BAB 25 : Prediksi

895 804 60
                                    

BAB 25 : Prediksi

Aldino menguyar rambutnya kasar, dia benar-benar tidak siap kehilangan Sena, tapi apalah daya dia terpaksa melakukan ini. Sekarang Aldino telah duduk di kursi kebesaran miliknya, setelah tadi mengusir Sena untuk keluar dari ruangannya sekitar 5 menit yang lalu.

Rasa bersalah? Tentu saja ada! Hari ini mood Aldino hancur karena masalah keluarga sekaligus percintaannya. Ingin sekali Aldino membuang semua kertas-kertas yang ada di meja kerjanya, tapi dia sadar dirinya tidak bisa melakukan itu, dia harus tetap profesional apapun yang terjadi.

Segera Aldino mengambil salah satu map berwarna merah, dan membukanya. Dia harus tetap fokus pada pekerjaannya saat ini!

Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu membuat Aldino mengalihkan pandangannya.

"Masuk!" titah Aldino. Tidak lama pintu itu terbuka Cklekkk ... Terlihat Fikri masuk dengan membawa sebotol air mineral. Fikri melihat ke arah sofa yang tadi Sena duduki, dan kosong. Pasti kekasih atasannya itu sudah pulang.

"Kenapa dia cepat sekali pulang?" tanya Fikri spontanitas, dia tidak sadar apa yang baru saja dirinya ucapkan. Aldino yang ingin memasang kacamata minusnya terhenti dan hanya menggantung di udara. Dia meletakkan kembali kacamata minusnya di meja, kemudian menghela napas pelan.

"Dia saya suruh untuk pulang, karena kita ada banyak pekerjaan." Fikri terkejut saat atasannya itu menjawab pertanyaannya, Fikri mengira Aldino tidak akan menjawabnya tadi, tapi prediksinya salah.

Fikri diam dan berjalan ke arah meja kerja sang pengacara kondang itu, dia melihat ada amplop coklat di sana. Aldino yang mengerti tatapan yang dilayangkan oleh sekretarisnya langsung berujar.

"Itu tadi dari resepsionis," ujar Aldino, sekarang dia sedang fokus membaca berkas di tangannya sambil sesekali membenarkan letak kacamata minusnya yang tadi dia berhasil gunakan, saat selesai menjawab pertanyaan Fikri.

"Saya juga heran, kenapa orang yang mengirim amplop itu menyuruh saya sendiri untuk menerimanya, bukan kamu. Sekarang saya sudah terima amplopnya," lanjut Aldino tetap tidak mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas tersebut.

"Lalu kenapa Pak Aldino tidak membukanya?" tanya Fikri sambil membolak-balikan amplop coklat yang sekarang ada di tangannya. Kini Aldino meletakan berkas yang sedari tadi dia baca, kemudian memutar kursi kebesarannya ke arah Fikri.

Fikri menyodorkan amplop itu kepada atasannya, Aldino menerima amplop tersebut, dan membukanya.

"Apa Pak? Isinya?" tanya Fikri dia kepo sendiri. Aldino mengernyitkan dahi setelah membaca isinya.

"Undangan," jawab Aldino pelan sambil memandang kertas tersebut dengan Fikri secara bergantian. Aldino memberikan amplop berserta isinya kepada sang sekretaris. Fikri tersenyum setelah membaca isinya. Aldino semakin bingung dibuatnya.

"Kenapa tersenyum?" tanya Aldino serius. Fikri mengalihkan pandangan ke arah atasannya, kemudian meletakan amplop dan isinya di atas meja kerja Aldino Aditama, SH.

"Ternyata Pak Yogi menepati janjinya," ujar Fikri, yang semakin membuat Aldino bertanya-tanya kepada dirinya. Apa hubungan undangan ini dengan Fikri dan Pak Yogi? Memang benar itu adalah undangan milik Pak Yogi supaya dia hadir dalam ulang tahun putranya Gilang, empat hari lagi, tapi kenapa Pak Yogi melakukan ini?

"Begini Pak, jadi sebelum Nona Sena datang. Pak Yogi sempat menelpon saya memberitahu jika ingin memberi Pak Aldino kejutan." Aldino masih diam menunggu ucapan selanjutnya dari sang sekretaris.

"Ya ini kejutannya, dia menepati janjinya dengan memberikan undangan ulang tahun putranya, dengan cara seperti tadi," lajut Fikri. Sekarang Aldino mengerti ternyata sekretarisnya dan Pak Yogi mereka berkomplot untuk membuat kejutan ini. Aldino tersenyum tipis.

"Bagaimana Pak? Perasaan Pak Aldino setelah menerima amplop itu? Dan apa yang ada dipikirkan Pak Aldino saat itu?" pertanyaan Fikri cukup banyak sampai Aldino memutar bola matanya malas, kemudian dia menghela napas dalam-dalam.

"Saat saya menerima amplop itu saya terkejut, setelah itu saya bingung, kenapa harus saya yang menerima langsung jika ada kamu? Kemudian setelah saya buka isinya ternyata, hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya," jawab Aldino sambil menerawang di beberapa menit yang lalu.

"Baiklah kalau begitu kita lanjut untuk bekerja saja," putus Aldino, dia kembali dengan setumpuk berkas yang harus dia dan sekretarisnya selesaikan.

•••

"Alfito saatnya makan siang," ujar Sukma yang membawa nampan berisi makanan, minuman, serta obat milik sang pasien.

Diam itu yang dilakukan oleh sang punya nama, dia hanya duduk di ranjang sambil menonton sebuah berita yang ada di televisi.

Sukma menghela napas pelan, dia menaruh nampan itu di nakas, kemudian mengambil remote televisi dari tangan Alfito. Lagi-lagi Alfito tidak bereaksi, dia membiarkan sang perawat untuk mengambil benda tersebut.

Sukma mematikan televisi itu, karena dia tahu bahwa Sena hari ini sedang libur, alias tidak melakukan liputan bersama timnya. Alfito tersentak saat melihat layar televisi mati total akibat ulah Sukma.

Alfito mengeram marah, dia menatap Sukma dengan garang. Sukma mencoba mengabaikan tatapan yang dilayangkan oleh pasiennya, dia hanya harus fokus dengan pekerjaannya sekarang, yaitu memastikan Alfito makan, minum, serta minum obat pada siang hari ini.

Sukma mengambil piring yang berisi makan siang untuk pasiennya, dia memberikan satu sendok makan kepada Alfito, dan tanpa diduga pyaar.... Alfito menepis sendok yang di hadapannya serta piring yang ada ditangan Sukma. Sontak saja Sukma langsung membekap mulutnya, karena tidak menyangka reaksi yang diberikan oleh pasiennya.

Cklekkk.... Pintu seketika terbuka dari luar. Andi dan Ayu masuk melihat kondisi yang ada di ruangan putra bungsunya itu, dan betapa terkejutnya mereka saat melihat lantai yang penuh dengan nasi, sayur, pecahan piring, dan sendok.

"KENAPA KAMU MATIKAN TELEVISINYA?" murka Alfito, Sukma bungkam dia masih syok atas apa yang terjadi beberapa menit lalu, saat Alfito menipis tangannya dengan kasar.

"Alfito." Ayu langsung berlari ke arah putranya, lalu mencoba menenangkan emosi milik Alfito dengan cara memeluknya dari samping kanan. Andi masih diam di ambang pintu seperti patung, dia sama syok-nya dengan Sukma, seakan tidak percaya jika putra kesayangannya bisa berubah seperti monster saat ini.

"KENAPA? AKU MENONTON HANYA KARENA INGIN MELIHAT SENA! KENAPA KAMU MATIKAN?" Ingin sekali Sukma menjawab dengan jujur kenapa dia sampai mematikan televisi itu, tapi dia tidak berani dan hanya diam.

Ini yang Sukma takutkan sejak dulu, saat Sena sedang libur liputan seperti ini dia takut kondisi Alfito akan memburuk, dan prediksinya benar! Kali ini keadaan pasien sangat buruk! Karena temannya itu tidak ada di berita televisi hari ini.

Andi yang mengetahui kondisi semakin memanas, segera beranjak dari tempatnya saat ini, untuk memanggil dokter yang menangani Alfito Aditama.

Tidak berselang lama Andi bertemu Dokter Toni di koridor rumah sakit, kemudian Andi mengatakan bahwa Alfito sekarang emosi, dengan cepat mereka menuju ke ruangan Alfito.

Dokter Toni masuk, dan menyuruh Andi dan Ayu untuk menunggu di luar saja, sedangkan dia dan Sukma lah yang akan menangani Alfito Aditama, Dokter Toni menyuntikkan obat penenang kepada pasien, dan tidak berselang lama Alfito mulai tenang dan tertidur.

•••
TBC

BAB 25 akhirnya publis. 🤗

Gimana sih pendapat kalian tentang BAB ini? Bisa kalian tulis pada kolom komentar. 📝

Jangan lupa tinggalkan jejak seperti vote. ⭐

Bagikan cerita ini kepada teman-teman kalian. 💌

Saya ucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membaca, vote, berkomentar, dan telah membagikan cerita Dilema Amara. 😍

Mohon maaf apabila ada kesalahan kata, maupun tulisan. 🙏

Follow akun:
diahyah70

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang