6. Apostrophe ['] Part-3

19 4 0
                                    

 Senin pagi, Pendar baru ingat kalau dia tidak ada kelas dan dia baru sadar itu setelah mandi, tapi untungnya, dia belum berpakaian rapi. Dia melihat kalender di ponselnya dan seharian itu kosong, tidak ada kegiatan apa pun. Begitu juga dengan besok dan lusa. Semester baru saja berjalan dan dia belum mengingat jadwalnya. Dia masih terbawa suasana semester kemarin di mana kelas begitu padat dan dia menghabiskan seharian di kampus. Sekarang tidak seperti itu lagi. Sekarang, dia punya waktu luang lebih banyak.

Dia menekan speed dial nomer satu sambil duduk di bangku meja belajarnya. Menunggu teleponnya diangkat. Namun, sambungan itu hanya nada panjang yang berubah menjadi nada pendek dan pemberitahuan kalau nomer yang dia tuju tidak bisa dihubungi. Dia mengulanginya sampai tiga kali. Tetap sama. Pendar menimbang apakah dia perlu untuk meninggalkan pesan pendek untuk menjelaskan mengapa dia menelepon berkali-kali beberapa hari belakangan. Keputusannya, dia akan melakukan itu. Dia hanya menulis satu kalimat pendek—yang setelah dia pertimbangkan—tidak akan membuat dia kelihatan putus asa.

Ke mana aja, lo?

Sekarang ini, dia bingung harus melakukan apa. Tiga hari kosong tanpa kegiatan apa pun.

Pendar berpindah ke lantai bawah, menyalakan televisi, dan beberapa menit kemudian, dia bosan. Dia sudah lama sekali tidak menonton televisi dan yang pertama kali dia lihat adalah berita tentang pesohor yang koma setelah beberapa bulan. Ada perdebatan apakah alat-alat penunjang hidup, yang jadi satu-satunya alasan mengapa dia masih hidup sampai sekarang, sudah sebaiknya dilepas. Pendar melihat anak pesohor itu menangis terisak sambil mengatakan bahwa ibunya berhak atas perawatan terbaik dan meninggal pada waktunya.

"... dia akan meninggal pada waktunya. Bu ... bukan karena life support-nya di ... di ... dilepas," isak perempuan yang kalau sekilas dilihat, usianya tidak jauh dari Pendar.

Pendar bertahan untuk melihat berita selanjutnya tentang pesohor ini. Kalau bisa, penampakan dia yang sedang koma itu. Namun, pihak keluarga sepertinya melarang mengambil gambar dan yang kemudian ditampilkan adalah kisah perjalanan hidupnya. Pendar pernah mendengar nama ini sebelumnya, tapi dia lupa di mana dan kapan. Tidak peduli dengan hal-hal semacam ini kadang ada juga efek negatifnya, misalnya seperti sekarang, ketika dia sangat penasaran di mana dia pernah mendengar nama pesohor ini dan otaknya tidak bisa mengambil simpanan informasinya karena selama ini diberi label 'tidak penting'.

Pendar mematikan televisi, berjalan ke halaman belakang, dan membuka pintu gudang. Tidak ada alasan khusus mengapa dia datang ke sini. Dia hanya ingin melihat lagi apa yang ada di sini semalam. Seumur hidupnya, dia hanya datang ke tempat ini dua kali. Pertama, ketika dia membantu orangtuanya membereskan barang-barang di sini ketika mereka pindah ke rumah ini dua belas tahun yang lalu. Satu lagi, kemarin. Pendar tidak juga mengerti mengapa orang tuanya berkeras menyimpan banyak benda-benda yang hanya mereka yang paham kenangan di dalamnya. Memang banyak dari benda ini yang ada hubungan dengan dirinya. Misalnya sepeda roda tiga yang ada di sudut ruangan, berdebu, dan rusak. Dia sendiri saja, yang dulu pernah menggunakan sepeda itu selama lebih dua tahun, tidak merasa perlu untuk menyimpannya karena dia masih punya ingatan tentang itu di kepalanya. Jelas, terang-benderang, dan tidak memakan tempat. Namun, bisa jadi—ini analisa asalnya saja—benda ini ada dan masih disimpan karena ingatan harus diberi bukti.

Kalau hanya berdasarkan ingatan Pendar, dia merasa kalau sepeda itu lebih besar dari yang dia lihat sekarang. Ingatannya terpengaruhi oleh bagaimana dia mengingat benda itu dulu, ketika badannya masih kecil, dan sepeda itu—kalau dibandingkan dengan ukuran badannya—terasa lebih besar.

Pendar berjalan ke tengah ruangan. Dia tahu kalau papanya tidak akan sempat membereskan ini semua. Dia masih bekerja dan hanya bisa mengepak barang-barangnya di akhir pekan. Mama tidak akan peduli karena yang dia inginkan hanya Papa pergi dari rumah ini secepatnya. Membantu untuk membuat pekerjaan ini lebih cepat selesai rasanya bisa jadi agendanya sampai tiga hari ke depan. Walaupun dia tidak suka melakukannya. Bukan, bukan karena pekerjaan ini akan membuat tangannya kotor dan penuh debu, tapi karena apa yang dia lakukan ini mengingatkannya pada Papa yang akan meninggalkannya.

Dia menghentikan pikiran tentang kepergian Papa dan juga pernikahan orangtuanya sampai di situ. Dia tidak ingin memikirkannya karena bukan tugasnya untuk melakukan itu—itu bukan pernikahannya. Dia hanya anak dari pernikahan itu dan dia tidak kehilangan salah satu dari mereka. Itu keadaan yang masih cukup bagus buatnya.

Pendar memandang isi gudang ini dengan seksama. Dia merencanakan bagaimana melakukan semua ini. Yang jelas; dia akan membuang barang-barang penuh kenangan, tapi tidak ada gunanya. Lalu memilih mana yang masih bisa digunakan dan mana yang tidak. Terakhir, dia akan bertanya pada Papa, mana yang akan dia bawa. Dia tidak akan bertanya pada Mama karena Mama tidak peduli. Kalau dia peduli, dia sudah turun ke gudang dan setidaknya melihat apa yang ada di sini. Gudang ini—buat Pendar—rasanya, selalu saja jadi tempat untuk Papa. Di sini lelaki itu menghabiskan waktu mengerjakan ini-itu. Dia memang punya kesukaan memperbaiki barang-barangnya sendiri, tapi seringkali dia hanya membuat barang-barang itu bertambah rusak. Jadi, dia di sini bukan untuk ini. Tempat ini bukan bengkel untuk memperbaiki yang rusak, tapi semacam museum untuk mengawetkan kenangan yang dulu-dulu. Pendapat ini menjadi makin kuat setelah Pendar melihat koleksi buku lama papanya yang dia temukan di satu kotak lain, terpisah dari buku-buku lainnya.

Simpanan buku ini lebih terawat dan kondisinya sangat baik. Beberapa bukan buku cetak, tapi semacam catatan harian yang tidak dimengerti Pendar apa isinya. Mungkin dia harus membaca satu-persatu agar tahu dan dia tidak punya waktu untuk itu. Di kotak itu dia juga menemukan pesawat telepon berwarna cokelat muda—mungkin ini bukan cokelat muda, tapi lebih ke kuning gading, bahkan warnanya tidak lagi bisa dikenali saking kusamnya—dengan putaran untuk memasukkan nomer. Pendar pernah melihat benda ini sebelumnya, di film-film lawas. Melihatnya dengan mata kepalanya sendiri baru kali ini.

Dia memperhatikan pesawat telepon itu. Modelnya cantik, memang. Ketika dia mengangkatnya, ada bunyi 'klotak-klotak' yang membuat Pendar mengguncang benda itu sekali lagi dan bunyi itu terdengar makin keras.

"Ini rusak," ujarnya. "Iya, kan? Kamu rusak?"

Pendar memperhatikan kabel dan bagian bawah telepon itu.

"Harusnya ini bisa dibuka dan memperbaikinya enggak rumit. Harusnyaaa.... Iya, enggak?" tanyanya lagi pada pesawat telepon itu. "Harusnya gue juga enggak ngajak ngomong telepon karena gue enggak sekesepian itu."

Pendar meletakkan pesawat telepon itu atas meja. Dekat dengan pintu keluar. Dia ingin melihat kerusakannya nanti, setelah dia selesai dengan niat awalnya ke gudang ini; untuk membereskannya.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang