40. Langganan Rumah Sakit

55 9 0
                                    

       Arga menoleh ke kanan dan ke kiri sambil terus mengawasi. Sedari tadi Arga berhasil melewati manusia-manusia yang sedang sibuk adu pukul itu. Arga berjalan meninggalkan keramaian untuk mengecek apa yang ada di gedung tua itu.

"Gawat nih kalo mereka terus bantu anak Darez yang ada di luar," batin Arga.

Arga mengintip lewat jendela, bangunan ini makin sepi karena anak-anak Darez sudah banyak yang ke luar. Arga berniat masuk ke gudang itu, tapi langkahnya terhenti saat sampai di sisi pintu.

"Kenapa kalian ambil Randy?!" suara itu yang membuat Arga mengerutkan dahi sambil terus berpikir apa maksudnya dari perkataan itu.

"Itu kan suaranya Bang Vano, dia kenapa sebut nama Bang Randy?" batinnya.

      Arga baru menyadari sesuatu setelah terus menyuruh otaknya berpikir. Ia berjalan dengan hati-hati menuju asal suara itu, ia hanya mengamati dari kejauhan.

       Matanya membulat ketika melihat Vano sudah babak belur seperti itu. Tapi ada satu hal yang lebih penting lagi. Refleks Arga berlari menuju Vano. Belum telat, ia bisa menyelamatkan Vano. Tapi benda tajam itu menusuk perutnya, mengalirkan rasa nyeri yang menjalar di sekitarnya. Sialan! Ia tahu ini hal bodoh, tapi telat satu detik saja nyawa Vano yang menjadi taruhannya. Ia tak mau sang ketuanya itu mengalami banyak luka lagi.

"Arghh."

"Arghh!"

       Perlahan Arga membuka matanya, perutnya terasa sakit. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Aurora yang sedang tertidur dengan kepala yang berada di dekat tangan kanannya. Arga melirik jam dinding di ruangan serba putih ini, masih pukul tiga dini hari. Aurora menungguinya selama itu?

"Gue emang selalu nyusahin."

    Arga menoleh ke kiri, ia melihat ponselnya tergeletak di atas nakas. Perlahan ia mengulurkan tangan kirinya untuk menggapai ponsel itu walau dengan bergerak membuat rasa sakit di perutnya kembali terasa. Hampir kena.

"Kamu udah sadar Ga?" mendengar suara itu Arga menoleh dan melihat jika Aurora sudah terbangun.

Arga hanya tersenyum. "Kamu mau ambil apa? Aku ambilin," ucap Aurora.

"Enggak Ra, nggak jadi." Arga kembali ke posisi semula sekarang, ia tak ingin memaksakan tubuhnya untuk bergerak lebih.

"Gimana Ga sekarang? Udah mendingan? Harusnya kamu nggak ambil pisaunya waktu itu, kata dokter itu lebih bahaya," ucap Aurora.

"Kamu nggak usah khawatir, aku udah nggak pa-pa, aku kan kuat kaya iron-man." Arga terkekeh. Teringat sesuatu, hmmm.

"Masih sempet bercanda aja kamu." Aurora memasang wajah cemberut. Arga tak tahu saja kalau operasinya itu membutuhkan waktu yang lama, sampai Aurora saja rasanya tak kuat menunggu.

"Nggak usah cemberut juga dong, nanti aku berpaling ke cewek lain gimana?" Arga mengangkat satu alisnya.

Aurora membulatkan matanya, ia tak salah dengar kan? "Kamu kalo lagi sakit gini makin nyebelin."

"Siapa juga yang sakit? Aku udah sembuh, besok juga udah pulang kan?"

"Arga, kamu jangan ngeremehin gini. Keseringan masuk rumah sakit jadi gini nih," sindir Aurora.

"Buat yang ini butuh waktu sekitar satu minggu di rumah sakit buat kamu biar cepet sembuh." Aurora menggenggam tangan Arga.

Arga menghembuskan napasnya pelan, "Kamu nggak pulang? Kamu pasti capek."

"Aku temenin kamu aja di sini," jawab Aurora. "Oh iya, Bang Vano aku suruh pulang tadi, dia belum obatin lukanya."

"Tadi juga Arsya, Marcell sama Alya ke sini, mereka udah pulang satu jam yang lalu. Nanti pagi mungkin ke sini buat taruh baju kamu," lanjut Aurora.

AURORA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang