18- Mimpi?

441 70 9
                                    

Dokter yang menangani Ji Chang Wook keluar masih lengkap dengan baju operasinya. Dia melepas masker dan menghampiri Ibu Ji Chang Wook.

“Bagaimana keadaan putraku?”

“Ji Chang Wook, dinyatakan meninggal dunia pukul 19.31 waktu setempat. Maaf, dokter Han.”

“Wook..” Seketika tangis dokter Han Yoon Ah. Dia terjatuh dan meraung tidak kuasa menerima kabar kematian putra satu-satunya yang ia besarkan dengan penuh perjuangan.

Putranya yang baik,

Putranya yang penurut,

Putranya yang dewasa,

Putranya yang humoris,

Putranya yang penyayang,

Putranya yang pekerja keras,

Putranya yang tulus,

Putranya yang hebat,

Putranya yang pantang menyerah,

“Kenapa kali ini kau menyerah, Wook.” Air mata Han Yoon Ah mengalir deras seiring dengan hatinya yang remuk.

Bukan hanya Han Yoon Ah. Kim Tan, Jung Ryeo Won, Lee Dong Wook, Choi Young Do dan Lee Da Hee turut sedih dan menangisi kepergian Ji Chang Wook. Semua tidak menyangka jika Wook akan pergi secepat itu. Masih banyak target pria itu, masih banyak rencana yang belum terlaksana, pria itu pergi sebelum hari bahagiannya. Kepergian itu sangat terasa bagi mereka.

Berbeda dari mereka, mendengar pernyataan dokter justru membuat Rachel gontai, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Saat melihat ibu Ji Chang Wook menangis sedih, barulah dia percaya bahwa apa yang dikatakan dokter memang benar.

Mata Rachel berkaca-kaca, hanya berkaca-kaca. Air matanya enggan jatuh.

“Hai superman.” Ji Chang Wook menerbangkan Yoo Eun.

Eomma?!”

“Kenapa kau tetap disana? Ayo kemari!” JI Chang Wook tersenyum melambaikan tangan.

Kaki kanan Rachel mundur satu langkah.

“Apapun yang terjadi, aku pasti akan selalu di samping. Aku janji. ”

Kaki kiri Rachel ikut mundur satu langkah.

“Aku mencintaimu Rachel Yoo.”

Rachel membalikkan badan lemah, ia berjalan menjauhi teman-temannya hingga semakin lama tangis ibu Ji Chang Wook yang keras pun mulai samar dari pendengarannya.

Matanya kosong, pikirannya kosong, dia berjalan tanpa tujuan tanpa arah. Beberapa kali dia tidak sengaja menabrak lalu lalang orang yang memandangnya aneh. Dia tidak peduli. Lebih tepatnya dia tidak tahu. Dia tidak menyadarinya. Bahkan kakinya yang tanpa alaspun tidak mampu ia sadari.

Rachel tanpa sadar mengunci emosinya diantara dinding pembatas. Dia bekukan tubuh dan hatinya untuk merasakan sakit. Dia tidak memampukan itu. Bahkan secara sengaja ia sering menahan napasnya, takut jika perih itu tiba-tiba menyususp ke hatinya.

Thinnn

Thinnn

Suara klakson bersahutan memperingatkan Rachel yang tengah menyebrangi jalan, asal. Sudah tidak ada kesadaran lagi, dia berjalan tanpa tahu ada apa ,dimana.  Dunianya hening. Dia merasa sepi yang tiba-tiba secara langsung tidak berujung. 

Semakin lama semakin sulit untuk diketahui apakah air mata itu memang enggan atau takut untuk keluar. Yang jelas, indranya kini melumpuh. Matanya seakan buta, telinganya seakan tuli, penciumannya, perasanya seakan sudah tidak berfungsi.

THE (Not) HEIRS | Completed√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang