38. Obelus [ : ] Part-5

14 4 0
                                        

 Pendar kembali ke gudang untuk mengembalikan alat-alat yang dia pakai untuk membongkar pesawat telepon kemarin. Dia sudah menutup setengah pintu gudang ketika teringat kotak yang kemarin diceritakan Papa. Kotak yang dikatakan Papa dikirimkan ke sini berserta dengan pesawat telepon dan dengan barang-barang lain. Dia yang membereskan dan membersihkan gudang ini, tetapi dia tidak ingat kalau pernah menemukan kotak tempat pesawat telepon ini disimpan.

Pendar melihat-lihat ke sekeliling gudang yang sekarang sudah lapang, bersih, dan terang. Dia yakin kalau tidak membuang barang yang dirasa masih diperlukan dan kondisinya baik. Dia lalu mulai membuka-buka lemari tua yang ada di sana. Isinya masih sama dengan yang dia ingat terakhir kali. Ada satu benda persegi beraada di bagian bawah lemari tua yang dulu pernah dipakai untuk menyimpan pakaian Papa. Pendar menarik benda itu dan meletakkannya di lantai.

Ukurannya sedang—lebih besar sedikit kotak sepatu—dan terbuat dari kayu. Pantas saja dia tidak mengingatnya karena ketika Papa mengatakan 'kotak', yang dia bayangkan adalah kotak kardus besar, bukan kotak seperti itu. Ada kaitan di bagian luar kotak itu yang seharusnya digunakan untuk mengunci kotak ini dengan gembok kecil. Dia membuka bagian itu, lalu mengangkat penutup kotak itu pelan-pelan. Di dalamnya ada beberapa buah buku ukuran kecil. Dia ingin mengambil satu buah untuk diperhatikan lebih seksama, lalu ponselnya berbunyi.

Pendar mengeluarkan benda itu dari saku belakang jeans-nya dan terperanjat ketika melihat nama yang ada di penampangnya; Lullaby. Pendar lupa, kalau dia bahkan belum mengganti nama Lula di ponselnya bahkan setelah beberapa bulan berlalu. Dia menggeser tombol di bagian atas untuk menerima telepon itu lalu menempelkannya di telinga kanannya.

"Halo. Lula?"

"Pendar," suara di seberang terdengar sedikit ragu. "Apa kita bisa ketemu?

Pendar tidak menyangka kalau pertanyaan itu yang akan didengarnya pertama kali dari Lula.

"Ada apa, La?" Pendar balik bertanya.

"Ada yang mau dibicarakan," jawabnya.

Pendar berdiri dan berjalan pelan keluar dari gudang. Dia ingin ada di sofa ruang tengah dan meluruskan kakinya selama menerima telepon Lula ini karena jantungnya tidak berhenti berdetak kencang.

"Apa, La? Mau membicarakan apa?" tanyanya lagi.

"Ini enggak penting-penting banget, sih," jawab Lula—yang membuat Pendar berpikir; tetapi, kan, ukuran penting dan tidak penting tiap orang itu berbeda.

Jadi, dia pun bertanya lagi, "Penting atau enggak penting buatmu, La?"

Pertanyaan itu ternyata perlu beberapa waktu untuk dijawab karena Pendar sudah sampai di ruang tengah, sudah duduk di sofa, sudah meluruskan kakinya, dan menyandarkan punggungnya, tetapi Lula masih juga belum menjawab.

"Harus ketemu?" tanya Pendar lagi.

"Aku mau melihatmu," jawab Lula.

"Aku masih kayak dulu, kok," ujar Pendar, "Masih kayak yang terakhir kamu lihat."

Setelah mengucapkannya, Pendar menyadari ada nada sinis yang dia susupkan di kalimat itu. Dia pun dengan cepat menambahkan, berusaha setengah bercanda, "Tapi, rambutku udah panjang, La. Belum dicukur. Enggak ada yang nyerewetin aku, sih."

"Aku mau ketemu," ulang Lula.

Sekarang Pendar yang terdiam. Dia tidak tahu apakah dia ingin bertemu dengan Lula atau tidak. Lula mengatakan kalau hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan lagi sekitar tiga bulan yang lalu. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi. Kalau untuk masuk ke dalam hubungan itu perlu dua orang, dari apa yang dilakukan Lula, Pendar jadi paham bahwa untuk keluar dari hubungan hanya diperlukan satu orang. Satu orang yang punya hati untuk mengatakan 'sudah' dan cukup kuat untuk meninggalkan yang lainnya.

"Aku mau menjelaskannya karena aku masih berhutang itu padamu," lanjutnya.

"Kamu enggak berhutang apa-apa, La," kata Pendar setengah berbisik. Susah-payah dia mengatakan itu.

"Aku mau menjelaskannya. Please."

"Kenapa harus dijelaskan, sih, La?"

"Karena aku ingin ini semua selesai baik-baik."

"Enggak ada yang selesai baik-baik, La. Ini semua selesai, ya sudah ... selesai. Kalau mau baik-baik, kamu enggak akan kayak begitu. Kamu akan menjelaskan dulu, baru kamu pergi. Enggak begini caranya, La. Enggak begini caranya." Pendar tahu dia masih terluka karena kalimat-kalimat yang dia ucapkan untuk Lula barusan, terasa menyakitkan juga untuknya.

Pendar tidak pernah bisa menolak apa pun kemauan Lula—itu sudah jadi semacam kelemahannya sejak lama. Lula selalu saja punya cara agar Pendar mengikuti apa pun perkataannya. Buat Pendar, dulu, itu tidak masalah. Sekarang, itu jadi masalah karena dia masih tidak bisa menolak. Dia datang juga ke kafe yang dikirimkan alamatnya oleh Lula keesokan harinya. Pendar mengerti mengapa Lula memilih tempat yang mereka tidak pernah kunjungi sebelumnya; agar tidak ada sisa kenangan yang menyulitkan pembicaraan di sana nantinya.

Mereka duduk berhadapan, Lula beberapa kali tersenyum canggung, yang dibalas oleh Pendar dengan tidak kalah canggungnya.

"Andri bilang kamu udah baik-baik aja," ujar Lula membuka pembicaraan. Pernyataan itu salah dan Pendar ingin sekali mengatakan yang sebenarnya seperti apa.

"Andri enggak tahu apa-apa karena setelah dia jatuh cinta sama cewek, ah, aku lupa namanya siapa, lalu mulai sibuk ngejar-ngejar cewek itu, dia jadi jarang menghubungi gu—eh, aku." Bahkan mereka tidak bisa bicara dnegan santai, dengan lo-gue, seperti dulu. Sekarang tanpa ada persetujuan apa pun sebelumnya, mereka bicara dengan kata ganti aku-kamu yang terlalu formal itu—yang buat Pendar, itu terasa menyebalkan.

"Aku mau minta maaf," ujar Lula. Dia memainkan jemari lentiknya di tepian cangkir kopi. Pendar melihat cat kuku berwarna ungu muda yang dipakai Lula. Dia suka warnanya.

"Cat kukumu bagus," pujinya. Lula hanya menanggapi dengan tersenyum.

"Aku minta maaf, Pendar," ulang Lula. "Aku merasa harus mengatakan ini di depan wajahmu."

"Aku sudah memaafkanmu," jawab Pendar datar. Dia memang sudah memaafkan Lula walaupun rasa sakitnya masih terasa—dan itu bukan salah siapa-siapa, bukan salah waktu sekalipun.

Mereka terdiam lama. Pendar menghabiskan kopi dan kuenya sambil melihat ke arah barista yang sibuk membuat pesanan kopi, lalu mengalihkan pandang ke arah meja-meja yang terisi oleh banyak orang. Mereka bicara, bercanda, dan ada yang hanya saling terdiam dan berpandang, seperti mereka.

"Kamu sudah jatuh cinta pada cewek lain," kata Lula setelah beberapa lama. Pendar mengalihkan pandangnya ke arah gadis itu; pada matanya, rambutnya, bibirnya, bangir hidungnya—yang dulu seringkali disentuh Pendar dengan gemas ujungnya.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Pendar penasaran.

"Aku tahu kamu ketika kamu jatuh cinta. Aku melihatmu pelan-pelan mulai jatuh cinta padaku dulu." Lula tersenyum. "Aku juga ingin mengatakan ini, Pendar. Kita baru bertemu karena aku enggak ingin kamu melihat yang sebaliknya."

"Apa itu yang sebaliknya?"

"Melihatku pelan-pelan enggak cinta lagi kepadamu," jawab Lula, "dan kamu pun begitu. Karena itu menyakitkan."

"Jadi...." Pendar mencoba merangkaikan semua yang dia pahami di kepalanya. "Jadi, kamu pun...."

Lula tersenyum dan menjawab, "Iya."

"Ah." Pendar tidak tahu apa yang harus dia katakan.

"Namanya Ale, Nalendra." Lula lalu mengulurkan tangan kirinya. Pendar melihat ada sebuah cincin di sana. Sederhana dengan batu permata kecil di tengahnya.

"Cepat sekali," komentar Pendar.

"Aku pun enggak mengerti," ujar Lula. "Jadi, sekarang giliranmu. Katakan siapa namanya."

Pendar terdiam. Dia tidak pernah memikirkan hal ini. Dia bahkan tidak pernah mencari tahu apa yang dia rasakan sebenarnya. Tapi keinginan untuk menyebutkan nama itu begitu kuat.

"Agniya," jawab Pendar.

Setelah dia menyebutkan nama itu, dia merasakan dadanya melapang. Lalu senyumnya mengembang.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang