BAB 46, Saat semuanya terasa menyakitkan.

536 120 22
                                    

Darto melepas handuk di kepalanya, kemudian mengelap wajahnya yang penuh dengan keringat. Padahal hari masih pagi, tapi Darto merasa sangat panas, yah meskipun panas yang dimaksud bukanlah panas cuaca, melainkan panas dalam hatinya.

"Ck, lo ngapain maju-maju, sih? Ketauan lo kiper, malah maju ke depan," gerutu Udyn sambil berkacak pinggang.

"Bacot," timpal Darto sambil berjalan kembali ke arah gawang.

Udyn lantas mengkerutkan keningnya. Tau betul kalau sahabat karibnya itu sedang emosi, membuatnya enggan menimpali lebih jauh. Padahal ingin sekali Udyn memaki Darto, karena gara-gara dia meninggalkan posisinya sebagai kiper, gawang mereka jadi kejebolan dan membuat skor menjadi 3-4. Padahal pertandingan kali ini, Udyn bertaruh sepiring nasi goreng sambel pete, jika menang.

Sementara Darto sendiri tensinya sedikit mereda, kala berhasil menendang bola tepat ke arah Angga. Bisa-bisanya cowok itu mengelap wajahnya Yuna, jadilah amarah Darto meluap seketika. Persetan dengan skor timnya saat ini, persetan dengan rahasianya selama ini, Darto hanya bertindak mengikuti kata hati.

Disatu sisi dia kecewa, sangat amat kecewa, tanpa perlu dijelaskan lagi apa alasannya, karena memang terlalu sakit bagi Darto bahkan untuk sekedar mengingatnya. Sementara disisi lain, Darto gak rela, sumpah, bener-bener gak rela, kalau cuma diam saja melihat cewek yang telah membuatnya merasakan cinta dan luka disaat yang sama, bermesra-mesraan dengan cowok lain di depan matanya.

Darto semakin gak ngerti, sama perasaannya sendiri.

Empat hari bagi Darto masih belum cukup buat berpikir dengan logikanya. Seolah betah buat terus terkungkung dalam perasaan kecewanya sama Yuna. Semenjak terakhir kali mereka bertemu, di malam minggu, Darto mencoba menjauhi semua hal yang berhubungan dengan calon jodohnya itu.

Jelas masih terbayang dalam ingatannya, bahkan rasa sesaknya pun enggak bisa hilang dalam dadanya.

"Aku mau kamu, pura-pura pacaran sama Rere."

Untuk yang entah keberapa kali, Darto sampai lupa menghitungnya. Dadanya kembali merasakan sesak gara-gara ucapan Yuna. Ucapan yang gak memperdulikan situasi dan kondisi, merusak momen yang justru sedang melibatkan hati. Jadilah ucapan Yuna itu ibarat panah yang langsung menancap ke hatinya, perih rasanya. Asanya untuk memiliki Yuna seutuhnya lenyap seiring senyum yang terpatri di wajahnya.

Darto tertawa, miris. Sambil terus memacu vespanya masuk ke dalam komplek rumahnya Yuna.

"Wow ...."

Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Darto. Setelahnya, gak ada lagi yang berbicara, dan hanya suara vespanya saja yang mengisi perjalanan mereka sebelum akhirnya sampai di rumah Yuna.

Yuna pun turun, dan melepas helm yang dia pakai tanpa berbicara. Sementara Darto hanya menatap nanar ke depan, sama sekali gak menoleh ke samping, ke arah Yuna. Cuma tangannya saja yang terulur meraih helm yang diberi Yuna, setelah itu dia gantung helm itu digantungan di bawah jok vespanya. Lalu kemudian kembali memacu vespanya pergi, meninggalkan Yuna yang masih diam berdiri di depan teras rumahnya, meratapi kepergian Darto dengan rasa yang bergejolak di dalam hatinya.

"Ch, gini banget ya, jatuh cinta." Darto mendecih frustasi, sambil menggeleng samar.

Segera dia pacu vespanya lebih cepat, pulang kerumah adalah satu-satunya hal yang terbaik untuknya malam ini.

"Gue gak bisa jemput lo lagi mulai besok dan entah sampe kapan. Tenang, gue gak bakal bolos sekolah, dan gak bakal bikin lo repot ngurusin gue. Kalo nyokap bokap lo nanyain gue nanti, bilang aja vespa gue rusak."

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang