BAB 18 : Janji

1.1K 1K 41
                                    

BAB 18 : Janji

"Jadi apa yang bisa saya bantu Pak?" tanya Aldino to the point terhadap kliennya.

"Begini Pak Aldino, saya sedang terlibat masalah, ini benar-benar serius bagi saya," jawab sang klien dengan lugas. Aldino segera membuka map berwarna biru yang ada di depannya. Dia menunggu sang klien untuk lanjut berbicara.

"Saya dituduh mengelapkan uang alias korupsi oleh Bos saya, memang yang memegang kunci berangkas itu saya, dan kotak itu juga berada di ruangan saya Pak, tapi saya berani bersumpah bahwa bukan saya pelakunya." terang orang itu, dia menghembuskan napas kasar. Aldino telah selesai membaca map tersebut, dan kini pandangannya fokus kepada kliennya.

"Apa ada orang yang Pak Arga curigai?" kini Aldino membenarkan letak kaca mata minus miliknya.

"Ada Pak, namanya Roni dia adalah sekretaris Bos saya di kantor," jawab Pak Arga sang klien Aldino itu dengan mantap. Aldino menganggukkan kepalanya, dan mencatat apa yang diucapkan oleh kliennya itu pada sebuah buku yang sudah dia siapkan tadi.

"Ada motif apa sehingga Pak Arya mencurigai Pak Roni sebagai pelaku sebenarnya?" Aldino melihat sang klien yang tampak berpikir, Aldino masih menatap fokus terhadap orang yang ada di depannya.

"Pak Roni yaitu sekretaris Bos saya, sangat iri kepada saya, karena saya adalah orang kepercayaan Bos di kantor, sedangkan dia yang notabennya sekretarisnya saja tidak diberi kepercayaan penuh oleh Bos saya." Aldino yang mendengar peryataan dari Pak Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala dan menulis kembali keterangan kliennya pada buku tersebut.

"Boleh saya tahu contoh dari rasa iri Pak Roni terhadap Pak Arga?" tanya Aldino Aditama penuh selidik.

"Pak Roni itu selalu saja bersikap sinis kepada saya, dia selalu mencari kesalahan pada diri saya, dan selalu mengadu kepada Bos. Tapi Bos selalu tidak percaya dengan semua tuduhan yang Pak Roni itu berikan kepada saya, dan Bos justru menegur Pak Roni supaya fokus bekerja saja, dan tidak memikirkan hal lain," jawab sang klien itu apa adanya. Aldino hanya diam setelah selesai menulis jawaban yang diberikan oleh Pak Arga.

Aldino melirik jam tangan yang berada di tangan kirinya, dia menatap Fikri yang ada di sebelah kanannya. Seakan mengerti isyarat yang diberikan oleh atasannya, seketika Fikri menganggukkan kepala.

"Maaf Pak, tapi jam kerja sudah habis. Besok pagi kami akan mulai penyelidikannya," ucap Fikri tiba-tiba, Pak Arga seketika melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut, dan tersenyum.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Saya percayakan kasus ini kepada kalian." setelah mengucapkan kalimat itu, Pak Arga menjabat tangan Aldino dan Fikri secara bergantian, kemudian keluar dari ruang kerja milik Aldino Aditama.

Setelah Pak Arga menghilang dibalik pintu, Aldino segera melepaskan kaca minus miliknya, dan Fikri membereskan berkas-berkas yang ada di meja Aldino.

Drrrttt... Ponsel Aldino bergetar di meja kerjanya, dia meraih benda pipih itu, dan tertera nomor tidak di kenal menghubunginya, sebenarnya dia enggan mengangkat panggilan itu, tapi karena ucapan Fikri yang bilang mungkin ada sesuatu hal penting, akhirnya dengan terpaksa Aldino mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo," ucap Aldino tegas.

"Hallo, apa ini dengan Pak Aldino Aditama?" tanya seseorang dari sebrang. Aldino mengerutkan kening.

"Iya benar, ada apa ya?" Fikri yang sedang membereskan berkas-berkas atasannya seketika berhenti, dan lebih fokus mendengar pembicaraan Aldino dengan orang yang di sebrang.

"Begini Pak, kami dari pihak Rumah Sakit Cahaya Kasih ingin memberitahu bahwa keadaan pasien yang bernama Alfito Aditama sangat buruk, kami harap Pak Aldino segera datang ke Rumah Sakit Cahaya Kasih," jawab orang yang ada di sebrang. Deg... Aldino sekarang lemas, bahkan sekedar memegang ponsel yang sekarang ada di tangan kirinya dia merasa tidak mampu, tatapan Aldino kosong. Fikri yang sedari tadi menyimak obrolan via telepon itu, akhirnya sengaja menjatuhkan salah satu buku ke lantai, supaya sang pengacara itu sadar dari melamunnya.

Brukkk... Dan benar dugaan Ulil Fikri, seketika Aldino terperanjat dia kembali sadar. Seulas senyum tipis terbit dibibir Fikri, tanpa atasannya tahu.

"Baik. Saya akan segera ke sana," ucap Aldino, dia menutup panggilan tersebut lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di meja, dan dengan cepat Aldino pergi dari ruangan menuju rumah sakit tempat adiknya dirawat, tanpa berpamitan dengan Fikri. Sedangkan sang sekretaris yang melihat kepergian Aldino hanya bisa menghela napas pelan, dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Setelah selesai memarkirkan mobil di tempat parkir yang tersedia, Aldino langsung berjalan cepat menuju ruangan Alfito Aditama, dan saat tangannya memegang handle pintu untuk mendorongnya, seketika pergerakan pengacara kondang itu terhenti karena suara yang ada di dalam.

"AKU TIDAK MAU MAKAN APALAGI MINUM OBAT, YANG AKU BUTUHKAN SEKARANG HANYA SENA!" sungguh teriakan Alfito membuat hati Aldino bergetar hebat, tangannya melepas handle dan Aldino hanya bersandar pada pintu, sambil mendengarkan suara-suara yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Iya, pasti Sena akan kemari, tapi sebelum itu kamu harus makan dan minum obat." itu suara Dokter Toni, dia sedang membujuk saudara kembarnya.

"TIDAK! AKU HANYA MAU MAKAN DAN MINUM OBAT APABILA ADA SENA!" kembali suara Alfito yang lantang itu terdengar, Aldino tidak tega mendengar suara itu setiap hari, ya sudah satu minggu setelah Alfito sadar, kembarannya itu selalu bersikap seperti itu, dia menolak makan dan minum obat, dia juga tidak mau terapi, yang dia mau hanyalah Sena Agustin.

"Tolong ambilkan obat penenang." ya apabila kondisi Alfito sulit untuk di kontrol, maka dengan terpaksa tim medis akan menyuntikkan obat penenang pada adiknya. Tes... Bulir bening jatuh tanpa Aldino minta. Dia tidak kuasa menahan kesedihan, dia sangat ingin mengantikan posisi adiknya,  tapi sayangnya itu tidak bisa dan tidak mungkin.

Setelah sekian menit akhirnya suara Alfito tidak terdengar lagi, yang sekarang terdengar adalah langkah kaki Dokter Toni dan para suster yang ingin keluar dari ruangan Alfito, dengan cepat Aldino menjauh dari pintu, untuk mempersilahkan mereka keluar dari ruangan itu.

Dokter Toni dan 3 Perawat keluar dari ruangan adiknya.

"Pak Aldino, saya harap Pak Aldino segera membawa orang yang bernama Sena itu kemari, karena kalau Pak Aldino tidak membawa orang itu kesini maka kondisi pasien akan benar-benar buruk," ujar Dokter Toni, Aldino hanya diam tidak menanggapi ucapan Dokter Toni, dan hanya mengangguk-angguk kepala sebagai jawaban.

"Kalau begitu kami permisi." Dokter Toni dan 2 perawat itu pergi berlalu dari hadapan Aldino.

"Apa kamu tega menyiksa adikmu seperti ini?" tanya Sukma sarkastik, ya tadi Sukma sengaja tidak ikut Dokter Toni dan para perawat lain. Dia tetap di tempat memandang Aldino dengan sinis.

"Tentu saja tidak," jawab Aldino pelan, dia menghembuskan napas kasar.

"Kalau begitu bawa Sena kemari," ujar Sukma mantap, Aldino membelalakkan matanya menatap Sukma.

"Kenapa? Masih tidak ingin memberitahu Sena? Ini sudah satu minggu sejak Alfito sadar, keadaannya semakin kesini semakin memburuk," ucap Sukma. Aldino diam menatap mata Sukma dengan pandangan yang sulit sekali diartikan.

"Kalau kamu tetap tidak mau memberitahu Sena, biar saya saja yang memberitahu semua kebenaran ini kepadanya." setelah itu Sukma berlalu dari hadapan Aldino, tapi baru empat langkah dia berjalan, langkahnya terhenti.

"Jangan! Biar saya saja yang mengatakan itu kebenaran kepada Sena," Aldino membuka suara, Sukma berbalik badan menatap Aldino intens, mencari kebohongan dari pengacara kondang itu, tapi nihil Sukma tidak menemukan sorot kebohongan melainkan sorot kesedihan di sana. Melihat Sukma yang tampak menilai dirinya Aldino kembali bersuara.

"Saya berjanji akan memberitahu Sena kebenaran dan akan saya bawa kemari dia untuk bertemu dengan Alfito."

•••
TBC

Akhirnya BAB 18 : Janji publis juga... 😁

Gimana kesan dan kesan kalian setelah membaca BAB 18? 🙎

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak seperti Vote 🌟 dan Komentar. 📝

Bagikan cerita ini kepada semua teman kalian. 💌

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah membaca cerita ini. 😉

Follow akun:
diahyah70

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang