Anne menatap ke arah luar jendela pada mobil yang ditumpanginya sambil melihat pohon-pohon yang berarak meninggalkannya.
Di jok bagian belakang sudah ada dua buah koper dan tas ransel yang sudah sesak oleh barang bawaannya. Anne sudah bertekad, bahwa dia akan melupakan semuanya. Melupakan cita-citanya, dan melupakan semua impiannya untuk bisa bekerja di kota besar seperti ini.
"Kau yakin ingin pergi...?" Sebuah pertanyaan yang entah sudah ke berapa kali Sofia tanyakan. Menatap nanar pada Anne karena masih tidak rela bahwa sahabatnya itu akan pergi.
Saat ini, mereka sudah sampai di stasiun. Keberangkatan kereta api akan berangkat pukul tujuh malam nanti. Dan Sofia masih menangis sambil terus memeluki Anne tiada henti.
"Ya, Sof. Aku yakin akan pergi." Ucap Anne sambil menepuk-nepuk bahu Sofia. Meski pun sebenarnya ia juga ingin menangis, tapi sekuat tenaga ia mencoba bertahan.
"Pergi lah, jam lima nanti bukan kah ada ujian Akutansi-Manajemen, kau tidak boleh terlambat." Anne menghela napas berat. "Sudah lah, aku tidak apa-apa."
"Bagaimana aku tidak apa-apa, tiba-tiba pagi tadi kau mendatangi bagian sekretariat dan mengatakan keluar dari kampus. Lalu sekarang, kenyataan kalau kau benar-benar tidak ingin datang saat ujian, semakin membuat hatiku sakit..."
Dalam situasi seperti sekarang, Anne masih sempat-sempatnya tersenyum. Menatap pada jam yang melingkar di tangannya yang sudah lewat pukul empat sore.
"Pergi lah, Sof. Bukan maksudku mengusirmu. Tapi aku benar-benar tidak ingin kau terlambat."
Sofia semakin deras meneteskan air mata. Sedangkan Anne kemudian berbalik arah. Meninggalkan Sofia karena jika Anne tidak segera menjauh, Sofia juga pasti akan melewatkan ujiannya.
Cukup diriku saja, Sofia jangan.
"Kabari aku, oke?"
"Pasti..." Suara Anne sudah mulai serak. Sambil menahan tangis, Anne melambaikan tangannya ketika ia hampir sampai di pintu masuk pengecekan tiket.
"Janji untuk menelfonku setiap hari, kan?"
"Tentu, aku janji."
"Jaga kondisimu, jaga kesehatanmu. Suatu saat aku akan datang mengunjungimu."
Anne mengangguk-angguk cepat, hingga pada akhirnya ia tidak bisa menahan lagi tangisan itu. Tangisannya pecah, menangis tersedu-sedu ketika Anne melambaikan tangannya pada Sofia.
Tidak ingin berlama-lama, Anne kemudian masuk ke dalam stasiun itu. Duduk di sana sambil meremas kedua tangannya ketika menahan rasa sakit yang sudah sejak lama menjalar di setiap bagian hatinya.
***
Di sisi lain, Max sudah melakukan segala cara. Sejak Alfa mengatakan padanya untuk mencari tahu sosok Anne, yang dilakukan Max pertama kali adalah, mencari sosok Cindy yang dulu mengajak Anne untuk datang ke bar itu untuk pertama kali.
Lalu di sini lah Cindy berada. Duduk ketakutan ketika melihat sosok Max yang dengan angkuhnya menanyai Anne tentang banyak hal.
Disebarnya foto-foto ketika Cindy telanjang kepada para tamu yang tidak sengaja tertangkap cctv sebagai cara bagi Max untuk mengancamnya. Mengorek informasi sedetail mungkin mengenai Anne dan mengenai malam itu.
"Tolong jangan sebar foto ini. Saya mohon..." Bahkan tangan Cindy bergetar saat melihat beberapa foto ketika dia sedang melayani para hidung belang. Sungguh, Cindy sangat ketakutan, bagaimana masa depannya nanti jika Max benar-benar menyebarkan foto ini di kampusnya.
"Kalau begitu katakan... Apa yang kau ketahui tentang temanmu itu."
"Aku sudah mengatakan padamu, kalau Anne butuh uang untuk tinggal di kota besar seperti ini. Malam itu, dia memang pertama kali bekerja ketika aku mengajaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAVING HIS BABY
RomanceKedatangannya ke ibu kota ternyata telah membuat masa depannya hancur berkeping-keping. Bagimana mungkin ia bisa mengandung tanpa tahu sosok Ayah dari bayi yang ia kandung. Anne mencari, dan ketika Anne menemukan sosok itu, mungkin kah sosok itu mau...