45. Kenyataan Pahit

45 8 0
                                    

     Aurora berjalan ke atas menuju kamarnya. Ia baru saja makan malam bersama Wijaya, Wulan dan tentunya Randy. Kemarin malam saat Randy dan dirinya pulang dari rumah sakit, Wijaya dan Wulan sangat terkejut dengan kedatangan Randy. Mereka sangat bahagia, bahkan Wulan sampai menangis sambil terus memeluk erat Randy.

Aurora bahagia melihat keluarganya kembali lengkap. Randy akhirnya kembali juga setelah dua tahun menghilang.

"Arga kemana ya? Kok belum ada kabar," gumam Aurora.

Sejak sore tadi, Aurora memang belum bertemu dengan Arga lagi. Aurora bahkan tak tahu Arga kemana.

"Belum pulang nih pasti."

    Aurora berdiri di balkon kamarnya, ia menatap rumah besar yang ada di depannya itu. Ia belum melihat ada motor yang masuk ke rumah besar itu. Bisa dipastikan Arga belum pulang, malam-malam seperti ini.

"Tadi ngilang juga bareng-bareng sama inti Drakez yang lain lagi. Apa mereka emang pergi bareng ya?" Aurora menghidupkan ponselnya.

Aurora mencoba menelepon Arga maupun Vano. Tapi dua cowok itu kompak tak mengangkatnya. Mau mencoba menghubungi Rio maupun Dimas, Aurora tak punya nomornya. Ia makin gelisah.

"Kamu belum tidur, Ra?"

Aurora yang mendengar suara itu langsung menoleh ke belakang. Ia mendapati kakaknya berdiri di ambang pintu kamarnya yang kini terbuka, ia belum masuk.

"Belum, Kak."

"Kak Randy boleh masuk?" Randy masih berdiri di sana.

Ya, itu sudah menjadi kebiasaan keduanya jika mau masuk ke kamar orang harus izin terlebih dahulu. Karena setiap orang punya prifasi kan? Apalagi kamar salah satu tempat yang  kita anggap lebih aman diantara ruangan lain di rumah.

"Boleh Kak, masuk aja," ucap Aurora sambil mengangguk.

Randy segera masuk dan menghampiri Aurora yang masih berdiri di balkon kamar. "Kamu kenapa belum tidur?"

"Belum ngantuk."

"Emang kamu nggak capek?" Randy melihat Aurora dari samping.

Aurora menggeleng kecil, pandangannya masih mengarah pada rumah Arga. Merasa ingin tahu, Randy mengikuti arah pandang Aurora, ia menyipitkan matanya.

"Kenapa lihatin rumah itu terus? Rumah siapa emangnya?" tanya Randy kemudian.

"Itu rumahnya Arga."

Randy mengerutkan dahinya, "Arga? Arga yang jadi salah satu inti Drakez itu?"

Aurora mengangguk, "Iya, Kak Randy kenal kan?"

"Kenal sih kenal, tapi belum terlalu kenal deket. Dulu kan pas Kak Randy masih jadi wakilnya Vano, Arga masih anggota baru."

"Arga tuh mirip Kak Randy tau, dia juga jadi mata-matanya Drakez. Sama kaya Kakak." Aurora tersenyum kecil.

"Wah yang bener?" Aurora mengangguk cepat.

"Pantes ya dia cekatan banget pas nolong Kakak dari Satria." Randy mengangguk-anggukan kepala.

"Arga nolongin Kak Randy?"

"Iya, dia sama Vano. Kamu kenal banget kayanya sama Arga." Randy menatap Aurora sambil tersenyum aneh.

"Iya kan kita satu kelas juga, dia juga pinter loh Kak. Kita memutuskan buat saingan, dan di semester satu dia yang dapet peringkat satu. Jadi ya sampai sekarang dia yang lebih unggul." Aurora mencebikkan bibirnya karena Randy terlihat menahan tawa.

"Masa adek Kakak satu-satunya ini kalah saing sih sama dia." Randy mengacak rambut Aurora sambil terkekeh.

"Aku juga heran sama Arga, kenapa bisa mirip gitu sama Kakak. Bahkan aku sampe nganggap kalo Arga itu Kak Randy versi junior." Aurora terkekeh.

AURORA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang