"Aku udah bilang sama Mama, tentang kondisi kamu," kata Yuna, pada Darto.
Mereka masih di sana, di ruang UKS.
"Ck, terus lo bilang, gue yang mulai-mulai tawurannya?" Darto berdecak kesal, dan memandang malas Yuna. Tapi, Yuna menggeleng.
"Aku ngga bilang gitu, kan emang sekolah kita yang diserang. Aku juga ngeliat kamu pas di lapangan tadi kok, malah aku ngeliat sendiri pas kamu ...." Yuna menjeda kalimatnya, matanya bergulir pada tangan kanan Darto yang kini dibalut perban.
"Dibacok." Darto yang justru menyelesaikan kalimat Yuna.
"Kamu gak ngerasa sakit apa?" tanya Yuna, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya.
Tapi Darto hanya tersenyum tipis, seolah meremehkan kondisinya sendiri. "Ini gak seberapa," katanya.
"Gak seberapa? Jempol kamu dijait tiga puluh delapan jahitan, kamu bilang gak seberapa?" Yuna menggeleng, gak percaya dengan kata-kata Darto barusan.
"Kamu tuh emang hobi berantem atau apa sih?"
"Perasaan, diperjanjian yang lo bilang tadi, gak nyebutin, kalo lo boleh kepoin kehidupan gue deh."
Jleb.
Kata-kata Darto seperti menampar Yuna, meski wajahnya gak terasa kebas, tapi hatinya terasa panas.
Sialan.
Yuna tadi khawatir sama Darto, itu hanya karena janjinya sama Mama Aya. Gak lebih, atau mungkin, belum lebih.
"Oke fine! Tapi aku gak mau kejadian kaya gini bakal terulang lagi, soalnya aku gak mau repot-repot ngurusin kamu buat Mama!" Yuna berbalik, dan hendak keluar UKS.
Tapi saat dia sudah memegang daun pintu, dia kembali menoleh pada Darto. Seolah melupakan sesuatu.
"Oh iya, hal pertama yang harus kamu turutin sekarang. Kita mulai, pura-puranya ...."
Bam!
Yuna pergi dari ruang UKS, setelah membanting pintu dengan keras. Darto kembali menunduk, tangan kirinya terulur, memijat-mijat pangkal hidungnya.
Pusing? Tentu saja. Siapa yang gak pusing, terjebak dalam posisi seperti itu. Posisi dimana kita harus terus bersama dengan orang yang justru kita benci, ditambah, kita harus mengikuti perjanjian yang sebenarnya merugikan bagi diri sendiri. Kebebasan Darto benar-benar sudah hilang sekarang.
🌹
Hal yang pasti, dan gak bisa dihindari adalah waktu, sebab waktu terus bergerak maju tanpa memperdulikan masa lalu.
Hari itu berjalan begitu saja, dan gak kerasa, langit sudah mulai senja, dan matahari juga mulai kembali ke tempat peraduannya. Darto berkali-kali mengumpati dirinya sendiri, sepanjang perjalanan pulang kerumahnya. Dia heran, kenapa saat tawuran tadi pagi, tangannya yang kena bacok gak kerasa sakit. Tapi sekarang, memegang pedal gas vespanya saja terasa begitu perih. Kadang, Darto juga gak ngerti, sama dirinya sendiri.
Dia pun melenggang masuk ke dalam teras rumahnya, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, sambil mengibas-ngibas pelan tangan kanannya. Barangkali dengan begitu, perihnya akan berkurang.
"Asalamualaikum," Darto masuk seraya berucap salam.
"Darto!"
Mama Aya, yang berada di ruang tamu langsung melangkah cepat mendekati anaknya. Kekhawatiran tergambar jelas di raut wajah wanita yang tengah mengandung itu.
"Darto! Ya Allah! Lo gak papa!? Mana yang kebacok, Tong!? Hah?" Mama Aya memegang kedua bahu Darto matanya menelisik kesetiap tubuh anaknya itu, guna mencari luka bacok yang tadi dikatakan Yuna di-chat.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)
Novela JuvenilPERINGATAN : MEMBACA CERITA INI BISA MENYEBABKAN KETAWA BENGEK, BAPER MENDADAK, KESAL INGIN MENGHUJAT DAN MALES BEBENAH. No #1 - jaksel (20-02-2022) No #1 - Jin (23-03-2023) No #1 - lawak (27-04-2023) No #1 - bencijadicinta (22-08-2023) *** Kehidupa...