Ketua Askaar adalah salah satu siswa yang menjadi ketua klub.
Sebuah banner tiba-tiba terpasang di gapura sekolah. Tulisannya besar, sangat jelas bahkan jika dilihat dari jauh. Hingga beritanya dengan cepat tersebar luas sampai keluar sekolah.
Di bawah tulisan itu, ada tiga logo klub sekolah yang menjadi petunjuk di mana ketua Askaar berada.
Salah satunya ada logo The Art.
Aslan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia berusaha tak mempedulikan segalanya. Kakak yang mengkhianatinya, teman terdekat yang tak segan menyakitinya untuk mencapai tujuan dan perempuan yang menolak untuk berada dalam pelukannya.
Semua masalah itu, Aslan berusaha mengabaikannya. Bertingkah seolah tak ada yang terjadi, seolah merasa baik-baik saja, membodohi diri.
Namun, Aslan tak bisa melakukannya lebih lama lagi.
Saat bel istirahat berbunyi, ia mengirim pesan pada Isla agar perempuan itu datang ke atap, menemuinya. Hanya Isla satu-satunya yang Aslan curigai. Hanya Isla satu-satunya yang tahu fakta itu.
Kaisar dan Arkais bukan lagi anggota Askaar, tapi tak mungkin mereka memasang banner itu. Bunuh diri namanya, sebab mereka adalah mantan anggota yang pastinya akan terseret jika indentitas tersembunyi Aslan terkuak.
Beruntung Isla datang tak lama setelah Aslan menunggu. Aslan kira perempuan itu akan menghindarnya.
"Gue nggak pernah ketemu cewek se-nggak tau diri lo." Aslan langsung mengatai Isla. Tatapannya tak bersahabat. "Jijik gue liatnya."
Jantung Isla seolah berhenti saat mendengarnya. Matanya membulat sempurna.
"Maksud lo apa?" tanya Isla dengan wajah tak senang. "Nggak bisa ya ngomongnya pake filter dikit? Gue bahkan nggak ngerti lo ngomong apa."
"Cuih." Aslan membuang ludah ke samping. "Jangan sok polos deh lo. Pengen gue tonjok lo sekarang juga."
"Harusnya gue yang bilang itu," tukas Isla marah."Gue nggak pernah ketemu cowok se-brengsek lo."
"Gue brengsek dari mananya?"
Lo ambil hati gue seenaknya, terus lempar itu tanpa peduli air mata gue turun karenanya.
"Lo cowok paling brengsek, Kak." Isla menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih. "Lo brengsek banget, Kak!"
Aslan tertawa hambar. "Kayaknya lo kurang minum obat, ya."
"Apa?" tantang Isla, tak peduli air matanya sudah turun dan membuatnya tampak menyedihkan.
"Kenapa lo ekspos tentang ketua Askaar di sini?" tanya Aslan berang. "Lo mau liat gue hancur?"
"Siapa yang ekspos tentang itu?" Isla melotot. "Bukan gue!"
"Terus siapa yang lakuin itu saat satu-satunya orang yang tau fakta itu lo, Sialan!" seru Aslan kasar.
"Bukan gue, Kak," kilah Isla dengan wajah banjir air mata. Ia tak menyangka Aslan akan membentaknya setelah mengatakan hal manis kemarin.
Isla tak tahan lagi, ia berbalik dan segera melangkah pergi. Namun, Aslan mengejarnya, berhenti di depannya, memblokir aksesnya.
"Mau kemana?" tanya Aslan tajam. "Kabur dari kesalahan? Itu adalah langkah paling pengecut."
"Gue harus apa kalau nyatanya bukan gue yang ekspos itu?" tanya Isla putus asa. "Gue nggak akan ingkar kesepakatan, Kak. Lo tau gue sayang sama lo. Apa ada alasan buat gue bikin lo hancur?"
"Apa?" Aslan mengerutkan keningnya tajam. "Lo sayang sama gue?"
"Sejak pertama kali gue liat lo, gue udah suka." Isla memilih menyeburkan dirinya setelah basah. "Terus lo tahu-tahu deketin gue, bikin gue jatuh lagi meski lo bikin gue ilfeel berkali-kali. Lo bahkan tarik tangan gue, gendong gue, peluk gue, tapi akhirnya lo tuduh gue tanpa bukti seolah gue bukan apa-apa buat lo."
"Lo brengsek banget, Kak," kata Isla pedih, suaranya seperti mau hilang, "sadar nggak, sih?"
"Jangan berani tipu-tipu gue." Aslan menatap Isla tajam. "Gue nggak akan pernah maafin lo."
Isla memejamkan matanya dengan lelah. "Tipu-tipu dari mana?"
"Lo bilang itu supaya gue luluh," tukas Aslan sekenanya. "Sayang banget, gue sama sekali nggak tersentuh. Gue bakal kasih tau semua orang kalau lo cuma anaknya pembantu di rumah Kaisar!"
"Terus kalau itu tersebar, untungnya buat lo apa, Kak?!" muak Isla. Ia tak habis pikir Aslan akan sejahat ini padanya. "Lo mau liat gue hancur?"
"Lo udah liat gue hancur duluan." Aslan tersenyum miring, tak sadar bagaimana kata-kata dan keegoisannya membuat Isla tersiksa. "Sekarang kita gantian. Gue mau liat lo hancur."
"Kak!" seru Isla, menahan lengan Aslan agar tak pergi untuk melakukan hal yang gila. "Lo salah paham! Bukan gue yang pasang—"
"Lepas!" Aslan tak segan-segan menarik tangan Isla dan menghempaskannya dengan kasar. Lalu, ia pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Tubuh Isla luruh. Ia menunduk, lalu menangis sejadinya. Ia tak pernah membayangkan bahwa riwayat sekolahnya di sini akan tamat hari ini.
"La." Sebuah suara yang sangat Isla kenali terdengar. Membuat tubuh Isla menegang dan perlahan, Isla mendongak dengan mata berair yang membulat. "Lo bukan anak reporter?"
"Raya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Teen Fiction⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...