Setelah dua pekan berlalu, Isla berhasil mengambil liputan tentang Aslan dan The Art secara eksklusif. Majalah Minggu kemarin mendapatkan banyak perhatian hingga setiap Isla melangkah, ia bisa melihat majalah buatan Harian Pelangi tengah dibaca.
Isla senang sekali.
Isla menumpuk majalah terakhir untuk ia sebarkan pada seluruh kelas. Wajahnya tak bisa menyembunyikan sedih, tapi ia tetap berusaha tersenyum, menyebarkan perasaan positif untuk sepuluh anggotanya yang hadir di ruangan saat ini.
Beruntung Aslan mau diajak kerja sama untuk wawancara, jadi majalah terakhir Harian Pelangi dapat banyak menarik perhatian para murid sekolah ini. Isla harap majalah ini bisa menjadi penutup yang indah bagi Harian Pelangi.
Sebelum membagikan majalah pada perorangan untuk disebarkan, Isla berdeham, menyiapkan kata-kata yang enak untuk didengar.
"Ini majalah terakhir kita." Namun, seberapa banyak pun Isla mencoba untuk merajut kata-kata indah, hanya itu yang ia bisa keluarkan. "Makasih buat kerjasamanya selama ini, ya."
Berkat kata-kata Isla yang memang kerap kali disuarakan dengan ramah dan menyejukkan hati, para anggota klub Harian Pelangi tersenyum lebar saat kenyataannya, perasaan mereka tak kalah kecewa dan sedih seperti Isla.
"Iya, Kak. Sama-sama." Anin menyuarakan suara anggota yang lainnya. "Makasih juga buat bimbingannya selama ini. Kakak keren!"
"Nggak, lo bisa aja," tolak Isla dengan senyuman tipis. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Maka, ia menatap satu persatu mata anggota klub kesayangannya dengan sayang. "Setelah ini, kalian mau ke masuk ke klub mana?"
"Gue sih basket aja, Kak," jawab Fadli.
Yang lainnya ikut menjawab. Rata-rata punya klub tujuan setelah klub Harian Pelangi ditiadakan. Isla senang mendengar. Jadi, ia tidak perlu pusing memikirkan bagaimana nasib anggotanya.
"Lo mau ke mana, Ra?" tanya Isla pada Fahra. Perempuan itu belum menjawab pertanyaannya tadi.
"Ke klub pencinta perpustakaan aja. Itu udah bidang kesukaan gue."
Isla mengangguk kecil. "Oke deh, good luck."
"Lo sendiri?" Fahra bertanya dengan kening mengerut tajam. Ia takut Isla tak masuk klub manapun setelah ini, artinya ketua klub itu tak akan mendapatkan nilai keterampilan tambahan di rapornya.
"Entahlah." Isla mengangkat kedua bahunya dengan senyuman masa bodoh. "Gue masih bingung. Gue bakal pikirin nanti aja."
"Oke." Fahra tak bisa memaksa kehendak orang lain.
Drrrtttt.
Tiba-tiba ponsel Isla bergetar. Tanpa melewatkan detik, Isla membuka ponselnya. Ada sebuah pesan dari seseorang di sana.
Aslan: sini ke atap. Bawain majalahnya juga
Isla: oke
Setelah membalas, Isla memasukkan ponselnya kembali ke saku rok dan segera membagikan majalah pada anggotanya untuk dibagikan ke jelas-jelas. Isla mengambilnya satu, khusus untuk Aslan sebagai narasumber penting pembawa berkah selama hampir dua Minggu.
Dengan langkah ringan, Isla menuju tempat yang dikatakan Aslan.
Sebelumnya, tadi pagi, Isla memang mengabari kalau majalahnya akan dibagikan hari ini. Isla tak menyangka Aslan akan kembali menyuruhnya.
Maksudnya, ia tak berharap Aslan akan langsung menagihnya seolah majalah klub Harian Pelangi adalah sesuatu yang Aslan tunggu-tunggu.
Sekarang, Isla merasa jiwanya terbang ke awang-awang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secrets of Prince
Fiksi Remaja⚠️bukan kisah semanis gulali, seindah pelangi, apalagi sebahagia drama di televisi ⚠️ini reality yang penuh duri, menyayat hati dan tak berhenti menyakiti satu kali -- "Apa mau lo?" "Harta, tahta, ... semua yang lo punya." --- Jangan biarkan seseora...