BAB 2 Amarah penuh cinta.

1K 191 16
                                    

Darto membuang puntung rokok terakhirnya, sebelum benar-benar sampai di rumahnya. Setelah menikmati perjalanan pulangnya dengan penuh kepenatan karena kemacetan. Rumah Darto yang terletak di belakang pasar Cipulir, membuat Darto kenyang berhadapan dengan carut marutnya suasana pasar.

Beberapa meter sebelum tiba di gerbang rumah, Darto mematikan mesin vespanya. Lalu mendorongnya masuk sampai di teras depan rumahnya. Rumah yang cukup mewah di tengah pemukiman padat penduduk khas Ibukota Jakarta. Rumahnya berlantai dua, dimana dindingnya bewarna putih pastel. Terlihat menonjol ketimbang rumah-rumah tetangganya yang kebanyakan hanya satu lantai saja.

Dengan hati-hati, Darto mulai membuka pintu rumahnya. Didengarnya suara televisi yang menampilkan acara kompetisi dangdut se-Asia Tenggara, menandakan bahwa Emak tercintanya pasti sedang menyaksikan acara tersebut di ruang tamu–untuk memastikan, siapa peserta yang akan tereliminasi hari ini.

Walaupun untuk memutuskan siapa yang keluar dari kompetisi, harus ada drama yang menguras air mata. Tetap saja, acara tersebut ramai peminatnya, termasuk Emaknya Darto.

Benar dugaan Darto, Emaknya tengah duduk manis di sofa ruang tamu, beliau menonton tv. Darto mengendap-endap, melangkah dengan hati-hati seperti seorang pencuri. Mencoba untuk setenang mungkin mencapai tangga, karena kamarnya terletak di lantai dua. Supaya Emaknya gak menyadari bahwa Darto sudah pulang.

"Udah pulang, To?"

Deg.

Baru saja Darto menginjakan sebelah kakinya di anak tangga yang pertama. Suara Emaknya masuk menyapa telinganya, dan sontak membuatnya membeku seketika. Darto menelan ludahnya, sudah bisa dipastikan betapa takutnya dia itu.

Emaknya dalam mode marah, adalah salah satu senjata paling berbahaya yang di miliki negara Indonesia. Sebab, segala perabotan rumah bisa melayang terbang dari tempatnya. Bahkan, cukup mendengar suaranya saja. Darto sudah dibuat merinding sampai keringat dingin.

"Kok pulang gak salam dulu, To?" Bu Aya bertanya, tanpa melihat Darto. Karena matanya terus fokus memandang tv.

Darto kembali menelan ludahnya. Entah Emaknya memang sakti mandraguna, atau mungkin punya indra keenam. Darto gak tau pasti, kenapa Emaknya bisa tau bahwa Darto sudah pulang.

"Eh, iya, Mak. Asalamualaikum, Darto pulang, Hehe," kata Darto dengan segenap keberanian yang masih ada. Sebab sisanya sudah menghilang entah kemana.

"Waalaikumsalam, kok bau rokok, ya?" Bu Aya mengendus-ngendus udara di sekitarnya. Indra penciumannya tiba-tiba jadi tajam, seperti kucing yang sedang mengendus ikan asin.

"Ah perasaan Emak aja kali, udah ya Darto mau ke--"

"Siapa yang nyuruh ke kamar!?" Kata-kata Bu Aya sukses membuat Darto tertegun dengan diselimuti rasa takut.

"Sini lo!" titah Bu Aya.

Perlahan, Darto mendekat ke Emaknya. Mulutnya komat-kamit, berharap semoga saja gak ada luka cubit, tampar, maupul tonjok. Seharusnya dia tau, bahwa membuat Emaknya marah adalah kesalahan fatal. Tapi tetap saja, dia selalu melakukan hal itu.

Darto pun sampai di pinggir sofa yang bersebrangan dengan Emaknya. Dia mendudukan dirinya dengan kaku. Dipandangnya layar televisi yang sedang iklan itu. Jantungnya semakin memompa dengan cepat. Ingin rasanya dia menciut jadi kecil, sekecil semut, jika dia bisa.

Bagi Darto, lebih baik mendengar ceramah Bu Kholifah--guru killer yang mengajar pelajaran Ekonomi. Ketimbang berhadapan dengan emaknya sendiri.

"Kok duduknya jauh banget, gak mau deket-deket sama Emak?" Bu Aya bertanya, nadanya begitu tenang dan lembut. Namun, Darto justru bergidik mendengarnya.

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝑫ᴀʀᴛᴏ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang