BAB 45, Serasa ada yang hilang.

549 122 34
                                    

"Darto masih belum bisa jemput, Mba?"

Yuna seketika berhenti mengunyah sarapannya, lalu menatap Ayahnya sambil mengedipkan matanya. Sebelum menjawab, dia lebih dulu menelan makanan di mulutnya, lalu meminum segelas teh hangat.

"Vespanya masih rusak, Yah."

Pak Alingga pun manggut-manggut, kemudian kembali membaca berita online di tabnya. Gak berniat menanyakan lebih jauh, tentang absennya Darto buat menjemput Yuna selama beberapa hari ini, beliau percaya-percaya saja sama apa yang dikatakan oleh putri pertamanya itu. Sebab dia tau, spartepart vespa tua itu jarang yang jual, wajar jika butuh waktu lama buat Darto untuk memperbaiki vespanya. Padahal, alasan sebenarnya bukan karena itu. Buat kali pertama, Yuna terpaksa berbohong pada orang tuanya, gara-gara Darto.

Terhitung, sudah empat hari sejak Yuna dan Darto malam mingguan berdua, malam dimana mereka terakhir kali bersama. Iya, terakhir kali, karena sekarang semuanya benar-benar berubah, seperti apa yang dia pikirkan, meskipun hatinya sulit untuk berdamai dengan kenyataan.

"Gue gak bisa jemput lo lagi mulai besok dan entah sampe kapan. Tenang, gue gak bakal bolos sekolah, dan gak bakal bikin lo repot ngurusin gue. Kalo nyokap bokap lo nanyain gue nanti, bilang aja vespa gue rusak."

Kira-kira, kaya gitu isi pesan terakhir dari Darto, setelah mengantar Yuna pulang saat itu. Yuna jelas gak tinggal diam, dia berusaha menjelaskan alasan dari keputusannya. Tapi, Darto tetaplah Darto, yang jarang buka pesan Whatsapp. Alhasil, pesan dari Yuna pun gak dibalas, bahkan gak dibaca.

Membuat Yuna semakin nelangsa, pusing, serba salah. Yuna marah sama Darto, tapi sayangnya dia gak punya hak buat marah. Karena dia sendiri yang membuat semuanya kaya gini. Ditambah sekarang Yuna harus terlihat baik-baik saja di depan Ayah Ibunya, seolah gak terjadi apa-apa. Padahal ulu hatinya begitu perih, seperti dicakar kucing.

Tanpa tau, bahwa hatinya Darto jauh lebih parah dari apa yang dia rasakan.

🌹

Yuna pun sampai di sekolahnya, tepat lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Sedikit lebih siang, ketimbang pas berangkat sama Darto kemarin. Ah ... Kenapa jadi kaya gini, sih? Kenapa semakin lama semakin terasa ada yang hilang dalam hidupnya? Padahal baru beberapa hari saja, tapi menyiksa.

Yuna bahkan seperti kehilangan semangatnya. Wajah cantiknya yang biasanya jutek dan dingin, sekarang malah lebih dari itu. Bahkan buat tersenyum pada siswa-siswi yang menyapanya saja sulit. Seolah tersenyum itu terasa menyakitkan.

Sesampainya di kelas, barulah dia tersenyum--meski dipaksakan. Sebab ada Rere, sahabat sebangkunya, yang tengah tersenyum kepadanya.

"Pagiii, Mba ketos!" sapa Rere, riang.

"Pagi, Re." Yuna mendudukan dirinya di sebelah Rere.

"Lemes banget, belom sarapan?" Rere bertanya, sambil menaikkan sebelah alisnya. Menatap lekat sahabatnya, tanpa tau bahwa dialah yang membuat sahabatnya seperti itu.

Lagi, Yuna tersenyum dengan sangat terpaksa.

"Enggak ah, biasa aja. Perasaan kamu doang kali," Yuna menjawab sekenanya. Entah kenapa, membalas tatapan Rere saja rasanya enggan.

Sementara Rere acuh tak acuh, sudah biasa melihat Yuna yang lagi murung begitu. Alasannya pasti gak jauh dari jenuh karena banyak tugas sekolah, atau kesal sama murid-murid SMA Palapa yang masih suka melanggar peraturan sekolah. Apalagi kalau berurusan sama Darto, Yuna pasti langsung badmood.

Rere tau Yuna itu orangnya kaya apa. Dia itu gak suka basa basi, terencana, semua tindakannya selalu direncanakan matang-matang, makanya Yuna kelihatan kaku bahkan sampai dibilang jutek. Iya, Rere tau hanya sekedar itu, gak lebih. Padahal, Rere juga termasuk ke dalam rencana yang Yuna buat. Dia adalah salah satu alasan dari sandiwara dimana hati dan perasaan juga ikut terlibat.

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang