BAB 58, Lo egois.

682 113 10
                                    

"Saya pamit, Om." Darto mundur selangkah, kemudian berbalik pergi, meninggalkan pekarangan rumah Yuna.

Yuna juga sama, cewek itu berbalik, menghadap Darto. Sayang ... dia terlambat. Darto sudah pergi, suara vespanya pun mulai menjauh.

"Bisa kamu jelasin apa maksud, Darto, Mba?" tanya Pak Alingga.

Alih-alih menjawab, Yuna justru melanjutkan tangisnya seraya melangkah masuk ke kamarnya.

Brak!

Yuna menutup pintu dengan keras, membuat Bu Wulan keluar dari kamarnya.

"Ya Allah, Mas, ada apa sih?"

Pak Alingga menghela nafas sejenak, lalu menutup pintu rumahnya. Kemudian berjalan perlahan, sampai berada di depan istrinya.

"Biasa, anak muda," jawabnya dengan santai. "Tapi ...."

"Tapi? Tapi apa, Mas?" tanya Bu Wulan, seraya mengkerutkan keningnya.

"Kayanya masalah mereka yang sekarang, gak bisa diselesain sama mereka sendiri."

Api dibalas api, hanya akan menghanguskan semuanya. Itulah yang terjadi diantara Darto dan Yuna.

***

Darto memacu kencang vespanya, membelah sepinya jalanan Jakarta di tengah malam. Semua hal yang berkaitan dengan Yuna, benar-benar hancur malam ini. Darto gak ngerti lagi, kenapa semua ini bisa terjadi. Semuanya berjalan dengan cepat, perasaan baru kemarin mereka bercanda tawa jika tengah berangkat sekolah. Tapi sekarang mereka justru berpisah, karena alasan yang bahkan Darto sendiri gak diberi waktu barang sedetikpun buat menjelaskannya.

Setitik air jatuh di pipinya. Ah, apakah Darto menangis? Atau justru langit malam yang menangis? Karena memang hujan mulai turun malam ini. Setelah sekian lama, Darto kembali menangis. Sebab terakhir kali cowok itu menangis, adalah ketika kelas 3 SD. Ketika dia jatuh dari atas pohon mangga Pak RT setinggi 5 meter, sampai-sampai tulang lengan kirinya patah.

Beruntung, semesta menyembunyikan tangisnya malam ini, dengan menurunkan hujan. Seolah tau, jika ...

Patah hati itu jauh lebih sakit, ketimbang patah tulang.

🌹

"Asalamualaikum, Darto."

Sinar matahari di hari Minggu pagi bersinar cerah, menghiasi langit kota Jakarta, menghangatkan suasana setelah semalaman hujan mengguyur Ibukota.

Di sana, di depan gerbang rumahnya Darto, ada seorang pemuda yang tengah berdiri, terlihat rapi dengan baju koko putih serta celana bahan hitam, gak lupa dengan kopiah yang warnanya senada dengan celanannya, bertengger di kepalanya, menutup sebagian rambut keritingnya. Dan, pemuda itu adalah Kiting.

Selang beberapa lama kemudian, Mama Aya pun keluar dari rumah.

"Waalaikumsalam, ada apa ya Ting? Tumbenan lo pagi-pagi udah nyamper anak gua," tanya Mama Aya.

"Hehehe, biasa Mpok, anak muda disuruh mungut amal buat pembangunan Masjid sama Pak Haji," tutur Kiting sambil tersenyum lebar, menampilkan giginya yang gingsul.

Sebenarnya, Darto memang rutin memumgut amal jariyah untuk pembangunan Masjid Al-Mustafa bersama Kiting dan anak-anak muda di kampungnya. Darto yang biasanya selalu datang duluan agar dapat sarapan gratis, pagi ini tidak seperti biasanya, hal itu yang membuat Kiting datang ke rumahnya.

"Oh ya udah bentar yak, gue bangunin si Darto dulu." Mama Aya pun kembali masuk ke dalam rumahnya.

Tok! Tok! Tok!

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang