Kaisar menemui Bapak di ruangan khusus dalam ruangan kerjanya yang tak banyak orang tahu. Ruangan itu dilindungi baja kuat dan hanya Bapak yang bisa membukanya. Dindingnya pun kedap suara.
Ruangan khusus tempat Bapak untuk menyelesaikan masalah besar.
"Jujur sama Bapak." Bapak berkata tegas.
Plak!
Bapak menampar pipi Kaisar keras-keras saat Kaisar hanya menunduk saat Bapak bertanya. Wajahnya yang telah lebam dan kesakitan sebelumnya membuat rasa panas, perih dan sakit yang dihasilkan tamparan Bapak terasa amat samar. Kulit wajah Kaisar telah kebal, seperti telah dibius sebelum.
"Bicara, Kaisar." Bapak mengeraskan rahangnya. "Bapak nggak pernah ajarin kamu buat menjadi bisu. Apa perempuan itu masalahnya? Apa Bapak harus usir dia serta Ibunya malam ini?"
"Ini bukan salah mereka, Pak." Kaisar langsung menjawab. Matanya menghunus tajam. "Kaisar masalahnya."
"Lalu, apa masalahnya?" tanya Bapak tak punya kesabaran lagi. "Kamu bilang akan menjelaskannya sekarang. Waktu Bapak bukan ada untuk disia-siakan seperti ini, Kaisar."
"Aku nggak ada hubungan apa-apa, Pak," papae Kaisar. "Isla tadi cuma obatin luka aku. Udah. Sebatas itu. Lagipula, Isla udah suka orang lain."
Kepala Bapak memiring, menatap Kaisar dengan remeh. "Jadi, kamu menyukainya?"
Rahang Kaisar mengeras. "Iya, Pak."
"Sejak kapan otak kamu jadi nggak waras begini?" Bapak melipat kedua tangannya dengan wajah jengah. "Apa gara-gara kamu bergaul sama dia?"
Kaisar merapatkan gigi-giginya, menatap Bapak tajam. "Lalu Bapak kemana saat aku mau bergaul? Ibu kemana saat aku mau bermain? Cuma Isla sama Ibunya yang selalu ada buat aku, yang bikin aku bahagia saat tinggal di rumah membosankan ini."
"Jangan omongan kamu, Kaisar." Bapak mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tak menyakiti Kaisar lagi. "Tanpa Bapak sama Ibu, mereka nggak akan bekerja di sini, kamu nggak akan makan enak dan kamu nggak akan bahagia. Justru kamu akan mati jika kami tidak ada."
"Bagus kalau gitu." Kaisar tersenyum miring. "Aku nggak perlu pura-pura hidup lagi sekarang."
Plak!
Bapak tak bisa menahan tangannya lagi. Kaisar sudah benar-benar rusak karena anak pembantu rumah tangannya.
"Akan Bapak pecat segera pembantu dan anaknya itu. Mereka mencoreng nama keluarga kita," cetus Bapak penuh amarah. "Apa jadinya saat orang-orang lain tau kamu jauh cinta pada anak pembantu sendiri? Sungguh memalukan."
"Udah aku bilang bukan salah mereka! Ini salah aku yang nggak bisa mengontrol hati aku, Pak!" seru Kaisar lantang.
"Jangan banyak berteriak. Bapak nggak pernah ajarin kamu untuk menggonggong seperti anjing kelaparan." Kedua mata Bapak melotot.
Kaisar langsung berlutut. Menyatukan kedua tangannya, tak peduli lagi dengan ajaran Bapak tentang harga diri. "Tolong, Pak, jangan pecat Ibu Isla. Jangan usir mereka."
"Sekarang apa? Kamu menjadi anjing tetangga yang meminta makanan." Bapak tertawa hambar. Keningnya mengerut tajam. Lalu, ia memaksa Kaisar agar kembali berdiri menghadapnya. "Sebenarnya apa yang mereka ajarkan pada kamu, sih?"
"Pak," mohon Kaisar. Ia sangat khawatir Isla akan terluka karenanya. "Sumber masalahnya aku. Sakiti aku aja, jangan Isla, jangan Ibunya."
"Cukup, Kaisar," tukas Bapak muak. "Keputusan Bapak sudah bulat. Kalau Bapak tidak akan ambil langkah sekarang, apa yang selanjutnya akan terjadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...