BAB 36 : Beruntung

322 301 62
                                    

BAB 36 : Beruntung

"Aku heran saat Mbok Darmi menyuruh aku, untuk melihat ke arah jendela ruangan dirimu waktu itu." Alfito mengerutkan kening bingung, saat Aldino mengatakan hal tersebut.

"Aku melihat kamu sedang ... Menggambar wajah Sena, apa kamu sudah ingat jika hobi kamu adalah menggambar? Karena alasan kamu menjadi arsitek juga karena menggambar," lanjut Aldino mencoba agar adiknya bisa mengerti, apa yang sedang dia bicarakan. Kini Alfito justru tersenyum tipis mendengar penuturan kembarannya.

"Tidak. Aku belum ingat apa-apa kecuali Sena, beberapa hari sebelum Sena datang waktu itu ... Ayah bilang kepadaku bahwa dulu saat kecil, aku sangat pintar menggambar bahkan sampai mencoret-coret tembok rumah... "

"... Bukannya marah ayah justru memuji karya milikku. Maka dari itu dia mengirim aku ke Amerika Serikat, karena aku punya potensi yang sangat besar! Tapi aku merasa bahwa selama ini aku hidup di negeri ini, tidak pernah merasa aku pernah tinggal di negera orang bahkan sampai 20 tahun? Oh astaga!" Saat ini mereka berkumpul di ruang tamu untuk menunggu Sena datang, menjemput Alfito konsultasi ke psikolog.

Disini semua orang duduk dengan gelisah saat mendengar penuturan Alfito, jika pria berambut gondrong itu tidak percaya bahwa dia pernah hidup di New York, Amerika Serikat selama 20 tahun. Sofa yang berbentuk setengah lingkaran ini penuh dengan orang-orang penghuni rumah ini.

"Lalu?" Aldino kembali memancing kembarannya agar terus bercerita, sebelum mantan kekasihnya itu datang dia harus bisa mencari informasi sedikit tentang perkembangan Alfito selama kurang lebih 1 minggu kemarin, karena setelah kejadian dia pergi dari rumah sakit dan menitipkan buku catatan itu kepada Mbok Darmi, dia benar-benar disibukkan oleh berkas-berkas kliennya itu. Bahkan dia sampai tidak ada waktu untuk menjenguk Alfito saat itu, dia hanya sempat datang ketika sore saat Alfito di izinkan pulang oleh dokter.

"Ya awalnya aku tidak percaya dengan perkataan ayah, jika aku sangat pintar menggambar. Jadi saat Sena datang pada waktu itu dengan penampilan yang berbeda, entah kenapa mulut ini langsung berucap untuk diriku menggambar wajahnya yang ayu itu." Alfito mengatakan itu sambil tersenyum, hal itu membuat Aldino menghela napas panjang entah kenapa rasa cemburu itu kembali hadir, ketika ada seseorang yang memuji Sena dengan tatapan dan bayangan penuh cinta serta kasih sayang, seperti yang adiknya saat ini lakukan.

"Saat itu aku langsung menyuruh Sena untuk berpose, dan segera aku mengambil kertas gambar, serta pensil untuk menggambarnya. Sungguh ketika aku selesai menggambar Sena terpana melihat hasilnya, tapi bukan hanya Sena yang terpana, aku pun merasa begitu ... Saat itulah aku percaya bahwa perkataan ayah itu benar, aku memang punya bakat besar, yaitu menggambar dan tidak menutup kemungkinan dengan menekuni serta menyukai menggambar ini, aku bisa menjadi arsitek yang seperti kalian sering ceritakan kepada diriku akhir-akhir ini."

Ah sekarang Aldino tahu, jadi semua ini karena ayahnya kembali berpartisipasi, baiklah berarti dugaan Aldino selama ini salah. Dia berpikir bahwa Alfito sudah mengingat sedikit demi sedikit tentang masa lalunya, ternyata tidak! Pengacara kondang itu melirik jam tangan yang melingkar manis di tangan kirinya, dia mendengus Sena telat! Tidak biasanya jurnalis ini telat, dia selalu tepat waktu tapi kenapa hari ini dia telat? Mungkin saat ini Sena terjebak macet di jalan.

"Assalamu'alaikum." Mbok Darmi langsung bangkit dari duduknya, dia bergegas ke pintu utama, setelah mendengar ucapan salam serta ketukan pintu. Beberapa menit kemudian Mbok Darmi kembali ke ruang tamu, tapi kali ini dia tidak sendiri melainkan ada Sena yang berjalan tepat mengekor di belakang.

"SENA," ucap Aldino dan Alfito secara bersamaan. Aldino berdeham pelan, sedangkan Alfito sudah berdiri dari duduknya menghampiri Sena.

Gugup itu yang Sena rasakan saat ini. Bagaimana tidak? Lihatlah dia sekarang menjadi objek utama di rumah ini, semua orang melihat dia dengan tatapan berbeda-beda. Aldino melihat dia dengan pandangan cemburu! Sena tahu itu, apalagi sekarang kembarannya yaitu Alfito berjalan ke arahnya. Berbeda dengan Om Andi yang saat ini duduk di sofa tepat di samping kiri Aldino, dia menatap Sena dengan pandangan datar yang sulit untuk diartikan, kemudian Tante Ayu yang saat ini duduk di sofa sebrang tepat di depan Aldino, dia justru memamerkan senyum bahagia ketika melihat Sena.

Dilema AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang