagi. "Gimana cewek lo, bisa diundang ke Jakarta?"

"Tulisannya belum beres dan dia sakit, katanya. Semalem gue telpon lagi untuk mastiin," jawab Pendar. Namun Oki sepertinya tidak mendengar apa yang dia katakan karena matanya melihat jauh ke arah lapangan yang sepi. Tidak banyak orang yang lalu-lalang siang hari seperti ini di sana. Mahasiswa lebih suka menghabiskan waktu di dalam gedung, di kantin, atau melewati selasar dengan kanopi yang melindungi dari panas.

"Lo kenapa, sih, Ki? Cerita, dong," bujuk Pendar.

Oki menoleh. Mencoba tersenyum, tetapi kemudian Pendar melihat dari matanya yang merah itu, ada air mata yang jatuh. Dengan cepat dia menangkap kepala Oki dan mendekapnya.

"Ki, kenapa?" tanyanya lagi. Dia mengelus rambut ungu gadis itu yang sebagian pangkalnya sudah berubah menjadi hitam.

Oki melepaskan dekapan Pendar. Menghapus air mata dengan ujung lengan kaosnya, lalu mulai bicara.

"Ibu gue," jawabnya pelan. Dia lalu berusaha mengumpulkan keberanian untuk menceritakan pada Pendar semuanya. "Maafin gue kalau ini ngebikin kerjaan kita enggak beres beberapa waktu belakangan."

"Gue bisa handle semuanya, kok. Lo enggak perlu kuatir," ujar Pendar.

"Gue enggak pernah kuatir. Lo selalu bisa diandalkan." Oki menghapus lagi air mata yang tumpah sebelum melanjutkan. "Lo tahu kan, beritanya?"

Pendar mengerenyitkan dahinya. "Berita apa?"

"Berita tentang penulis terkenal yang sedang sekarat itu? Yang koma berbulan-bulan?"

Pendar menggeleng.

"Itu ibu gue dan dia koma sejak awal semester ini."

Satu air mata tumpah lagi.

"Sudah hampir enam bulan dan gue, adek, sama ayah gue harus memutuskan kapan life support-nya harus dilepas."

Pendar terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia menghapus satu air mata yang belum jatuh dari pipi gadis itu.

"Keputusan itu harus segera karena emang udah enggak ada harapan lagi. Lo tahu rasanya?" Oki bertanya sambil memegang tengah dadanya, seolah selain ada air mata yang tumpah ke pipinya, ada pula yang jatuh tepat ke atas jantung dan membuat rongga dadanya teramat sakit. "Itu sama aja dengan memutuskan kapan ibu kami akan mati."

Pendar memeluk lagi gadis itu. Berusaha mengingat tentang berita yang diceritakan Oki. Gadis itu masih menangis dan Pendar membiarkan kaosnya basah dengan air mata. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat portal berita online. Mencari berita tentang penulis itu. Dapat! Dia dapat satu berita tanpa gambar—hanya gambar bagian luar ruang rawat di rumah sakit—dan laporan tentang kondisi terkini Pijar Jingga, nama penulis itu. Kondisinya buruk. Di sana juga dituliskan kalau anak penulis itu yang memberikan informasi tentang keadaan ibunya. Nama anak itu dituliskan dengan Oki—itu Oki yang sedang dia peluk.

Pendar tidak tahu bagaimana dia bisa tidak mengetahui semua berita ini. Samar dia mengingat tentang Lula yang pernah jadi relawan pengumpulan dana untuk seorang penulis. Pendar memejam matanya. Kalau dia tidak salah mengingat, namanya memang itu. Lula mengumpulkan dana untuk penulis yang sama.

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang