Pendar berusaha menghubungi Agni seharian ini, sampai malam, sampai dia kehilangan hitung; sudah berapa kali dia menekan redial dan mendengar nada sambung sampai telinganya mendengingkan nada itu di dalam mimpinya sore ini—ketika dia tidak sengaja tertidur. Dia menelepon ke rumah Agni di Jakarta dan malamnya, dia mencoba menelepon ke Lembang, sama saja; tidak diangkat. Memang tidak ada jaminan kalau Agni sudah kembali ke Lembang walaupun—menurut cerita gadis itu tempo hari—dia akan kembali beberapa hari lagi.
Esok paginya, dia bertemu dengan Oki di lab dan hal pertama yang ditanyakan gadis itu adalah tentang mata Pendar yang memerah.
"Kurang tidur?" tanyanya.
"Biasalah," jawab Pendar berusaha cuek agar tidak ada pertanyaan lain yang mengikutinya.
"Karena cewek?" tanya Oki lagi. "Bukannya lo mau ketemu atau apa gitu, ngelamar atau apaaa ... sama cewek yang lo suka telepon itu. Siapa namanya?"
Pendar meletakkan tas selempangnya di lantai dan memilih komputer yang biasa dia pakai. Oki duduk di sebelahnya. Pagi ini, dia dan Oki berjanji untuk bertemu di lab. Membicarakan tentang wireframes untuk apps dan membagi tugas coding. Mereka sengaja bertemu sepagi ini sebelum lab ini penuh agar bisa berkonsentrasi mengerjakan apa yang perlu dikerjakan sebelum presentasi siang nanti di kelas.
"Agni," jawab Pendar singkat. "Udah, dong. Ayo mulai."
"Jadi lo kurang tidur karena ... ketemu dia ... terus—"
"Ya, enggak, lah!" Pendar memotong cepat. "We're not spend the night together, yang bener aja otak lo. Ketemu aja enggak." Pendar mulai terganggu dengan pertanyaan Oki. "Kenapa, sih, lo mau tahu aja?"
"Bukan tentang urusan pribadi lo yang ingin gue tahu. Gue cuma ingin memastikan kalau proyek podcast kita jadi dan lo dengan cewek lo itu benar bisa memenuhi tuntutan dan ekspektasi gue tentang kalian. Masalah kalian mau tidur bareng hari ini atau besok atau kapan laaah ... gue enggak peduli," jelas Oki. "Gue enggak mau apa yang udah kita desain dan kerjakan ini jadi sia-sia hanya karena satu-dua hal bego yang lo kerjakan."
Pendar menyalakan komputer di hadapannya dan mengeluarkan MacBook dari dalam tas dan meletakkan di pangkuannya.
"Kemaren lusa gue janjian sama dia dan enggak ketemu. Terus seharian kemaren gue berusaha nelpon dia dan enggak diangkat," ujar Pendar. "Kalau emang Agni enggak akan pernah bisa dihubungi lagi, gue akan cari orang lain buat gantinya." Dia lalu menoleh ke arah Oki. "Emang lo enggak mau?"
Oki tertawa. Namun kemudian terdiam lama sebelum menjawab, "Gue enggak punya apa yang harusnya ada di proyek kreatif semacam itu."
"Apa? Suara lo cempreng kayak kaleng rombeng?" tanya Pendar.
"Bukan," Oki tersenyum. "Kalau lo sama gue harus rekaman podcast bareng, yang kita punya yaaa ... obrolan macam begini. Yang kalau didengar orang lain, bisa jadi, seperti dua orang yang sedang bertengkar dan saling membenci. Omongan kita ini terlalu kasar buat didengar orang lain."
"Kita bisa coba buat enggak kayak gitu."
"Dan jadi enggak genuine?"
Sekarang gantian Pendar yang berpikir.
"Gue pikir kita udah sepakat kenapa memilih lo dan Agni untuk proyek ini; karena kalian berdua punya chemistry. Dia deep, simpatik, punya jalan pikiran yang enggak biasa, seperti kata lo."
"Jangan-jangan ... kalau ini masalah chemistry, kita emang kayak gitu chemistry-nya, Ki," kata Pendar yang diiringi oleh tawa. Mata Oki membulat dan dia pun ikut tertawa.
"Bisa jadi kita emang seperti itu. Sayangnya, enggak semua bisa menerima chemistry seperti ini, kalau ini bisa disebut chemistry, ya."
Siang itu mereka jadi mempresentasikan proyek mereka di kelas. Oki pintar dan ligat, Pendar tidak pernah kuatir kalau dia akan berbuat kesalahan. Oki bisa menjelaskan semua yang perlu dijelaskan dengan baik dan persuasif, sementara Pendar masuk ke urusan lebih teknis dan menambahkan di sana-sini. Banyaknya pertanyaan dan tanggapan membuat Pendar makin bersemangat. Sementara Oki sibuk merekam satu-persatu pertanyaan dan tanggapan itu di ponselnya—dia tidak ingin melupakan satu hal pun, semua penting buatnya.
Sorenya, selesai kelas, Oki mengajak Pendar untuk makan.
"Makan siang yang kesorean," ujarnya. "Aku yang traktir."
Pendar menyetujui dengan cepat karena dia juga lapar. Oki memberitahu Pendar tentang tempat makan baru yang ada di dekat kampus mereka. Menjual masakan tradisional dan harganya murah.
"Tradisional? Apa maksudnya klaim seperti itu?" tanya Pendar penasaran.
"Di sana ada serabi, nasi pecel, nasi soto, yaaa ... yang kayak gitu. Kenapa? Kamu enggak suka?"
"Suka. Ayo, ke sana."
Pendar mengajak Oki untuk pergi ke sana mengendarai mobilnya tapi gadis itu menolak.
"Naik motor gue aja," usulnya. "Deket, kok."
"Kalau lo takut masalah jejak karbon dan sebagainya, mobil gue Prius hybrid, pakai listrik," kata Pendar yang hanya ditanggapi oleh cengiran lebar oleh Oki.
"Mobil cewek," sindir Oki.
Pendar tidak terima. "Seksis."
"Bukan seksis," Oki mencoba menjelaskan, "Tapi, memang banyak sekali cewek yang pakai mobil jenis itu di kampus ini."
Mereka berjalan ke tempat parkir motor. Melewati deretan sepeda motor yang berbaris rapi dan berhenti di depan Kawasaki Ninja 1000 berwarna merah yang dengan cepat bisa Pendar tahu serinya karena dia ingin membeli sepeda motor sejenis itu beberapa waktu sebelum ini. Dia menceritakan itu ketika Oki mengambil helm cadangan dari loker yang ada di tepian tempat parkir dan melemparkannya ke arah Pendar.
"Kenapa enggak jadi beli?" tanya Oki, penasaran. "Kece, kan?"
"Hmm ... tahun lalu gue ngumpulin uang untuk nikah," jawab Pendar jujur. "Semua uang yang gue dapat dari freelance coding, bikin website, bikin apps, semuanya masuk tabungan."
"Kasian," sahut Oki.
"Boleh gue yang bawa?" pinta Pendar.
"Enggak," jawab Oki cepat. "Emosi lo enggak stabil."
"Apa hubungannya?" Pendar jengkel.
"Gue enggak mau kita berdua nabrak atau kecelakaan sebelum proyek kita jadi," jawab Oki sambil memakai helm dan jaket kulit hitam.
Dia menaiki motor itu dan memberikan kode dengan tangannya agar Pendar cepat naik dan berhenti mengagumi motornya.
"Kita temenan enggak, sih, Ki?" tanya Pendar ketika dia duduk di belakang Oki.
"Kalau yang lo maksud dengan 'temenan' itu berarti lo bisa megang pundak gue selama gue ngeboncengin elo, jawabannya enggak," jawab Oki.
"Enggak gitu, maksudnya," sanggah Pendar.
Oki menyalakan motornya dan mereka melaju cepat keluar dari halaman fakultas. Pendar teringat kalau beberapa kali dia pernah melihat motor ini lalu-lalang di jalan dekat fakultasnya, tapi dia tidak menyangka kalau Oki yang punya. Lebih dari itu; dia tidak menyangka kalau seorang gadis yang punya dan mengendarainya.
"Jangan kencang-kencang!" Pendar mengatakannya dengan setengah berteriak yang dibalas Oki dengan cara menambah kecepatan mendadak dan membuat Pendar hampir terlempar ke belakang.
"Masih belum melanggar batas kecepatan kecepatan, kok," kata Oki sambil terkekeh dari balik helmnya. Pendar tidak mendengar jelas suara Oki, tetapi dia tahu kalau gadis itu kembali meledeknya. Oki selalu begitu dan Pendar semakin lama, semakin mereka dekat, semakin tidak keberatan dengan itu semua. Mungkin, seperti kata Oki, memang seperti itu chemistry mereka berdua. Memang seperti itu caranya mereka berbicara.
Itu membuatnya jadi merindukan Agni.
Dia dan Agni tidak bicara dengan cara seperti ini dan dia juga suka itu.
Tidak. Tidak sekadar suka. Dia merindukan itu.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomansaSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...