23. Space [ ] Part-4

10 4 0
                                    

 Bi Niken bercerita sambil memotong bayam siang itu, tentang bagaimana dia dan suaminya bertemu. Lalu tentang pernikahan mereka yang sudah berjalan hampir sembilan tahun tanpa anak.

"Banyak yang tanya, Non," ujarnya sambil memastikan untuk hanya memasukkan batang bayam yang tidak terlalu keras dan memotongnya tidak terlalu panjang. Dia tahu kalau Agni tidak terlalu suka bayam dan mengomentari bening bayam yang dia buat tempo hari dengan kalimat membingungkan; terlalu hijau. Agni sendiri tidak menolak dimasakkan bening bayam, tetapi dia memang tidak suka dengan warna sayuran itu yang kalau sudah dimasak, jadi terlalu hijau dan hijaunya ... terlalu cantik. Dia menjelaskan itu pada Bi Niken dan hari ini dia melihat ada beberapa batang wortel di meja—yang bisa dia duga sebagai bahan lain untuk dicampurkan ke bening bayam dan membuatnya tidak lagi jadi 'terlalu hijau' karena ada warna oranyenya.

"Banyak yang tanya apa, Bi?" Agni ingin pernyataan itu dijelaskan.

"Yaaa ... kapan. Kapan 'isi', dibuat atau enggak." Bi Niken tersenyum. "Kalau urusan dibuat, ya dibuat, Non. Selalu dibuat." Dia lalu berhenti sebentar untuk tertawa. "Tapi ... enggak selalu usaha ngebuat itu pasti jadi, kan. Kalau di Bibi, malah enggak pernah jadi."

Agni hanya ikut tersenyum, kecil, dipaksakan. Perempuan di depannya ini sedang bercerita tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya bicara tentang apa yang seharusnya dia punya dan menuntut dia untuk memiliki apa yang juga orang lain miliki karena memang sudah seharusnya; anak. Namun dia tidak bicara dengan nada sedih—sedikit gurat kesedihan pun tidak terlihat. Dia bercerita tentang mertuanya yang mengajaknya pergi untuk menemui beberapa 'orang pintar' dan dia ikut-ikut saja, tidak menolak, dan tidak membantah.

"Bibi juga pengen, Non. Tapi, kalau emang belum dikasih, mau apa?" katanya kemudian.

"Menurut Bibi, itu masalah waktu?" tanya Agni "Kapan dikasihnya?"

Bi Niken membersihkan papan talenan lalu mengambil sebatang wortel dan mulai mengupasnya.

"Bukan gitu, Non. Ini masalah kerelaan. Kita dikasih, ya ... kita terima. Enggak dikasih, ya ... enggak apa-apa. Gitu, aja. Mertua saya emang ingin sekali punya cucu. Tapi, kakak-kakaknya suami saya juga banyak dan mereka semua sudah menikah, punya anak. Cucunya mertua saya itu sudah banyak." Dia tertawa lagi. "Kalau saya tambah dengan anak saya, bakalan tambah banyak."

"Tapi ... Bibi ingin?"

Dia terdiam sebentar.

"Saya terima apa aja, Non."

Sesederhana itu, ucap Agni—kalimat yang hanya dia pikirkan di kepalanya. Sesederhana itu.

"Bi, saya ingin beli sepeda," ujar Agni kemudian. "Saya mau minta tolong diantarkan."

Bi Niken menatapnya beberapa lama. Agni tahu kalau perempuan itu sedang berusaha merangkai kalimat untuk menolak keinginannya. Apalagi setelah kecelakaan pekan lalu dan luka-luka di badannya pun belum sepenuhnya sembuh.

"Saya mau jalan-jalan naik sepeda kalau sore. Bosan juga di rumah terus," ujar Agni lagi.

Dia memang bosan. Terlalu bosan sampai-sampai dia sekarang punya rutinitas baru; berjalan ke pekarangan depan setiap sore. Dia menyadari kalau ada delapan pot kaktus di dekat teras. Selama ini dia tidak pernah memperhatikannya. Setiap pot bentuknya berbeda dan tingginya pun tidak sama. Agni sempat berpikir lama bagaimana tumbuhan seperti ini bisa hidup di daerah pegunungan yang sama sekali tidak panas seperti ini? Dia menyentuhkan ujung jari telunjuknya di tepian kaktus yang letaknya paling ujung, hampir mengenai durinya, lalu dengan cepat menarik kembali jari itu. Dia masih harus mengetik nanti malam, jarinya tidak boleh terluka. Apalagi kalau hanya untuk sekadar menguji apakah duri kaktus itu setajam kelihatannya.

Sampai Sabtu malam, Pendar tidak juga menelepon. Agni merasa bodoh sekali karena tidak pernah menanyakan apa dia bisa menelepon Pendar. Harusnya dia tanya, jadi dia tidak perlu menunggu saja. Harusnya dia tahu kalau akan datang waktu di mana dia ingin menelepon lelaki itu seperti malam ini. Harusnya dia tahu kalau Pendar tidak akan selalu menepati janji. Harusnya dia tahu.

Malam itu dia mengetik sambil menunggu. Jantungnya berdebar setiap kali mendengar bunyi agak keras—karena itu dia menekan tuts mesin ketiknya lebih keras dari biasanya agar mengeluarkan bunyi yang lebih lantang. Sampai malam ini, dia sudah menuliskan lebih lima puluh lembar. Ceritanya sudah sempurna di kepalanya. Dia tinggal memindahkannya ke atas kertas.

Minggu pagi, dia membeli sepeda di kota. Dia memilih yang paling pertama dia lihat; sepeda berwarna biru dengan keranjang rotan. Sorenya dia bersepeda sampai ke sungai. Jalanan tidak licin karena sudah beberapa hari tidak hujan—tetapi anehnya, jalanan itu sepi. Tidak ada seorang pun yang dia temui berjalan kaki.

Malamnya, dia kembali mengetik sampai lupa waktu. Dia baru teringat kalau sudah duduk begitu lama ketika cangkir tehnya mulai dirundung semut dan sepotong biskuit yang dia letakkan di piring kecil, sudah tidak ada. Paginya, dia ikut Bi Niken ke pasar. Lalu siangnya, dia membantu perempuan itu memasak, tidur siang sampai sore, lalu merajut sambil mendengarkan musik. Malam datang dan dia kembali mengetik sampai dini hari. Begitu terus sampai dia tidak lagi ingin melihat ke arah pesawat telepon setiap kali melewati ruang tengah.

Dia tahu, bisa jadi, semua sudah berakhir.

Namun di Rabu malam, telepon itu berdering. Agni memandanginya beberapa lama. Memastikan kalau telepon itu benar berdering dan bukan imajinasinya saja. Cangkir teh yang sedang dia pegang bergetar pelan. Dia meletakkan cangkir itu di meja sebelum mengangkat telepon itu. Kalau hitungannya tidak salah, hari ini tepat dua pekan berlalu sejak Pendar berhenti meneleponnya. Agni menarik napas. Mencoba realitis kalau bisa saja bukan lelaki itu yang meneleponnya. Namun hatinya tidak bisa diajak bekerjasama; ini Rabu malam jam sembilan.

Ketika dia mengangkat telepon itu, dia mendengar suara Pendar bahkan sebelum dia mengatakan halo.

"Aku patah hati," ujarnya.

Agni tersenyum. Bukan karena dia senang mendengar berita yang dibawa Pendar, tetapi karena suara itu begitu dirindukannya.

"Kamu ke mana saja?" tanyanya.

"Aku patah hati," jawab Pendar. "Kamu apa kabar?"

Senyum Agni belum menghilang ketika menjawab, "Aku menulis, merajut, ke pasar, memasak. Aku baik. Bagaimana bisa kamu patah hati?" Agni tidak sabar ingin mendengarkan cerita Pendar.

"Karena ... aku punya hati?"

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang