26 -

81 14 0
                                    

"Lunox, waktunya makan, aku sudah membuatkan sup apel kesukaanmu." Silvanna memanggil dari arah gereja, sedikit berseru karena sosok Lunox berada di halaman depan.

Anak gadis ini serius bermain dengan para kumbang yang hinggap di sebagian tanaman, begitu menggemaskan apabila melihat Lunox ceria setiap saat.

"Baik! Aku akan segera kesana!" dari kejauhan Lunox pun menyahut.

Rasa hangat tanpa ada keraguan maupun hambatan, Silvanna benar-benar merasa ringan bisa hidup damai seperti ini, mestinya kehidupan yang tenang bisa ia rasakan sejak lama. Dari ambang pintu gereja ia mengukir senyuman yang dapat menghilangkan aura negatif, Silvanna kelihatan sangat cantik jelita jika di lapisi oleh senyuman itu.

Karena sudah memberitahu Lunox bahwa makan malam telah disajikan, Silvanna kembali masuk ke dalam dan menghampiri Bapa Pendeta. Pria tua itu ternyata tak kunjung sembuh. Sakitnya bertambah parah setelah dirinya tahu kalau Diana telah meninggal dunia. Perlahan-lahan Silvanna meracik sebuah obat herbal menggunakan dedaunan hijau, menumbuknya hingga halus agar Bapa Pendeta dapat menelan tanpa harus merasakan pahit.

"Percuma." Zarvakko berucap. "Dedaunan itu tidak akan membuatku sembuh. Aku cuma menjadi beban untukmu, Nn. Silva."

Itu benar, mungkin obat herbal ini tidak cukup membantu. Tapi Silvanna tidak mau melihat kondisi Zarvakko semakin memburuk. Ia sendiri tahu kalau dari sekian banyak metode yang sudah di praktekan tidak membuahkan hasil, tapi apakah dengan cara (tidak) melakukan apa-apa kondisi Zarvakko bisa membaik? Kurasa tidak.

"Aku akan menaruh obatnya disini." ucap Silvanna setelah menyelesaikan racikan tersebut. "Kau harus makan sebelum meminum obatnya, akan kuambilkan sup apel untukmu, Bapa."

Silvanna keluar ruangan dan bergegas ke dapur.
Beberapa saat kemudian Zarvakko berpikir—kenapa wanita itu menjadi begitu perhatian setelah dia memutuskan tidak akan pernah kembali lagi ke ibukota. Pada akhirnya Zarvakko paham.. kalau wanita berambut abu itu tengah menebus dosa-nya.

"Semua orang berharap agar dosa mereka dapat di tebus dengan cara kebaikan. Aku sampai lupa bahwa aku adalah seorang pastor. Aku merasa malu pada diriku sendiri." Zarvakko bergumam, duduk di samping kasur sambil melihat sebuah pahatan kecil berbentuk kuda di kamarnya.

Bicara soal kamar malah jadi teringat pada Diana, terhitung ruangan pribadi Zarvakko sering sekali di urus olehnya. Bahkan Diana sangat rajin memberikan masukan kepada Bapa Pendeta untuk menata perabotan di dalam kamarnya sehingga kelihatan lebih rapi. Tapi.. sekarang hal itu mustahil ia dapatkan secara Diana sudah tiada.

Namun...
"Apakah yang dikatakan Rubick itu benar?" tanyanya sendiri. "Apakah Diana berhasil dihidupkan?"

Mencoba mengulas dengan ucapan Rubick sebelumnya, jika benar begitu maka sepercik harapan di dalam benak Zarvakko merasa membara. "Aku ingin melihat kondisi Diana." katanya.

"Dan aku mengandalkanmu, Dante." Zarvakko terus berbicara. "...karena Rubick akan membawamu ke Outworld. Tolong beri aku kabar bahwa Diana baik-baik saja, aku sangat berharap akan hal itu, kumohon."

Gereja ini memang terbilang kecil dan agak reyot, tapi jika dilihat secara keseluruhan bangunan ini sama sekali tidak buruk. Beberapa ruangan yang dipakai untuk memasak, mencuci, dan tidur bisa kalian dapatkan di gereja ini. Meski kondisi setiap ruangan terlihat kotor dan tak layak—Silvanna tetap bisa memasak sup apel ini dengan cita rasa yang lezat.

"Kayu bakarnya.. habis?" melihat pada bagian tungku, ternyata semua persediaan 'tuk memasak sudah habis. "Kalau begini aku harus mendapatkan kayu bakar di luar."

"Jangan, ini sudah malam." suara si kecil Lunox pun terdengar.

Ya, tepat sekali.
Untuk mencari persediaan seperti kayu bakar tidak harus keluar malam ini. Apalagi jika Silvanna keluar—maka Bapa Pendeta akan dibuat kerepotan karena harus menjaga Lunox dengan kondisi seperti itu.

LUNOX AUTHORITY (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang