26. Terjerat
"Gue nggak salah denger, kan?" tanya Isla lagi saat baik Aslan, Kaisar maupun Arkais tidak menjawab pertanyaannya.
Aslan menatapnya tajam, lalu menarik tangannya tanpa izin untuk dibawa keluar dan masuk ke dalam sebuah kelas yang telah sepi. Isla mengikuti langkah Aslan dengan susah payah dan akhirnya berhenti saat Aslan menyudutkannya ke tembok kelas.
Masih mengunci tatapan Isla, Aslan mengerutkan keningnya tajam. "Ngapain lo di ruangan itu?"
Isla menelan ludahnya susah payah. Ia menunduk takut. "Gu-gue mau minta tolong, Kak."
"Minta tolong?" Aslan tertawa hambar. "Bukannya kita udah sepakat buat nggak saking berhubungan lagi?"
"Gue tau!" seru Isla agak kesal. Padahal ia sudah menjawab baik-baik, tapi nada suara Aslan yang tak menyenangkan membangkitkan amarahnya. "Gue harusnya nggak berhubungan lagi sama lo, Kak. Tapi, gue nggak bisa."
Aslan membuang napas keras-keras. "Ngomong apa lagi sih, lo?"
"Klub gue udah kritis banget, Kak. Gue butuh berita yang berhubungan sama The Art lagi supaya reaksi orang-orang kayak tadi." Isla menatap Aslan dengan berani. Matanya berbinar-binar saat membayangkan kejadian tadi siang. "Nggak ada majalah Harian Pelangi yang diinjak-injak lagi. Malah ada yang datang secara terang-terangan ke gue, terus memuji kinerja gue, puji tulisan gue dan kasih semangat buat bawa berita The Art yang nggak diketahui banyak orang."
Aslan membuang tawa remeh. "Jadi, lo senang bahkan saat orang-orang lebih suka isi berita tentang The Art daripada berita yang lain padahal sama-sama hasil kinerja dan tulisan lo?"
Rahang Isla mengeras. Tangan-tangannya mengepal tanpa bisa dicegah. Aslan selalu berhasil membuat dadanya mendidih.
"Gue harus gimana lagi kalau itu kenyataannya?"
Untuk kesekian kalinya, Isla berada dalam situasi yang paling ia benci. Dipermalukan, merasa marah dan sedih, tapi ia tidak bisa menyangkalnya.
"Lo masuk ke dalam lingkaran neraka kalau terus berurusan sama The Art," tegas Aslan.
"Gue bakal lakuin itu jika bisa pertahanin klub Harian Pelangi," balas Isla penuh tekad. "Barusan gue udah dapet berita panas. Inti OSIS ternyata inti geng motor Askaar. Gimana? Beritanya lebih heboh dari putusnya lo sama Kak Jasmine."
Aslan melayangkan kepalan tangannya tepat ke tembok sebelah telinga kanan Isla. Tubuh Isla langsung mematung. Matanya memejam, kepalanya refleks menunduk dan tenggorokannya tercekat. Seperti ada tali tak kasat mata yang mencekiknya.
"Jangan main-main sama gue," kecam Aslan. "Jangan main-main sama Askaar. Paham lo?"
Isla menelan ludahnya susah payah. Ia berdeham sekuat tenaga untuk menyingkirkan perasaan takutnya. Dengan kaki bergetar, ia menatap Aslan lagi.
"Kalau berita itu kesebar, gue nggak bakal tanggungjawab," lanjut Aslan seraya menjauhkan diri, tapi masih tetap menatap tajam Isla. "Gue bakal cari lo sampai ujung dunia. Gue robek mulut lo, gue putusin jari-jari lo dan gue gantung kaki lo di dahan pohon di hutan biar lo jadi makanan binatang buas."
Keringat dingin turun dari pelipis Isla. Bibirnya memucat dan ia tak bisa mengatakan apa-apa. Untuk sesaat, ia bahkan tak bisa bernapas.
"Jangan muncul di depan gue lagi," tegas Aslan sebelum pergi meninggalkan Isla sendirian di kelas yang sepi itu.
Sepeninggalan Aslan, tubuh Isla langsung melorot dengan napas terengah-engah. Air matanya tiba-tiba jatuh dan ia terisak sendirian dalam duduknya.
Isla harusnya sudah menduga bahwa hidupnya tak akan pernah seperti semula sejak ia berhubungan dengan Aslan.
Dan seharusnya Aslan mengerti bahwa Isla adalah perempuan paling keras kepala di bumi ini.
***
Terima kasih telah membaca
30122020
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...