Ch.37 Rasa yang tertinggal

185 30 4
                                    

Tentang bagaimana manusia bisa bertahan dari kesunyian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tentang bagaimana manusia bisa bertahan dari kesunyian.

Jawabannya adalah satu, cinta dan sebuah pandangan baru yang akan mengubah kondisi hidup.

Tetapi, situasi yang berliku selalu bisa menjadi tolok ukur agar manusia memutuskan untuk mencapai batas akhir.

"Na, aku tak ingin yang lain untuk bahagia." Gumamnya. "Jangan siksa aku lebih dari ini."

Netranya sendu sarat akan kerinduan. Hampa di relung hatinya juga tak terbantahkan. Begitu pilu nan menyesakkan.

Sudah terlampau banyak air mata yang ia tumpahkan. Seakan matanya kini kering oleh cairan bening yang biasa menggenangi pelupuk matanya itu.

Sepoi angin membawa helaian rambutnya berkibar. Udara dingin diatas balkon kamarnya sama sekali tak ia pedulikan.

"Kau jelas tahu apa yang aku inginkan."

Matanya menengadah ke langit menatap bintang. Berharap dia tidak akan pernah merasakan kemalangan yang dialami oleh Sirius.

Sebuah selimut tebal tiba-tiba membungkus tubuhnya. Ada tangan lain yang bergerak mengarahkan kain yang menghangatkan itu menutupi tubuhnya yang ringkih.

"Lia kau tak apa?"

Jeno, sepupunya yang kebetulan berkunjung ke kamarnya.

"Aku tak apa Jeno."

"Tetapi wajahmu sangat pucat."

"Aku mungkin hanya kurang tidur. Kau tak perlu khawatir."

Jeno hanya mengangguk meski sedikit enggan. Faktanya, akhir-akhir ini wajah Lia terlihat letih dan lesu. Bahkan, sorot matanya berisi kehampaan yang mendalam.

"Aku hanya ingin mengantarkan ini."

"Apa ini?"

"Undangan acara pertunangan Mark Hyung dan Yeji."

Gadis itu tersenyum simpul sambil menyambut uluran sebuah kertas undangan.

"Aku turut bahagia."

"Tiga hari lagi acaranya berlangsung."

"Sungguh bahagianya mereka yang beruntung karena cintanya terberkati."

Jeno terdiam menanggapi, masih dipikirkannya tentang jawaban dari pernyataan Lia barusan yang sesuai.

Detik selanjutnya pemuda itu menoleh ke arah Lia yang kini tengah menatap langit. "Tuhan selalu punya cara untuk membuat manusia bahagia." Sahut pemuda itu kemudian.

"Kau tahu Jeno, terkadang aku berfikir jika Dewi Fortuna mungkin membenciku."

"Kenapa kau bisa berfikir begitu?"

"Dia tak merestui kami. Dan dia juga telah memisahkan kami."

"Untuk apa Dewi Fortuna membencimu, jika dia yang telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatimu. Tak ada yang salah tentang perasaan cinta. Itu murni datang dari hati."

Reflection ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang