Selamat Membaca
***
The Secrets
Of
Prince***
Isla sudah merekam beberapa keadaan rumah panti asuhan itu untuk bahan laporan langsungnya. Kini, ia duduk bersama tiga pria tampan yang tinggi di depan anak-anak yang tidak bisa bicara. Mereka lucu-lucu, Isla ingin melihatnya lebih lama, tapi ternyata acara amalnya jauh lebih singkat dari yang Isla duga.
Aslan selalu ketua dari The Art dan penanggungjawab acara amal ini, langsung memberikan dana pada pengurusnya. Entah berapa nominal yang diberikannya, tapi Isla sempat melihatnya dan terkejut karena amplop yang berikan tidak setipis yang ia kira.
Setelah mengucapkan selamat sore dan menjelaskan kedatangannya ke sini, Aslan bicara bahwa ia ingin membantu seperlunya agar anak-anak di panti ini bisa ceria. Aslan juga mengatakan keinginannya agar anak-anak tersebut tidak patah semangat meski kekurangan.
"Kakak bakal tunggu kalian di masa depan. Jangan lupa, ya." Aslan tersenyum lebar. "Semangat buat semuanya!"
"Kita nggak bakal lupain rumah kalian di sini. Kalau ada kesempatan pasti kita-kita mampir," lanjut Arkais dengan tawa renyah. "Kalian sehat-sehat, ya. Jangan sungkan buat kasih tau 'Ibu' kalau kalian kesusahan atau mau sesuatu. Bahagia selalu. Oke?"
Anak-anak di depan mengangguk atas pertanyaan Arkais.
Kaisar yang pada dasarnya tak bisa berbicara banyak, hanya tersenyum ketika anak-anak menatapnya seolah ingin mendengar sepatah kata.
"Semoga makan malam kalian menyenangkan, ya," kata Aslan sebelum akhirnya berdiri untuk pamit.
Namun, seseorang berdiri secara tiba-tiba diantara anak-anak itu membuat gerakannya terhenti. Aslan menatapnya dengan ramah, membuat Isla terkesima karena laki-laki itu tak pernah menatapnya seperti itu.
Isla bodoh. Mimpi saja terus.
"Iya, ada apa, Dek?" tanya Aslan.
Anak laki-laki yang sepertinya seumuran anak SMP tahun akhir itu menggerakkan tangannya, berbahasa isyarat.
Aslan mengerutkan keningnya, tak mengerti apapun. Ia mengalihkan pandangannya pada Kaisar dan Arkais yang sama-sama menggeleng tanda tak paham juga. Pengurus panti sedang keluar untuk membeli bahan makan malam.
"Maaf, Dek, biar Kakak ambil dulu buku tulis buat—"
"Katanya makasih banyak," potong Isla spontan. Menerjemahkan gerangan tangan anak laki-laki itu. "Ojan nggak pernah makan daging sapi, jadi waktu 'ibu' bilang malam ini bakal makan daging sama, dia seneng banget sampai sesak rasanya. Panti asuhan ini jarang diberi bantuan karena anak-anaknya yang kekurangan. Ikan bersyukur banget karena ada tiga malaikat tampan yang datang sore ini."
Aslan terkejut pada awalnya karena Isla bisa membaca bahasa isyarat. Namun, ia segera berpaling pada Ojan dan merentangkan tangannya. "Sini biar Kakak peluk."
Seperti Isla, apa yang dirasakan Kaisar dan Arkais juga serupa. Hati mereka damai dan tak bisa menahan senyum ketika Ojan dan Aslan berpelukan erat. Bahkan, meski Ojan keliatan lusuh dengan pakaian agak kotor, Aslan tak merasa jijik sedikitpun pun.
Ketua The Art itu mengusap-usap rambut Ojan seraya berbisik di telinganya. "Selama di sini nggak ada perkelahian, kan? Nggak pernah ada yang terluka karena orang-orang jahat di luar sana, kan?"
Ojan segera menggerakkan tangannya. Wajahnya berubah drastis. Tampak kesal, marah dan takut secara bersamaan. Air matanya tiba-tiba turun setebgah mengungkapkan sesuatu dengan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Ficção Adolescente⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...