BAB 40 : Dilema

279 260 65
                                    

BAB 40 : Dilema

"Aku mencintaimu." Mata Sena seketika membulat lembar, saat Alfito mengucapkan sederet kata itu hanya dengan satu tarikan napas.

Apakah Sena salah dengar? Oh jelas saja tidak, suara baritonnya sangat khas dan pembawaan yang lugas, membuat Sena yakin bahwa dia tidak salah dengar.

"Sena!" Alfito mengguncang kedua bahu jurnalis itu. Sena tersentak dia akhirnya sadar dari lamunannya.

"Ya?"

"Kamu kenapa kok melamun hm?" tanya Alfito, pria berusia 30 tahun itu tampak sekali khawatir kepada Sena Agustin.

"Aku tidak apa-apa," jawab Sena tetap mencoba untuk tenang, walaupun sebenarnya di hati berkata lain. Sena mengalihkan pandangan ke arah lain, matanya yang indah itu menangkap gazebo yang tadi di duduki oleh mantan pacarnya kosong! Dia tidak ada di sana lagi, yang ada hanyalah gitar yang tergeletak di sana. Dimana sebenarnya Aldino Aditama saat ini? Pikiran Sena berkecamuk kemana-mana.

"Sena kamu lihat apa?" Ayunan tangan milik Alfito yang ada di depan wajahnya, membuat Sena memutus pandangannya dan kini kembali menatap pria berambut gondrong berwarna hitam itu.

"Itu ... Aldino tidak ada di gazebo," jawab Sena sambil menunjuk ke arah gazebo dengan jari telunjuk tangan kanannya. Sontak saja Alfito langsung menatap gazebo yang ditunjuk oleh Sena, dan benar saja gazebo itu kosong! Dimana kakaknya berada? Namun seketika rasa bertanya-tanya milik Alfito itu menguap seketika, karena mungkin kakaknya itu sedang ke toilet, karena semenjak perjalanan ke Malioboro menuju Pantai Parangtritis, Aldino mengeluh ingin buang air kecil tapi belum sempat dan dia masih bisa menahannya.  Ya mungkin saja kakaknya ada di toilet saat ini.

Sena masih terlihat panik! Alfito tahu itu, dia kemudian menampilkan senyuman terbaiknya untuk Sena supaya rasa panik jurnalis itu berkurang. Sena semakin bingung, dia panik karena Aldino tidak ada di tempat, namun kenapa sekarang Alfito tersenyum kepadanya? Bukankah seharusnya dia ikut cemas, karena sang kembaran tidak terlihat batang hidungnya?

"Kenapa dirimu menatapku seperti itu hm?" Alfito kembali memegang dagu Sena supaya jurnalis itu hanya fokus kepada dirinya.

"Aku hanya tidak mengerti dengan dirimu, saat ini kakakmu tidak ada? Dan kamu? Tidak cemas sama sekali? Justru tersenyum manis kepada diriku?" tanya Sena beruntun.

"Awalnya aku cemas bahkan sedikit panik, hanya saja... " Alfito sengaja mengantungkan ucapannya.

"Hanya saja apa?" Sena kembali bertanya. Alfito menghela napas pelan.

"Apa kamu tidak ingat sepanjang perjalanan menuju ke sini dia bilang apa?" Kini Alfito justru balik bertanya. Sena menggeleng karena dia tidak ingat. Alfito memijat pangkal hidungnya, setelah melepaskan dagu Sena.

"Dia bilang ingin pergi ke toilet untuk buang air kecil, namun dia masih bisa tahan. Ya mungkin saja dia sekarang ada di toilet untuk menuntaskannya." Alfito menjawab sambil berdecak pinggang, hal itu terlihat angkuh di mata Sena. Jika sudah begini tidak Aldino maupun Alfito mereka sama saja! Sama-sama mempunyai aura kepemimpinan yang tinggi.

"Jadi tidak usah cemas, jika dia tidak kembali dalam 15 menit, maka kita mencarinya. Mengerti?" Senyum kembali terbit di wajahnya yang tampan, kali ini yang bisa Sena kini hanya mengangguk menyetujuinya.

"Bagus sekali!" Alfito mengusap puncak kepala Sena layaknya seorang ayah yang memberikan perhatian kepada putrinya. Sena tersipu malu karena perhatian kecil yang arsitek itu berikan kepada dirinya.

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang