48. Balas Dendam

45 3 0
                                    

"Beruntung nggak ada yang celaka, Lan." Arkan berkata di tengah makan malam. Berita kekacauan di penghujung pensi sekolah itu sudah terdengar orang banyak telinga. "Udah Ayah bilang Night Party itu ide yang buruk.".

Aslan menunduk. "Iya, Yah."

"Ke sananya biar Ayah yang urus sama Pak Nasar," pungkas Arkan tegas. "Kaisar juga jadi penanggungjawabnya, kan? Kalau anaknya terlibat, berita kekacauan di Pensi sekolah pasti tertutupi. Nggak ada yang luka serius juga."

"Yah, seseorang terluka." Aslan menatap Arkan tak percaya. "Apa masalah ini bisa dilupain gitu aja?"

"Dia nggak luka serius sampai nggak bisa jalan lagi, kan?"

"Tapi, Yah—"

"Ini salah kamu, Aslan. Harusnya kamu minta maaf dan bilang nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, akan berhati-hati lagi, bukan protes-protes seperti anak kecil begini," potong Arkan mulai kesal. "Ayah nggak pernah contohin kamu buat bertindak bodoh seperti ini."

Aslan bungkam. Jelas, ia hanya orang bodoh yang bahkan tak bisa membantu perempuan yang dicintainya saat terluka.

Aslan kembali dengan image ketua OSIS panutan penuh tanggungjawab yang dihormati.

Berkat Ayah, Aslan tak mendapatkan tatapan marah atau kecewa. Harusnya ada yang menuntut Aslan untuk bertanggungjawab atau menulis berita tentang ketidakprofesionalannya.

Entah apa yang dilakukan Ayah dan Ayah Kaisar yang mungkin juga terlibat, tapi Aslan merasa sangat kesal, sangat marah pada dirinya sendiri.

Dan sangat menyesal pada Isla.

Lagi-lagi ia menyakitinya.

***

"Lo nggak apa-apa, La?" tanya Raya begitu melihat Isla masuk ke dalam kelas. Isla harus absen tiga hari untuk pemulihan kakinya yang sedikit retak akibat tertimpa kayu panggung.

"Nggak apa-apa, sih." Isla menjawab santai sambil tersenyum. "Cuma kaget aja. Gue kira gue bakal mati."

"Lo bakal mati kalau Kak Aslan nggak nyelamatin lo, La," balas Raya serius. "Punggungnya tuh darahan waktu gendong lo, tapi keliatan sama sekali nggak kesakitan. Malah, kayaknya lebih khawatir sama kondisi lo."

Isla mengerjap-ngerjapkan. "Lo nggak bohong, kan?"

Sesungguhnya ia tak tahu apa yang terjadi pada malam itu detailnya. Yang Isla pikirkan adalah Aslan mencoba mencelakainya karena memegang rahasianya.

"Ya ampun, La," balas Raya seraya memutar bola matanya. "Lo tanya ke semua orang, deh, kalau nggak percaya."

Isla cemberut. Jadi, ia salah paham malam itu. Bukan rencana Aslan untuk menyakitinya. Mungkin bencana itu memang dipersembahkan untuk Isla, karena dosa-dosanya sendiri.

"Iya, iya, percaya, deh," kata Isla menyerah.

"Apa Kak Aslan naksir lo?"

"Ngawur aja, masih pagi juga." Sebenarnya Isla ingin mengiyakan pertanyaan itu, tapi entah kenapa hatinya juga ragu.

"Ya kan gue tanya." Raya mencubit kecil lengan Isla. "Soalnya dia kayak khawatir banget kayak mau kehilangan kayak lo bakal mati waktu itu, gitu, lho."

"Mau ada berapa 'kayak' yang lo sebut?" tanya Isla jengah. "Halu terus!"

"Ish, Isla!"

"Eh, ada Kania." Isla langsung berdiri begitu melihat Kania masuk ke kelas dengan langkah sombongnya seperti biasa. "Gue pamit dulu, ya."

Isla berjalan mendekat dan memanggil Kania ketika perempuan itu duduk di kursinya.

"Kan!" seru Isla dan perhatian Kania segera terarah padanya.

"Lo manggil gue?" tanya Kania dengan satu alis terangkat.

"Gue ada sesuatu yang penting buat diomongin." Ia tersenyum penuh arti. "Kalau lo nggak ada di atap setelah dua menit gue sampai, gue akan bertindak."

"Bertindaklah sesuka lo." Kania tersenyum santai. "Buat apa gue peduli?"

"Oke kalau gitu." Isla melangkah meninggalkan Kania dengan senyuman penuh kemenangan.

Saatnya ia menghancurkan seseorang yang telah lebih dulu menghanyutkannya.

***

Askaar seolah hilang, The Art pun mulai memudar. Keluarnya Kaisar dari Askaar membuat hubungan Aslan, Kaisar dan Arkais tidak seerat dulu. Ditambah persiapan untuk masuk perguruan tinggi semakin dekat, ketiganya jarang menghabiskan waktu bersama.

Kesibukan mereka dengan OSIS pun mulai berkurang karena angkatan baru akan segera dilantik.

Meski begitu, hari Rabu selalu ada untuk ketiganya berkumpul di ruangan The Art untuk melukis, salah satu hobi mereka yang sama.

"Lo berdua tau nggak siapa yang masang baut-baut di panggung? Atau siapa aja yang bertugas susun lampu?" tanya Aslan di tengah kerjanya. Sebenarnya ia ingin menyelidiki dengan benar apa penyebabnya, tapi kepala sekolah telah menutup kasus itu agar tidak kembali di bahas.

"Banyak yang bantuin, Lan." Kaisar menjawab seadanya. "Hampir semuanya pegang panggung sama lampu. Kita nggak bisa cek satu-satu."

"Ck!" Aslan berdecak geram.

"Lo diem aja, Ar," tegur Aslan pada Arkais.

Arkais mengangkat kedua alisnya refleks. "Hah?"

"Lo diem aja dari tadi. Apa yang lo pikirin?" tanya Aslan.

"Nggak ada, Lan," balas Arkais dengan senyuman bodoh. "Gue cuma bingung mau lukis apa di kanvas."

Tanpa disadari orang lain, Kaisar menatap lekat pada wajah Arkais yang berbeda dari biasanya. Dan tanpa dua lainnya sadari, Aslan mengetahui Arkais menyembunyikan sesuatu darinya.

***

Sebuah berita tentang Kania tersebar di sekolah setelah bel istirahat pertama berbunyi. Seseorang meng-upload sebuah video di mana Kania dan sekantung serbuk putih terekam. Lalu, Kania menghirupnya dan mengatakan bahwa hidupnya bergantung pada serbuk putih itu. Agar sempurna, Kania harus mengonsumsinya.

"Apa, nih? Serius Kania paket obat-obatan?"

"Wah, makanya dia selalu percaya diri gitu, ya?"

"Tenang-tenang menghanyutkan ternyata."

"Lo emang keren, La!" seru Raya saat mendengar celotehan orang-orang di sepanjang koridor. "Lo menang! Selamat!"

"Gue juga kaget," balas Isla tak kalah senang. Ternyata rencananya bisa berhasil selancar ini. "Makasih, Ya! Lo selalu jadi penyemangat kalau gue pengen nyerah."

"Itu udah jadi tugas dasar temen, La." Raya tersenyum lebar. "Jangan lebay gitu."

"Sekarang gue bisa bangkitkan klub Harian Pelangi lagi!" seru Isla riang. "Yes! Yes!"

"Keren banget lo, La!" Raya memeluk Islam erat-erat. "Gue bangga sama lo! Muach!"

Isla tertawa geli. Bahagia sekali. Akhirnya, ia bisa membalikkan keadaan.

***

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang