12. Maaf

61 4 0
                                    

Selamat membaca

***
The Secrets
Of
Prince

***

"Aslan, hari ini aku akan interview untuk masuk Han's Design. Kasih semangat, dong!"

Jasmine berseru riang lewat telepon pada jam lima pagi. Aslan baru bangun dan hanya tersenyum mendengarnya. Kekasihnya itu akan melanjutkan sekolah desain terbaik di London setelah lulus.

"Semangat, By! Kamu pasti bisa! Mwah!" Aslan mencium udara dengan perasaan geli.

"Makasih," balas Jasmin terharu. "Mwah!

"Sama-sama." Aslan tertawa kecil. Lalu, ia teringat sesuatu. "By, boleh aku minta sesuatu?"

"Boleh, dong. Kamu mau minta apa?"

"Bisa kirim aku bekal hari ini? Rasanya aku bakal mati kalau nggak makan masakan kamu," pinta Aslan dengan suara yang diimut-imutkan

"Oke. Aku bakal masak dulu sebelum berangkat." Jasmine langsung menyetujui. "Nanti aku kirim lewat Pak Satria, ya."

"Iya," balas Aslan puas. "Makasih, ya."

Sambungan telepon terputus dan Asalnya segera bangkit dari tidurnya. Bersiap-siap ke sekolah.

Jasmine akan absen selama dua Minggu ke depan. Sepertinya, selama itu Aslan punya banyak kesempatan untuk melakukan bisnisnya. Aslan jelas tak akan menyia-nyiakan waktu emas itu.

***

Aslan menunggu kedatangan seseorang ke kelasnya seraya mengetuk-ngetuk jari ke meja. Di depannya telah tersedia kotak bekal dari Jasmine. Bel istirahat sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu.

"Biasanya waktu istirahat langsung ada," keluh Aslan saat melihat jam yang terus berdetak, tapi seseorang tak kunjung hadir ke kelasnya. "Lo ke mana dulu, sih?"

"Selamat siang, Kak!"

Sebuah suara yang terdengar itu bagai cahaya matahari di hari gelap Aslan. Isla datang dengan sebuah majalah di tangannya, tak lupa senyuman lebar sampai ke mata.

Aslan segera mengambil kotak makannya dan menghampiri Isla di ambang pintu.

"Ini ada majalah dari Harian Pelangi, bisa dibaca bergiliran karena kami hanya membagikan satu—"

"Buat gue aja," potong Aslan seraya langsung mengambil majalah dari tangan Isla, lalu menarik tangannya begitu saja.

Anak-anak di kelas XII IPA 6 itu heran dengan sikap Aslan yang tiba-tiba pada majalah Harian Pelangi, tapi tidak mempermasalahkan lebih lanjut karena tak begitu tertarik.

Isla tersentak, tenaga Aslan begitu kuat hingga Isla tak bisa berhenti mengikuti langkahnya secara terpaksa, terseret-seret. "Ish, lo ngapain sih, Kak?!"

"Ikut gue aja, jangan banyak omong," kata Aslan datar.

"Ih!" keluh Isla kesal. Namun, tak bisa berbuat apa-apa sampai dirinya tiba di rooftop gedung kelas dua belas. Isla baru sadar bahwa tempo hari, saat ia mengeluh pada angin, rooftop yang digunakannya adalah rooftop ini. Bukan rooftop gedung angkatannya.

Aslan baru melepas pegangannya setelah membawa Isla ke sebuah sofa yang terletak di ujung kanan. Isla mengerutkan kening atas keberadaan sofa itu. Sofanya tampak bagus, dengan motif bunga dengan warna merah mendominasi, seolah memang sengaja diletakkan di sana.

"Duduk," kata Aslan seraya menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Buat apa gue duduk?" Isla melipatkan kedua tangannya seraya mengalihkan pandangannya dari Aslan. "Kalau nggak yang ada penting, gue—"

The Secrets of PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang