BAB 31 Lagi-lagi nangis lagi.

667 130 18
                                    

Yuna melangkah keluar kamarnya, nampak cantik dengan balutan seragam putih abu-abunya. Pagi ini, seperti biasa, Yuna menggantikan Ibunya buat momong Yola, sementara Ibunya menyiapkan sarapan.

Beberapa menit kemudian, bel rumahnya pun berbunyi. Yuna lantas melangkah keluar sambil meraih kunci gerbang rumahnya. Dibukanya pintu, dan dilihatnya Darto yang tengah duduk diatas vespanya. Dengan malas, Yuna melangkah ke gerbang rumahnya. Jelas dia masih kesal sama Darto, dan ingin sekali mencubiti perutnya.

Namun, rasa kesalnya langsung digantikan oleh rasa terkejut. Yuna menatap Darto dengan mata yang membulat sempurna, karena melihat benda berasap di selipan jari cowok itu.

"Darto! Kamu–"

"Kenapa? Mau ngadu ke Emak gue? Ngadu aja gapapa!" sela Darto membentak Yuna.

Yuna pun diam dan menatap Darto yang juga menatapnya. Tapi pagi ini, tatapan mata Darto berbeda dari biasanya, bukan tatapan penuh harap untuk bisa sarapan, melainkan tatapan dengan kilatan amarah dan kebencian, sama seperti dulu.

"Kamu kenapa sih!? Buang gak rokoknya!" Yuna membentak balik, kekesalannya kini telah kembali.

Bisa-bisanya Darto merokok dengan santainya di depan rumah Yuna. Mau dikata apa nanti kalau sampai Ayah dan Ibunya lihat? Yah, walaupun Ayahnya juga merokok, tapi seenggaknya, kan?

Darto mendecih, seraya membuang mukanya sesaat. Lalu kembali menatap Yuna.

"Lo tanya gue kenapa? Seharusnya gue yang nanya kaya gitu!" timpal Darto seraya menghisap rokoknya dan menghembuskannya dengan cepat. Kemudian cowok itu bangkit dari vespanya, dan melangkah mendekati Yuna.

"Lo kenapa ngadu yang enggak-enggak ke Emak gue, hah?" tanya Darto, dengan berbisik, namun tetap tegas dan penuh penekanan.

Mata mereka beradu, saling pandang. Yuna sebenarnya takut, kalo Darto sedang marah. Jangan lupakan kejadian di kantin tempo hari, pas Yuna dibentak sama Darto cuma gara-gara celana sekolah.

"Salah sendiri kenapa kamu malah bolos--"

"Yang bolos gue! Yang rugi gue! Kenapa lo yang repot!"

Nyut.

Nyeri, dada Yuna terasa nyeri mendengar ucapan Darto. Apa dia gak perduli bagaimana perasaan Emaknya, yang percaya bahwa anaknya berangkat sekolah tapi nyatanya bolos? Apa dia gak perduli sama perjanjian yang berjalan? Apa ... Dia gak perduli sama perasaan Yuna?

"Kamu maunya apa sih, hah!?"

"Gue yang harusnya nanya itu Yuna!"

Yuna tersentak dan selangkah mundur ke belakang, tapi sia-sia karena sebelah lengannya dicekal oleh Darto.

"Ini bukan sekali dua kali lo ngadu yang enggak-enggak. Lo mau ngerjain gue? Lo mau bales dendam sama gue? Jawab Yuna." Darto kembali berbisik, namun tetap penuh dengan penekanan.

Yuna semakin bungkam. Iya, Darto benar. Yuna memang gak hanya sekali mengadu ke Mama Aya yang enggak-enggak. Dia tentu masih ingat, alasan dia mau membantu Mama Aya buat mengawasi dan mengatur Darto. Dia ingin menjahili Darto dan membuatnya menderita, Yuna sebenarnya sering mengadukan hal-hal kecil dan sepele yang dia dramatisir, yang akhirnya membuat Darto menjadi bulan-bulanan Mama Aya. Yuna jahat? Iya ... mungkin.

Tapi, setelah melewati hari demi hari, minggu demi minggu, Yuna mulai berhenti dan melupakan alasan kenapa dia mau menerima permintaan Mama Aya. Setelah waktu sendiri yang menunjukan sisi lain dari Darto, ego dalam dirinya yang menginginkan Darto menderita, perlahan menghilang dan berganti menjadi rasa yang lain, yang tumbuh di dalam relung hatinya.

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang