BAB 4 : Rasa Iri

2.5K 2.1K 45
                                    

BAB 4 : Rasa Iri

"Kenapa Alfito?" tanya Aldino lagi karena dari tadi dirinya tidak mendapat jawaban sepatah katapun dari mulut sang adik. Lagi-lagi sang pelaku alias Alfito hanya diam dan menatap sang kakak yang telah kalap. Pandangan keduanya sama-sama tajam, manik mata yang hitam legam membuat siapa saja yang melihatnya pasti takut. Adu tatap yang mereka langsungkan selama dua menit itu berakhir. Karena Aldino mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Jawab Alfito, jangan membuat ku semakin marah. Apalagi sekarang kamu telah memakai pakaian milikku!" geram Aldino sambil menarik kerah kemeja yang dipakai oleh Alfito. Tidak tinggal diam Alfito menepis tangan sang kakak yang bertenger manis dikerah kemeja yang dia gunakan.

"Kenapa? Abang tidak suka aku memakai pakaian ini? Bukankah warna pink atau merah jambu adalah warna yang Bang Aldino benci. Kenapa harus marah ketika pakaian ini aku pakai?" tanya Alfito Aditama dengan mengeryit heran.

"Tidak usah banyak bertanya kamu. Sekarang lepaskan kemeja itu." titah Aldino dengan tegas. Diam itulah yang dilakukan oleh Alfito Aditama, dia mengabaikan perintah sang kakak.

"Lepaskan kemeja itu sekarang! Atau perlu aku yang melepaskannya sendiri hah." ucap Aldino nyalang. Sedangkan Alfito hanya terkekeh pelan melihat sang kakak yang sangat murka kepada dirinya.

"Aku akan melepaskan kemeja ini apabila Bang Aldino memberi tahu alasan kenapa Bang Aldino menyimpan kemeja ini padahal warnanya pink." papar Alfito lugas. Keduanya tidak mau mengalah dan tetap kukuh dengan pendirian mereka masing-masing. Mereka sama-sama orang yang sangat keras kepala. Aldino menghembuskan napas pelan untuk menetralkan amarah yang sudah berkobar sejak dia mendegar kabar dari Mbok Darmi bahwa sang adik telah pulang dari New York, Amerika Serikat.

"Itu privasi, jadi sekarang lepaskan kemeja itu dan kamu segera bersihkan kamar ku yang telah kamu buat seperti kapal pecah. Aku ingin kamar ku seperti semula." ujar Aldino pelan, dia sudah lelah karena dari tadi dirinya selalu mengunakan nada tinggi saat berbicara. Lagi-lagi Alfito bungkam dan tetap diam tidak melakukan pergerakan sedikitpun.

"Privasi kata mu?" dengan pelan tapi pasti Alfito mengeluarkan sebuah foto berukuran 10R dari belakang kemejanya. Terkejut itulah reaksi Aldino saat melihat foto itu ditangan sang adik. Ya foto itu adalah foto wisuda Aldino, dia berfoto bersama Ayah dan Bundanya. Alfito sengaja memperlihatkan bagian foto depan itu kepada sang kakak.

"Kenapa kamu lancang sekali mengambil foto itu dari pigura!" geram Aldino Aditama kini wajahnya mulai merah, matanya nyalang seperti harimau yang akan memangsa makanannya, rahangnya megeras, jakunnya naik turun, napas Aldino juga terengah-engah seperti orang yang telah lari maratton.

"Kenapa? Tidak boleh ya? Lihat ini." sekarang Alfito membalikan foto itu dan kini tampil backgroud berwarna putih dan ada beberapa kalimat yang ditulis disitu yang berbunyi.

Aldino Aditama sayang selamat kamu akhirnya wisuda Nak. Bunda sangat senang sekali dan bangga punya anak seperti kamu. Ini Bunda sudah cetak foto keluarga kita dengan ukuran 10R, jangan lupa nanti kamu kasih pigura dan kamu tempel di dinding kamar ya Nak. Dan satu lagi Bunda beri kamu satu hadiah spesial yaitu kemeja. Ya Bunda tahu kalau kamu memang membenci warna pink alias merah jambu, tapi Bunda ingin memberikan ini kepada mu supaya koleksi warna kemeja mu komplit. Ingat kemeja ini harus dipakai saat dinner nanti malam bersama Ayah dan Bunda.

"Jujur awalnya aku ingin membuat prank saja kepada mu Bang, tapi tidak sengaja pigura itu terjatuh saat ingin aku ambil. Yasudah aku ambil saja foto yang didalam dan dengan tidak sengaja aku menemukan tulisan ini." ungkap Alfito jujur apa adanya. Dia menaruh foto itu diatas meja kerja sang kakak.

"Aku tidak menyangka bahwa orang tua kita, bahkan Bunda sanggat sayang pada mu. Aku sampai iri melihatnya." lirih Alfito pelan. Sedangkan Aldino memijat pelipisnya pelan yang sedari tadi berdenyut tiada henti. Pijatan itu terhenti ketika tidak sengaja Aldino mendegar kata iri dari mulut sang adik.

"Iri karena mereka sayang pada ku?" tanya Aldino dengan mengeryit heran. Sedangkan orang yang ditanya hanya menganguk lemah. Aldino terkekeh pelan saat melihat sang adik menganguk kan kepalanya.

"Seharusnya aku yang iri kepada mu Alfito Aditama." ungkap Aldino Aditama jujur sambil kembali duduk di kursi kerja miliknya.

"Apa yang membuat mu iri Bang?" tanya Alfito penasaran. Bagaimana bisa kakaknya itu bisa iri terhadap dirinya.

"Tentu saja aku iri kepada mu Alfito Aditama, dari kecil aku ingin sekali bersekolah ke luar negeri tapi sayang aku tidak bisa kesana dan malah kamu yang dikirim kesana. Aku iri karena kamu dapat melihat dunia dengan luas, tidak seperti Abang mu ini yang tinggal di sangkar emas." jelas Aldino sambil tersenyum ironi mengenang nasibnya. Alfito yang mendegar pernyataan dari sang kakak hanya mengelengkan kepalanya pelan. Dia menghembuskan napas sebelum menjawab argumentasi sang kakak.

"Kamu salah besar Bang Aldino. Justru yang merasa iri disini adalah aku. Kenapa? Karena sudah jelas-jelas aku terpisah dari kalian, aku tidak punya siapa-siapa disana kecuali Alm Paman Erik yang telah meninggal 5 tahun lalu. Aku disana kesepian Bang Aldino. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain belajar dan bekerja hanya itu yang bisa ku lakukan. Sedangkan kamu? Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau." balas Alfito dengan menatap tajam manik mata sang kakak. Aldino tidak tinggal diam dia membalas tatapan sang adik dengan tatapan yang sama tajamnya.

"Seharusnya kamu itu bersyukur Alfito kamu bisa sekolah ke luar negeri tapi kamu malah iri pada ku? Kamu tidak menghargai Ayah ya? Dia yang mati-matian mengirim kamu keluar negeri 20 tahun lalu. Seharusnya kamu berterima kasih kepadanya bukan malah meresa iri kepada ku." papar Aldino lugas.

"Sebaiknya segera lepaskan kemeja itu dan cepat bereskan kamar ku seperti semula. Aku ingin segera istirahat." lanjut Aldino sambil memperhatikan sekeliling kamar yang seperti kapal pecah.

"Tidak." hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Alfito. Sedangkan Aldino menaikan sebelah alisnya heran.

"Apa maksud mu?" tanya Aldino dengan lugas.

"Aku tidak akan melepaskan kemeja ini dari tubuh ku dan aku tidak mau mengembalikan kemeja ini kepada mu. Serta aku tidak mau membersihkan kamar mu ini," jawab Alfito dengan gaya congkaknya.

"Jadi kamu tidak mau bertangung jawab atas apa yang kamu lakukan terhadap kamar ku dan pakaian yang telah kamu pakai heh!" geram Aldino dengan mengertakan rahang.

•••
TBC

Yuhuhuhu hore BAB 4 akhirnya publis juga... 😘

Gimana nih ada pendapat tentang si kemar? 😁

Jangan lupa untuk vote cerita ini ya... 🌟

Kalau ada kritik dan saran bisa langsung tulis di kolom komentar... 📝

Bagikan cerita ini kepada semua teman kalian... 💌

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pembaca, vote, dan komentar pada cerita ini. 😊

Follow akun:
diahyah70

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang