BAB IV • KEBANGKITAN

150 21 4
                                    

--Outworld (Istana Baroque)--
Vance melihat Pantheon terkulai lemas di kasur yang dilapisi oleh tirai panjang. Niatnya datang kemari karena ada hal penting yang harus dibicarakan dengannya, terhitung Pantheon tidak hadir pada rapat para raja. Dan karena tidak ada raja lain yang menjenguknya—Vance pun bertindak seorang diri.

"Vance..." Pantheon Baroque menyebut namanya. "Kedatanganmu kemari, beserta ucapanmu, apa itu benar?"

Vance terdiam sejenak, lalu..
"Mungkin aku adalah satu-satunya raja yang tidak peduli pada perang yang dibicarakan Rubick. Tapi aku bukanlah raja yang bisa mengabaikan rakyatku begitu saja. Apa kau paham maksudku, Pantheon?"

"Aku tidak paham apa yang kau maksud. Jika perkataanmu yang sebelumnya itu benar, maka.. usahaku di dua tahun yang lalu sia-sia."

Vance tahu betul apabila Pantheon sudah mengatakan itu.. dia akan terpuruk dan menyalahkan dirinya sendiri. Dua tahun lalu dia sudah mengalahkan pengikut Astri, yakni Ksatria Iblis, Thamuz. Tapi kekalahan Thamuz tidak menandakan bahwa perang sudah berakhir, dan hal itu—sudah pasti akan membuat Pantheon berat 'tuk menerima kenyataan.

Kini, Pantheon mengidap kecacatan fisik pada tubuhnya. Akibat pertarungannya melawan Thamuz yang terbilang sengit, Pantheon Baroque telah kehilangan satu lengannya, ditambah kedua kakinya membatu seperti terkena kutukan. Satu Ksatria Iblis bisa mengimbangi kekuatan seorang Spartan, ini menandakan bahwa musuh yang mereka hadapi tidak boleh dianggap remeh.

"Sejujurnya aku tidak pernah menganggap serius apa yang dikatakan Rubick mengenai perang ini. Rubick membicarakan sesuatu yang diluar akal sehatku, tapi aku juga percaya padanya—Maka dari itu aku mengirimkan Tigreal ke Underworld."

Ya, jika dibandingkan dengan Pantheon, Vance masih belum bisa apa-apa. Secara.. Pantheon selalu bertindak dan berpikir menggunakan otot. Tapi Vance tahu bahwa raja yang paling menjunjung tinggi martabatnya hanyalah Pantheon seorang. Dia tak perduli dengan inti peperangan ini, selama Pantheon bisa bertempur di medan perang, maka Pantheon pun senang.

Tapi...

Mental beserta fisiknya yang sekarang telah menurun, dan Vance bingung harus apa. "Pantheon," Vance hendak berkata. "Apapun kondisi yang kau dapatkan, kau harus bersyukur karena kau masih bisa hidup. Berkat dirimu, aku dan raja yang lainnya bisa tahu seberapa hebat Thamuz."

Pantheon terdiam, ia tidak mau mengeluarkan suaranya hanya untuk omong kosong. Keterpurukannya membuat mental beserta hatinya hancur.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lebar dengan sosok wanita muda dan seorang Kepala Pelayan yang berdiri di ambang pintu. Itu adalah Ratu Charlotte dan si pelayan, Sebas.

Charlotte berjalan masuk dan menghampiri Vance, ia berkata—"Tidak ada waktu lagi, kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang akan datang. Kita tidak bisa buang-buang waktu hanya untuk seorang spartan yang cacat."

"H—Hoi, Charlotte.." Vance agak keberatan mendengar usulan darinya, itu tidak enak di dengar jika seorang ratu berbicara seperti itu di depan suaminya.

"Kau harus paham situasinya, Vance. Pantheon sudah tidak mempunyai semangat untuk berdiri, dan jangan harap kalau dia akan ikut di medan pertempuran."

Pantheon bisa mendengar dengan jelas perkataan sang Isteri, tetapi ia tetap saja diam dan terlihat tidak peduli.

"Pantheon, apa hanya karena kekalahanmu kau menjadi seperti ini? Dimana tekadmu sebagai spartan! Dimana ambisimu yang ingin menjadi Raja Terkuat!" seru Charlotte menyeringai.

"CHARLOTTE!" potong Vance dengan suaranya yang tinggi. "Tidak perlu di teruskan lagi. Aku juga sudah tahu kalau Pantheon tidak akan ikut ke medan pertempuran, aku pun tidak masalah jika garis depan pasukan kita kekurangan satu orang yang kuat. Tapi—Aku tidak suka dengan nada bicaramu yang seolah-olah sedang memprovokasi Pantheon, Charlotte."

LUNOX AUTHORITY (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang