BAB 42 : Akhir

361 248 60
                                    

BAB 42 : Akhir

Atas persetujuan Dokter Toni yang masih di luar, maka mereka semua boleh masuk ke ruangan Alfito.

"Alfito bagaimana keadaan mu hm?" tanya Andi yang sudah berdiri di sisi kiri brangkar, pria berkacamata itu tampak sekali khawatir dengan kondisi putra bungsunya.

"Aku baik kok, ayah tidak perlu khawatir," jawab Alfito wajahnya tampak sekali pucat tapi dia masih bisa tersenyum manis di depan semua orang.

Setelah Sena mengatakan pada Alfito, bahwa semua orang peduli dengan arsitek ini, hati Alfito sedikit tersentuh akhirnya dia menyuruh jurnalis itu untuk memanggil semua orang ke dalam ruangannya.

"Kamu mau operasi kan? Nanti kalau kamu sembuh, ayah akan kabulkan semua permintaan kamu ... Termasuk untuk menetap di Jakarta," ujar Andi dia menatap sang putra bungsu penuh kasih sayang.

"Tidak ayah, aku tidak mau operasi ... Karena operasi itu sakit." Penolakan dari Alfito membuat semua orang disini mendesah pelan.

Ayu diam di samping suaminya, dia enggan menyapa Alfito, malu rasanya ketika mengingat perbuatannya di masa lalu kepada putra bungsunya ini, tapi bukankah dia harus menepati janjinya ketika arsitek ini sadar, dan sudah pulih dari amnesia makan dia harus meminta maaf.

Andi yang tahu bahwa istrinya juga butuh berbicara kepada Alfito, akhirnya mempersilahkan Ayu untuk berganti posisi dengannya.

"Jangan menatapku seperti itu!" Tegur Alfito karena dia ditatap dengan tatapan kasihan oleh sang bunda. Hal itu membuat Alfito muak, dia tidak perlu di kasihani.

Ayu terperanjat saat Alfito mengatakan itu, bahkan kini Alfito memalingkan muka tidak ingin melihat wajahnya. Apakah kesalahannya di masa lalu sangatlah fatal? Sehingga ingin meminta maaf saja dia tidak mampu berucap. Oh Tuhan tolong berikan dirinya kekuatan. Ayu menghela napas dalam-dalam.

"Maaf," ucap Ayu lirih. Suara itu berhasil masuk ke gendang telinga Alfito. Apa yang di dengarnya tadi? Kata maaf dari sang bunda? Alfito langsung kembali menatap orang yang sudah melahirkan dirinya ke dunia.

"Untuk apa?" tanya Alfito, terdengar sarkastik. Ayu menatap putra bungsunya sendu, merasa benar-benar bersalah atas tindakannya di masa lalu.

"Untuk semua kesalahan bunda di masa lalu," jawab Ayu. Dia bahkan menundukkan kepala, tidak berani lagi melihat wajah sang putra. Aldino yang melihat itu semua hanya diam, dia tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Dia berdiri tidak jauh dari kedua orang tuanya, dia berdiri di samping Mbok Darmi dan Fikri.

Tidak ada respon dari Alfito, dia justru menatap Ayu dengan datar, seperti orang yang tidak kenal saja. Entah apa yang ada di kepala Alfito saat ini, yang jelas hal itu membuat semua orang bingung akan sikapnya.

"Bunda minta maaf Alfito, bunda tahu bunda salah. Bunda ingin memperbaiki semuanya, bisakah kita ulang semuanya dari awal?" Mata Ayu sudah berkaca-kaca siap mengeluarkan air mata, hal itu tidak terlepas dari pandangan Alfito. Dia akhirnya menghela napas panjang.

"Seharusnya bunda tidak harus meminta maaf, tapi akulah yang harus meminta maaf karena..." Belum juga Alfito menyelesaikan ucapannya, Ayu sudah lebih dahulu memotong.

"Tidak! Kamu tidak salah apapun disini! Bunda lah yang bersalah atas semua ini, bunda terlalu iri terhadap mu saat dulu, karena kamu lebih dari segala-galanya dari Aldino, namun kini bunda sadar bahwa selama ini yang bunda lakukan  salah, tolong maafkan bunda ya," mohon Ayu dia bahkan sudah menggenggam kedua tangan Alfito. Tanpa di duga Alfito justru menganggukkan kepala, dan hal itu membuat Ayu benar-benar meneteskan air mata.

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang