nine

1K 156 2
                                    

sudah satu minggu sejak ekspedisi terakhir. erwin diangkat menjadi mayor setelah mayor sebelumnya dinyatakan gugur saat ekspedisi.

sedangkan hilda adalah satu-satunya regu erwin yang tersisa. dia tidak dipindahkan ke regu lain dan tetap menemani erwin.

tugas erwin yang banyak karena jabatannya membuat hilda yang masih ingin menghindari erwin merasa harus membantunya. jadilah, mereka berdua sering menghabiskan waktu di ruang kerja erwin untuk menulis laporan.

meskipun kejadian itu telah lewat satu minggu, hilda masih enggan berbicara dengan erwin. begitu pula erwin, dia tidak tahu harus bicara seperti apa agar hilda memaafkannya.

tok, tok, tok.

seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"erwin, sebentar lagi rapat." terdengar suara hange dibalik pintu. erwin menjawab akan keluar sebentar lagi dan hilda membantu merapihkan meja kerja erwin.

posisi mereka sangat dekat, namun mereka berdua memasang raut wajah datar seolah ini adalah hal yang biasa.

erwin berdiri dari kursinya tapi yang dia dapatkan malah pusing di kepalanya.

tubuhnya menjadi lemas dan nafasnya pun berat. tanpa sadar, tubuhnya terjatuh ke depan tepat di pundak hilda. hilda yang belum menyadari kondisi tubuh erwin yang tidak baik menjadi panik.

"eh?? ma-mayor?"

"erwin~ lama sekali~" hange dan moblit yang berada dibelakangnya membuka pintu ruang kerja erwin, berharap melihat erwin sudah siap rapat. namun yang dilihat mereka malah tubuh besar dan tinggi erwin sedang bersender pada pundak seorang gadis yang jauh lebih kecil darinya.

hilda menyentuh wajah erwin yang merah dan merasakan suhu tubuh erwin yang panas.

hange yang sudah siap untuk berteriak diberi aba-aba oleh hilda agar tidak berisik dan memintanya untuk tunggu di luar sebentar. dan hange menurutinya.

"mayor? anda demam? biar saya antar ke ruang kesehatan."

erwin menggelengkan kepalanya dengan lemas. dia tidak suka dengan ruang kesehatan karena pasti banyak anggota pasukan pengintai, dan dia tidak ingin mereka melihatnya dalam kondisi lemah.

hilda tahu ada kamar istirahat di ruang kerja para atasan. dia pun membantu erwin berjalan ke kamar tersebut dan membantunya melepaskan sepatu, jaket, dan yang dikiranya dapat membuat erwin merasa sesak.

"tolong tunggu sebentar, saya ambilkan air."

hilda keluar dari ruang kerja erwin untuk mengambil air dan handuk, tapi ada hange dan moblit yang menunggu didepan pintu ruang tersebut.

"apa terjadi sesuatu pada erwin?" tanya hange tanpa menyebabkan kehebohan.

"iya, sepertinya begitu. tapi mayor tidak ingin ke ruang kesehatan. aku akan mengambilkan air dan handuk untuknya, kalian pergilah rapat."

hange dan moblit pamit dan menitipkan erwin pada hilda.

👁👄👁

merasa tubuhnya sudah semakin membaik, erwin bangun dan tidak sengaja menjatuhkan handuk di kepalanya. di atas meja disamping tempat tidurnya terdapat baskom berisi air.

di sudut ruangan, erwin melihat hilda sedang tidur diatas kursi, bersender pada dinding. kemeja hitamnya digulung sebatas siku dan rambutnya menutupi sebagian wajahnya.

erwin ingin berdiri dari kasurnya, tapi hilda malah terbangun karena suara kasur itu.

"ah, maaf aku membangunkanmu."

"mayor, anda perlu istirahat lebih lama lagi."

hilda segera berdiri dan mengambil handuk yang terjatuh. dia menyentuh wajah erwin untuk memastikan suhu tubuh erwin, menyebabkan sang mayor salah tingkah.

"sudah tidak panas, tapi istirahatlah lagi, mayor."

hilda membereskan baskom dan handuk, ingin mengembalikannya ke ruang kesehatan.

tiba-tiba tangan erwin menahannya.

erwin menundukkan wajahnya, tidak bisa melihat hilda secara langsung. masih ada perasaan bersalah didalam hatinya meskipun kejadian itu sudah lewat selama satu minggu. biasanya juga dia tidak peduli jika ada orang lain yang menyalahkannya karena perintahnya memakan korban jiwa, namun kali ini tidak.

"yang waktu itu, maaf aku tidak percaya dengan kemampuanmu."

hilda terkejut mendengat permintaan maaf yang keluar dari mulut seorang pria dengan paras dan hati yang dingin. hilda ingat betul bagaimana pria itu memeluknya saat dia terjatuh.

hilda berlutut dengan satu kaki dihadapan erwin, menaruh baskom berisi air yang dia pegang tadi di sampingnya.

tangan kanan erwin yang masih memegang tangan kiri hilda disentuh dengan pelan oleh hilda, membuat erwin akhirnya melihat hilda tepat pada matanya.

erwin tidak lagi melihat mata hilda yang dipenuhi oleh amarah, kini yang dilihatnya adalah mata hilda yang penuh dengan kehangatan, mata yang selalu ingin dilihat olehnya.

"terimakasih, mayor. saya harap anda dapat lebih percaya pada saya sampai kapanpun itu."

erwin melepaskan tangan kirinya dari hilda dan kali ini dia yang menggenggam tangan hilda. dia menundukkan wajahnya lagi, tidak tahu harus bilang apa. perasaan di hatinya bercampur tidak jelas, teringat suara tangisan hilda, mendengar suara hangatnya lagi, menggenggam erat tangan hilda, melihat wajah hilda.

"percayalah padaku juga, hilda."

sebelum ekspedisi, hilda memang mulai percaya kepada erwin. namun kejadian saat ekspedisi menghancurkan kepercayaannya dan ingin membangun tembok setinggi mungkin antara dirinya dan erwin.

melihat mata biru yang biasanya sedingin es kini terlihat sangat rapuh, hilda tidak tahu harus berbuat apa. dia membiarkan hatinya yang berbicara, mengesampingkan otak yang menyuruhnya untuk menjauh.

"baiklah, mayor."

sonder || erwinxocTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang