40- Luka yang Terpendam

474 60 4
                                    

Matahari baru saja terbenam. Sepulang dari kedai Bibi Ang, ia putuskan untuk berjalan-jalan sebentar mencari udara segar. Sore ini dadanya sangat sesak.

Ia duduk termenung di bawah pohon di luar area camp. Kelopak matanya yang memerah terpejam bermaksud menstabilkan apa yang bergejolak di dalam hatinya.

Matanya, bibirnya, tubuhnya bergetar. Ia tak tahan. Segera ia bangkit dan kembali ke tendanya. Meski sedikit tak bertenaga, namun ia harus bisa segera sampai.

Tangannya bergetar merogoh ID card di dalam tas. Ia bolak-balik isi tas, tak ketemu. Tubuhnya berjongkok lalu ia tumpahkan isi tasnya. Tangannya masih bergetar menyibak rambut pendeknya yang jatuh ke depan menghalangi wajahnya. Ia orat-arit barangnya.

Ketemu.

Buru-buru ia masukkan kembali ke dalam tas dan segera bangkit. Gagal. RFID gate tidak terbuka. Sekali lagi ia scan ID cardnya. Gagal.

Brakk

Ia putuskan tangannya kesal. Wajahnya tertunduk sejenak, mengatur napas. Ia scan lagi ID cardnya. Berhasil. Ju Ri melangkah kembali ke tenda. Ia yang sibuk dengan pikirannya, hingga tak menyadari bahwa di depan sana, di depan tendanya, dirinya sudah ditunggu kedatangannya oleh Seon Byul dan Jin Joo. Mereka berdua menyambut kedatangan Ju Ri dengan cerah.

"Ju Ri. Kau kemana saja?"

"Kami ingin mengajakmu makan malam bersama dengan.. "

"Aku lelah." Lirih Ju Ri tanpa berhenti atau menatap mereka.

Ju Ri segera masuk dan mengunci tendanya. Ia jatuhkan tasnya lalu ia matikan lampu. Bersisa lampu tidur yang tak begitu terang.

Disinilah, tempat yang tepat untuknya melepas semua. Melepas apa yang membuatnya sesak sejak tadi. Ia merebahkan dirinya di atas kasur. Ia keluarkan plasternya yang di tolak Seo Joon.

Ia miringkan tubuhnya. Hatinya bergetar miris. Napasnya naik turun memberi aba air matanya yang sudah ia tahan sejak tadi sudah dapat bebas ia keluarkan. Bibirnya tersenyum pilu. Jarinya yang juga bergetar membuka plaster itu dan ia lekatkan pada jari telunjuk kirinya. Ia cium lembut telunjuknya.

Air mata sudah tidak dapat lagi ia tahan. Mulutnya terbuka tak dapat menahan sakitnya. Ia kasihan pada hatinya, pada dirinya. Ia sudah terbiasa mencintai seorang diri, tapi sebuah penolakan?

Selama ini ia tidak berani berharap lebih. Ia hanya berani memandanginya diam-diam. Ia hanya berani tersenyum diam-diam. Berharap diam-diam. Tapi ia tidak sangka, menolak hal kecil permberiannya akan membawa rasa pedih seperti ini.

Apa karena perasaannya kini telah dalam?

Ju Ri hanya bisa bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Yang ia rasakan sekarang adalah ketakutan. Isaknya semakin keras. Ia takut jika perasaannya akan lebih dalam dari ini. Ia takut berharap pada sesuatu yang tak dapat ia raih. Ia takut terluka. Ia takut.

Sebelum ini, tak sekalipun pria itu menolak pemberiannya. Tak pernah sekalipun, meski pemberiannya tak selalu berguna. Tapi dia tetap menerima dengan senyuman di wajahnya. Tetapi hari ini berbeda, untuk pertama kalinya dia menolak pemberiannya untuk menerima pemberian dari orang lain.

THE (Not) HEIRS | Completed√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang